Webinar Hiperindo: Indonesia Masih Canggung Memadukan TRL dan DRL
loading...
A
A
A
BOGOR - Indonesia dinilai masih canggung dalam upaya memadukan Demand Readiness Level (DRL) dan Technology Readiness Level (TRL). Akibatnya, Indonesia masih terhambat dalam mengembangkan kemandirian teknologi.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia sekaligus CEO KSO (Kerja Sama Operasi) Bukit Algoritma, Budiman Sujatmiko dalam webinar Himpunan Perekayasa Indonesia (Hiperindo), Kamis (27/5/2021).
“Sehingga inovasi hasil riset dan pengembangan produk dari berbagai peneliti banyak yang tidak termanfaatkan sepenuhnya atau hanya berakhir sebagai dokumen yang manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat atau pengguna,” kata Budiman saat memberikan paparannya.
Hal tersebut, lanjutnya, terjadi karena adanya permasalahan dalam proses pengembangan teknologi inovasi hasil riset yang tidak cocok dengan kesiapan pasar menyerap teknologi tersebut. Menurut Budiman, tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) merupakan metode pengukuran kematangan atau kesiapan dari pengembangan produk teknologi tertentu.
“Permasalahan inovasi teknologi tersebut dapat diselesaikan apabila pada tahap pengembangan teknologi dilakukan penilaian secara objektif menggunakan TRL untuk mengetahui teknologi tersebut telah siap atau belum untuk dikomersialisasikan,” papar Budiman dalam webinar bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Pengajian & Penerapan Teknologi , Hammam Riza, dan Badan Riset & Inovasi Nasional.
Lanjut dia memaparkan, negara yang siap dalam merepresentasikan DRL maupun TRL adalah Amerika Serikat dan China yang masing-masing memakai pendekatan pasar dan negara. Sementara Indonesia hanya sebatas "tanam, gali, tebang dan jual". Padahal di lain pihak sekarang permintaan pasar teknologi sangat tinggi, akibatnya pasar mencari jalan yang instan dan mengandalkan impor.
"Ketika menyangkut teknologi akhirnya mencari merek yang lebih branded, karena perilaku konsumen teknologi Indonesia tidak mendukung kemandirian teknologi. Karena masyarakat Indonesia, terutama yang di perkotaan, banyak mengejar merek dalam.berbelanja teknologi. Padahal produk teknologi dalam negeri banyak berkualitas,” ungkap Budiman.
Budiman pun mengungkapkan bahwa masyarakat kita masih minder memasarkan produk teknologinya meskipun negara-negara asing berpandangan bahwa potensi pasar teknologi bangsa ini sangat besar.
Oleh karenanya, Budiman menjelaskan bahwa Bukit Algoritma menawarkan pengembangan teknologi rekayasa teknologi yang memadukan DRL dan TRL berbasis komunitas sebagai alternatif pendekatan pasar dan negara yang banyak dilakukan AS (Amerika Serikat), China & negara-negara maju lain.
"Diharapkan dengan pendekatan DRL dan TRL berbasis komunitas ini maka dampak sosial, budaya dan ekonomi akan lebih besar bagi kebangkitan teknologi bangsa Indonesia menuju bangsa berbasis pengetahuan," tutupnya.
Lihat Juga: Kunjungi Workshop KaTa Kreatif di Jogja, Menparekraf Dorong Pelaku Ekraf Berinovasi dengan Teknologi
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia sekaligus CEO KSO (Kerja Sama Operasi) Bukit Algoritma, Budiman Sujatmiko dalam webinar Himpunan Perekayasa Indonesia (Hiperindo), Kamis (27/5/2021).
“Sehingga inovasi hasil riset dan pengembangan produk dari berbagai peneliti banyak yang tidak termanfaatkan sepenuhnya atau hanya berakhir sebagai dokumen yang manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat atau pengguna,” kata Budiman saat memberikan paparannya.
Hal tersebut, lanjutnya, terjadi karena adanya permasalahan dalam proses pengembangan teknologi inovasi hasil riset yang tidak cocok dengan kesiapan pasar menyerap teknologi tersebut. Menurut Budiman, tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) merupakan metode pengukuran kematangan atau kesiapan dari pengembangan produk teknologi tertentu.
“Permasalahan inovasi teknologi tersebut dapat diselesaikan apabila pada tahap pengembangan teknologi dilakukan penilaian secara objektif menggunakan TRL untuk mengetahui teknologi tersebut telah siap atau belum untuk dikomersialisasikan,” papar Budiman dalam webinar bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Pengajian & Penerapan Teknologi , Hammam Riza, dan Badan Riset & Inovasi Nasional.
Lanjut dia memaparkan, negara yang siap dalam merepresentasikan DRL maupun TRL adalah Amerika Serikat dan China yang masing-masing memakai pendekatan pasar dan negara. Sementara Indonesia hanya sebatas "tanam, gali, tebang dan jual". Padahal di lain pihak sekarang permintaan pasar teknologi sangat tinggi, akibatnya pasar mencari jalan yang instan dan mengandalkan impor.
"Ketika menyangkut teknologi akhirnya mencari merek yang lebih branded, karena perilaku konsumen teknologi Indonesia tidak mendukung kemandirian teknologi. Karena masyarakat Indonesia, terutama yang di perkotaan, banyak mengejar merek dalam.berbelanja teknologi. Padahal produk teknologi dalam negeri banyak berkualitas,” ungkap Budiman.
Budiman pun mengungkapkan bahwa masyarakat kita masih minder memasarkan produk teknologinya meskipun negara-negara asing berpandangan bahwa potensi pasar teknologi bangsa ini sangat besar.
Oleh karenanya, Budiman menjelaskan bahwa Bukit Algoritma menawarkan pengembangan teknologi rekayasa teknologi yang memadukan DRL dan TRL berbasis komunitas sebagai alternatif pendekatan pasar dan negara yang banyak dilakukan AS (Amerika Serikat), China & negara-negara maju lain.
"Diharapkan dengan pendekatan DRL dan TRL berbasis komunitas ini maka dampak sosial, budaya dan ekonomi akan lebih besar bagi kebangkitan teknologi bangsa Indonesia menuju bangsa berbasis pengetahuan," tutupnya.
Lihat Juga: Kunjungi Workshop KaTa Kreatif di Jogja, Menparekraf Dorong Pelaku Ekraf Berinovasi dengan Teknologi
(don)