Catur Piwulang dan Singo Mengkok, Senjata Sunan Drajat Menebar Syiar Islam di Pesisir
loading...
A
A
A
Dalam posisi perahu yang karam, Sunan Drajat bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu dan akhirnya diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang atau cakalang. Dengan menaiki kedua ikan itu, akhirnya Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah pesisir yang dikenal sebagai desa Jelak, Banjarwati.
Perjalanan Sunan Drajat itu kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Ketika terdampar di Desa Jelak, Sunan Drajat mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan pendakwah yang berasal dari Surabaya.
Sunan Drajat kemudian menetap di Desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah Mayang Madu yaitu Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang akhirnya berkembang menjadi sebuah pesantren untuk mengaji ratusan penduduk.
Sunan Drajat juga berhasil mengubah Desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.
Setelah lebih dari setahun di Jelak, Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah lain yang lebih strategis. Sunan Drajat pun berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara. Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut tahun 1486 Masehi.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir saat musim hujan. Dalam beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah dan meneror warga. Termasuk juga menyebarkan penyakit, namun semua tantangan itu bisa diatasi Sunan Drajat .
Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.
Sementara itu, di dekat makam terdapat museum peninggalan Sunan Drajat , termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan juga dayung perahu yang pernah menyelamatkannya dari ganasnya ombak di samudra.
Perjalanan Sunan Drajat itu kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Ketika terdampar di Desa Jelak, Sunan Drajat mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan pendakwah yang berasal dari Surabaya.
Sunan Drajat kemudian menetap di Desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah Mayang Madu yaitu Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang akhirnya berkembang menjadi sebuah pesantren untuk mengaji ratusan penduduk.
Sunan Drajat juga berhasil mengubah Desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.
Setelah lebih dari setahun di Jelak, Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah lain yang lebih strategis. Sunan Drajat pun berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara. Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut tahun 1486 Masehi.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir saat musim hujan. Dalam beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah dan meneror warga. Termasuk juga menyebarkan penyakit, namun semua tantangan itu bisa diatasi Sunan Drajat .
Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.
Sementara itu, di dekat makam terdapat museum peninggalan Sunan Drajat , termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan juga dayung perahu yang pernah menyelamatkannya dari ganasnya ombak di samudra.