Kontradiksi RUU Cipta Kerja, Ingin Regulasi Sederhana tapi Butuh Banyak Aturan Turunan
loading...
A
A
A
BANDUNG - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ledia Hanifah Amaliah mempertanyakan kontradiksi semangat penyederhanaan dan percepatan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, pasal-pasal RUU yang masuk tahap pembahasan di Baleg DPR RI itu justru mensyaratkan banyaknya pembentukan peraturan turunan.
Ledia berpendapat bahwa tujuan mendasar RUU Cipta Kerja sebagaimana tercantum dalam draft RUU dan naskah akademik adalah semangat untuk memenuhi hak kesejahteraan warga negara Indonesia dengan membuka peluang kerja seluas-luasnya sekaligus menggairahkan iklim investasi di negeri ini.
Anggota legislatif dari daerah pemilihan (dapil) Kota Bandung dan Kota Cimahi ini meyakinkan, kedua hal tersebut akan terwujud bila ada kemudahan dan penyederhanaan pada regulasi yang saat ini tersebar pada hampir 80 jenis undang-undang sektoral yang berdiri sendiri.
(Baca: Polda Tetap Larang Mudik Lokal di Jawa Barat)
Sebab, lanjut Ledia, merevisi undang-undang secara terpisah tentu memakan waktu, tenaga, dan pikiran yang sangat besar. Sehingga, metode omnibus law dipilih demi mendapat dua hal mendasar dari satu perubahan besar dalam sistem peraturan perundangan di negeri ini, yaitu penyederhanaan dan percepatan.
"Sayang kenyataannya naskah RUU ini justru menunjukkan semangat yang bertolak belakang. Banyaknya amanah pembentukan peraturan pelaksana menunjukkan bahwa semangat penyederhanaan, memutus rantai birokrasi, menghilangkan tumpang tindih peraturan dan semangat percepatan dalam RUU ini tidak nampak," tegas Ledia, Rabu (20/5/2020).
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini mengingatkan bahwa selama ini, ratusan undang-undang yang sudah disahkan di negeri ini seringkali terhambat implementasinya karena lambat dan tak kunjung hadirnya peraturan pelaksana yang menjadi amanah undang-undang.
"Contohnya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan tahun 2014 tetapi membutuhkan waktu lima tahun untuk bisa diimplementasikan karena peraturan pelaksananya baru keluar pada 2019 lalu," sebut Ledia.
(Baca: Sebelum Dipindah ke Nusakambangan, Habib Bahar Sudah Bertemu Keluarga)
Karena itu, Ledia meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja ini kembali ke semangat awal yang menjadi tujuan pembentukan undang-undang, yakni memberi kemudahan dan percepatan cipta kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
"Pasal-pasal pada RUU ini harus dibuat lebih taktis dan fokus pada upaya memberi kemudahan dan percepatan penyediaan kesempatan kerja bagi para tenaga kerja Indonesia serta kemudahan dan penyegaran iklim investasi untuk mendukung pemenuhan hak kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia," tandasnya. agung bakti sarasa
Ledia berpendapat bahwa tujuan mendasar RUU Cipta Kerja sebagaimana tercantum dalam draft RUU dan naskah akademik adalah semangat untuk memenuhi hak kesejahteraan warga negara Indonesia dengan membuka peluang kerja seluas-luasnya sekaligus menggairahkan iklim investasi di negeri ini.
Anggota legislatif dari daerah pemilihan (dapil) Kota Bandung dan Kota Cimahi ini meyakinkan, kedua hal tersebut akan terwujud bila ada kemudahan dan penyederhanaan pada regulasi yang saat ini tersebar pada hampir 80 jenis undang-undang sektoral yang berdiri sendiri.
(Baca: Polda Tetap Larang Mudik Lokal di Jawa Barat)
Sebab, lanjut Ledia, merevisi undang-undang secara terpisah tentu memakan waktu, tenaga, dan pikiran yang sangat besar. Sehingga, metode omnibus law dipilih demi mendapat dua hal mendasar dari satu perubahan besar dalam sistem peraturan perundangan di negeri ini, yaitu penyederhanaan dan percepatan.
"Sayang kenyataannya naskah RUU ini justru menunjukkan semangat yang bertolak belakang. Banyaknya amanah pembentukan peraturan pelaksana menunjukkan bahwa semangat penyederhanaan, memutus rantai birokrasi, menghilangkan tumpang tindih peraturan dan semangat percepatan dalam RUU ini tidak nampak," tegas Ledia, Rabu (20/5/2020).
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini mengingatkan bahwa selama ini, ratusan undang-undang yang sudah disahkan di negeri ini seringkali terhambat implementasinya karena lambat dan tak kunjung hadirnya peraturan pelaksana yang menjadi amanah undang-undang.
"Contohnya UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan tahun 2014 tetapi membutuhkan waktu lima tahun untuk bisa diimplementasikan karena peraturan pelaksananya baru keluar pada 2019 lalu," sebut Ledia.
(Baca: Sebelum Dipindah ke Nusakambangan, Habib Bahar Sudah Bertemu Keluarga)
Karena itu, Ledia meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja ini kembali ke semangat awal yang menjadi tujuan pembentukan undang-undang, yakni memberi kemudahan dan percepatan cipta kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
"Pasal-pasal pada RUU ini harus dibuat lebih taktis dan fokus pada upaya memberi kemudahan dan percepatan penyediaan kesempatan kerja bagi para tenaga kerja Indonesia serta kemudahan dan penyegaran iklim investasi untuk mendukung pemenuhan hak kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia," tandasnya. agung bakti sarasa
(muh)