Catur Piwulang dan Singo Mengkok, Senjata Sunan Drajat Menebar Syiar Islam di Pesisir
loading...
A
A
A
"Paring teken marang kang kalunyon lan wuto"; "Paring pangan marang kang keliren"; "Paring sandang marang kang kawudan"; "Paring payung marang kang kodanan".
Catur Piwulang ini menjadi senjata bagi Sunan Drajat untuk menebar syiar Islam. Di pesisir yang keras, anak Sunan Ampel itu mampu menyebarkan Islam melalui jalan kesenian yang disukai oleh masyarakat. Kesenian itu larut dalam deburan ombak yang terdengar sejak di pesisir Paciran, Lamongan.
Dalam Catur Piwulang itu, masyarakat begitu kental dengan ajakan kebaikan. "Berikan tongkat kepada orang yang berjalan dijalan licin dan buta"; "Berikanlah makan kepada orang yang kelaparan"; "Berikanlah busana kepada orang yang telanjang"; "Berikanlah payung kepada orang yang kehujanan".
Sunan Drajat menciptakan tembang Pangkur, ajaran baik yang selalu mendarat di kepala masyarakat. Tembang Pangkur dipadukan dengan alat musik yang digunakan berupa gamelan yang diberi nama Singo Mengkok . Alat musik ini masih disimpan di Museum Sunan Drajat.
Sunan Drajat yang juga dikenal sebagai Raden Qasim merupakan salah satu anggota Wali Songo yang tersohor menebar syiar Islam di pesisir utara di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
Catur Piwulang yang dibawanya ke tiap perkampungan di kawasan pesisir mengajarkan dan menekankan pada aspek pendidikan moral. Kedekatannya dengan kaum miskin menjadi bagian dalam perjalanan panjangnya untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, serta melindungi masyarakat yang membutuhkan.
Bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012) yang ditulis oleh Agus Sunyoto memberikan gambaran jelas bagaimana jejak Sunan Drajat mendidik masyarakat untuk bisa saling memberikan kepedulian terhadap nasib fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki empati pada semua orang.
Di pesisir yang keras, Sunan Drajat mengajarkan bagaimana masyarakat memiliki etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong yang harus selalu ditanam sebagai bagian dari kehidupan.
Ada banyak hal baru bagi masyarakat yang coba dikembangkan, Sunan Drajat mengajarkan kepada mereka berbagai teknik membuat rumah dan tandu. Bekal yang melekat dan menjadi kearifan bagi masyarakat di sekitar Paciran.
Jalan kesenian yang dipilih Sunan Drajat juga mengendapkan ragam ajaran tasawuf. Ada banyak kedalaman makna dan sisi kebatinan yang beririsan dengan kehidupan sehari-hari. Bangunan ilmu itu menjadi sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan.
Berbakai kata yang keluar dari mulut Sunan Drajat memberikan begitu panjang penghayatan. "Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah" (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Ragam nilai luhur memberikan sisi transenden untuk melakukan perbuatan terbaik bagi sesama. Catur Piwulang berterbangan dalam angan dan keinginan masyarakat. Ajakan itu berhamburan dan mengerakan warga untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, dan kenyamanan.
Ajaran yang luhur dan tradisi lokal menjadi senjata pamungkas Sunan Drajat untuk syiar agama Islam. Jejak itu terlihat jelas dalam artefak yang bertuliskan ajaran Catur Piwulang di kompleks makam Sunan Drajat.
Artefak tersebut mengajarkan tentang cara hidup bersama sebagai makhluk sosial. Menekankan saling menghargai dan membantu sesama. Sunan Drajat juga memiliki keahlian dalam memainkan seperangkat gamelan, yang diberi nama Singo Mengkok.
Sebelum bersandar di Paciran, Lamongan, perjalanan Sunan Drajat memberikan kisah pilu. Setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di kawasan pesisir Gresik. Namun, di tengah perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, Sunan Drajat dihantam ombak yang cukup besar. Perahunya pun tenggelam.
Dalam posisi perahu yang karam, Sunan Drajat bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu dan akhirnya diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang atau cakalang. Dengan menaiki kedua ikan itu, akhirnya Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah pesisir yang dikenal sebagai desa Jelak, Banjarwati.
Perjalanan Sunan Drajat itu kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Ketika terdampar di Desa Jelak, Sunan Drajat mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan pendakwah yang berasal dari Surabaya.
Sunan Drajat kemudian menetap di Desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah Mayang Madu yaitu Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang akhirnya berkembang menjadi sebuah pesantren untuk mengaji ratusan penduduk.
Sunan Drajat juga berhasil mengubah Desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.
Setelah lebih dari setahun di Jelak, Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah lain yang lebih strategis. Sunan Drajat pun berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara. Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut tahun 1486 Masehi.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir saat musim hujan. Dalam beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah dan meneror warga. Termasuk juga menyebarkan penyakit, namun semua tantangan itu bisa diatasi Sunan Drajat .
Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.
Sementara itu, di dekat makam terdapat museum peninggalan Sunan Drajat , termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan juga dayung perahu yang pernah menyelamatkannya dari ganasnya ombak di samudra.
Baca Juga
Catur Piwulang ini menjadi senjata bagi Sunan Drajat untuk menebar syiar Islam. Di pesisir yang keras, anak Sunan Ampel itu mampu menyebarkan Islam melalui jalan kesenian yang disukai oleh masyarakat. Kesenian itu larut dalam deburan ombak yang terdengar sejak di pesisir Paciran, Lamongan.
