Catur Piwulang dan Singo Mengkok, Senjata Sunan Drajat Menebar Syiar Islam di Pesisir
loading...
A
A
A
Di pesisir yang keras, Sunan Drajat mengajarkan bagaimana masyarakat memiliki etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong yang harus selalu ditanam sebagai bagian dari kehidupan.
Ada banyak hal baru bagi masyarakat yang coba dikembangkan, Sunan Drajat mengajarkan kepada mereka berbagai teknik membuat rumah dan tandu. Bekal yang melekat dan menjadi kearifan bagi masyarakat di sekitar Paciran.
Jalan kesenian yang dipilih Sunan Drajat juga mengendapkan ragam ajaran tasawuf. Ada banyak kedalaman makna dan sisi kebatinan yang beririsan dengan kehidupan sehari-hari. Bangunan ilmu itu menjadi sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan.
Berbakai kata yang keluar dari mulut Sunan Drajat memberikan begitu panjang penghayatan. "Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah" (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Ragam nilai luhur memberikan sisi transenden untuk melakukan perbuatan terbaik bagi sesama. Catur Piwulang berterbangan dalam angan dan keinginan masyarakat. Ajakan itu berhamburan dan mengerakan warga untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, dan kenyamanan.
Ajaran yang luhur dan tradisi lokal menjadi senjata pamungkas Sunan Drajat untuk syiar agama Islam. Jejak itu terlihat jelas dalam artefak yang bertuliskan ajaran Catur Piwulang di kompleks makam Sunan Drajat.
Artefak tersebut mengajarkan tentang cara hidup bersama sebagai makhluk sosial. Menekankan saling menghargai dan membantu sesama. Sunan Drajat juga memiliki keahlian dalam memainkan seperangkat gamelan, yang diberi nama Singo Mengkok.
Sebelum bersandar di Paciran, Lamongan, perjalanan Sunan Drajat memberikan kisah pilu. Setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di kawasan pesisir Gresik. Namun, di tengah perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, Sunan Drajat dihantam ombak yang cukup besar. Perahunya pun tenggelam.
Ada banyak hal baru bagi masyarakat yang coba dikembangkan, Sunan Drajat mengajarkan kepada mereka berbagai teknik membuat rumah dan tandu. Bekal yang melekat dan menjadi kearifan bagi masyarakat di sekitar Paciran.
Jalan kesenian yang dipilih Sunan Drajat juga mengendapkan ragam ajaran tasawuf. Ada banyak kedalaman makna dan sisi kebatinan yang beririsan dengan kehidupan sehari-hari. Bangunan ilmu itu menjadi sebuah konstruksi filosofis yang realistis dalam upaya untuk mengurangi angka kemiskinan.
Berbakai kata yang keluar dari mulut Sunan Drajat memberikan begitu panjang penghayatan. "Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah" (Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur, kita harusnya tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Ragam nilai luhur memberikan sisi transenden untuk melakukan perbuatan terbaik bagi sesama. Catur Piwulang berterbangan dalam angan dan keinginan masyarakat. Ajakan itu berhamburan dan mengerakan warga untuk memberi pertolongan, makan, pakaian, dan kenyamanan.
Ajaran yang luhur dan tradisi lokal menjadi senjata pamungkas Sunan Drajat untuk syiar agama Islam. Jejak itu terlihat jelas dalam artefak yang bertuliskan ajaran Catur Piwulang di kompleks makam Sunan Drajat.
Artefak tersebut mengajarkan tentang cara hidup bersama sebagai makhluk sosial. Menekankan saling menghargai dan membantu sesama. Sunan Drajat juga memiliki keahlian dalam memainkan seperangkat gamelan, yang diberi nama Singo Mengkok.
Sebelum bersandar di Paciran, Lamongan, perjalanan Sunan Drajat memberikan kisah pilu. Setelah belajar di Ampel Denta, Sunan Drajat memperoleh tugas dakwah pertama dari Sunan Ampel untuk memusatkan penyebaran Islam di kawasan pesisir Gresik. Namun, di tengah perjalanan dari Surabaya menggunakan perahu, Sunan Drajat dihantam ombak yang cukup besar. Perahunya pun tenggelam.