Dalam Catur Piwulang itu, masyarakat begitu kental dengan ajakan kebaikan. "Berikan tongkat kepada orang yang berjalan dijalan licin dan buta"; "Berikanlah makan kepada orang yang kelaparan"; "Berikanlah busana kepada orang yang telanjang"; "Berikanlah payung kepada orang yang kehujanan".
Sunan Drajat menciptakan tembang Pangkur, ajaran baik yang selalu mendarat di kepala masyarakat. Tembang Pangkur dipadukan dengan alat musik yang digunakan berupa gamelan yang diberi nama Singo Mengkok . Alat musik ini masih disimpan di Museum Sunan Drajat.
Sunan Drajat yang juga dikenal sebagai Raden Qasim merupakan salah satu anggota Wali Songo yang tersohor menebar syiar Islam di pesisir utara di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
Catur Piwulang yang dibawanya ke tiap perkampungan di kawasan pesisir mengajarkan dan menekankan pada aspek pendidikan moral. Kedekatannya dengan kaum miskin menjadi bagian dalam perjalanan panjangnya untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, serta melindungi masyarakat yang membutuhkan.
Bukunya berjudul Atlas Wali Songo (2012) yang ditulis oleh Agus Sunyoto memberikan gambaran jelas bagaimana jejak Sunan Drajat mendidik masyarakat untuk bisa saling memberikan kepedulian terhadap nasib fakir miskin, mengutamakan kesejahteraan umat, serta memiliki empati pada semua orang.
Di pesisir yang keras, Sunan Drajat mengajarkan bagaimana masyarakat memiliki etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong yang harus selalu ditanam sebagai bagian dari kehidupan.
Ada banyak hal baru bagi masyarakat yang coba dikembangkan, Sunan Drajat mengajarkan kepada mereka berbagai teknik membuat rumah dan tandu. Bekal yang melekat dan menjadi kearifan bagi masyarakat di sekitar Paciran.
Jalan kesenian yang dipilih Sunan Drajat juga mengendapkan ragam ajaran tasawuf. Ada banyak kedalaman makna dan sisi kebatinan yang beririsan dengan kehidupan sehari-hari. Bangunan ilmu itu menjadi sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan.
Berbakai kata yang keluar dari mulut Sunan Drajat memberikan begitu panjang penghayatan. "Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah" (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Ragam nilai luhur memberikan sisi transenden untuk melakukan perbuatan terbaik bagi sesama. Catur Piwulang berterbangan dalam angan dan keinginan masyarakat. Ajakan itu berhamburan dan mengerakan warga untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, dan kenyamanan.
Ajaran yang luhur dan tradisi lokal menjadi senjata pamungkas Sunan Drajat untuk syiar agama Islam. Jejak itu terlihat jelas dalam artefak yang bertuliskan ajaran Catur Piwulang di kompleks makam Sunan Drajat.
Artefak tersebut mengajarkan tentang cara hidup bersama sebagai makhluk sosial. Menekankan saling menghargai dan membantu sesama. Sunan Drajat juga memiliki keahlian dalam memainkan seperangkat gamelan, yang diberi nama Singo Mengkok.
Sebelum bersandar di Paciran, Lamongan, perjalanan Sunan Drajat memberikan kisah pilu. Setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di kawasan pesisir Gresik. Namun, di tengah perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, Sunan Drajat dihantam ombak yang cukup besar. Perahunya pun tenggelam.
Dalam posisi perahu yang karam, Sunan Drajat bertahan dengan berpegangan pada dayung perahu dan akhirnya diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang atau cakalang. Dengan menaiki kedua ikan itu, akhirnya Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah pesisir yang dikenal sebagai desa Jelak, Banjarwati.
Perjalanan Sunan Drajat itu kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Ketika terdampar di Desa Jelak, Sunan Drajat mendapat sambutan yang hangat oleh tetua kampung yaitu Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar yang diyakini sudah masuk Islam dengan bantuan pendakwah yang berasal dari Surabaya.
Sunan Drajat kemudian menetap di Desa Jelak dan menikah dengan putri dari Mbah Mayang Madu yaitu Nyai Kemuning. Beliau kemudian mendirikan surau yang akhirnya berkembang menjadi sebuah pesantren untuk mengaji ratusan penduduk.
Sunan Drajat juga berhasil mengubah Desa Jelak yang tadinya hanyalah kampung kecil dan terpencil menjadi desa yang berkembang dan ramai. Nama desa tersebut akhirnya diubah menjadi desa Banjaranyar.
Setelah lebih dari setahun di Jelak, Sunan Drajat akhirnya memutuskan untuk mencari tempat dakwah lain yang lebih strategis. Sunan Drajat pun berpindah sekitar satu kilometer ke arah selatan dan membuka lahan baru yang masih berupa hutan belantara. Untuk menempati lahan tersebut, beliau bersama dengan Sunan Bonang meminta izin kepada Sultan Demak I dan mendapatkan ketetapan pemberian tanah tersebut tahun 1486 Masehi.
Hutan yang berada di pegunungan tersebut dianggap sangat strategis karena jauh dari banjir saat musim hujan. Dalam beberapa kisah, selama pembukaan lahan, banyak sekali makhluk halus yang marah dan meneror warga. Termasuk juga menyebarkan penyakit, namun semua tantangan itu bisa diatasi Sunan Drajat .
Selama 36 tahun, Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya untuk mengajarkan Islam di Ndalem Duwur. Beliau wafat sekitar tahun 1522 M dan dimakamkan di perbukitan Drajat, Paciran. Makam beliau terletak di posisi paling tinggi dan berada di belakang.
Sementara itu, di dekat makam terdapat museum peninggalan Sunan Drajat , termasuk kumpulan tembang pangkur, gamelan, dan juga dayung perahu yang pernah menyelamatkannya dari ganasnya ombak di samudra.
(eyt)