Divonis 12 Tahun Penjara Atas Penerbitan Izin Pertambangan, Nur Alam Diduga Lakukan Pencucian Uang
loading...
A
A
A
KOLAKA - Setelah dijatuhi vonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) periode 2013-2018, Nur Alam kembali terseret dalam kasus korupsi penerbitan izin pertambangan.
Dia terjerat kasus korupsi terkait Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi, dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi ke PT Anugrah Harisma Barakah di Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
Uang yang diperoleh Nur Alam dari pengurusan izin pertambangan sebesar Rp2,7 miliar. Uang itu digunakan Nur Alam untuk membeli rumah di kompleks perumahan Premier Estate Blok I/9 seharga Rp1,7 miliar serta mobil BMW Z4 seharga Rp1 miliar. Akibat kasus ini, Nur Alam Harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 2633 K/PID.SUS/2018 Tanggal 5 Desember 2018.
Direktur Eksekutif Indonesia Parlemen Watch (IPW) Sulawesi Tenggara (Sultra), Muliadi mengatakan, kesaksian mantan Gubernur Sultra, Nur Alam di persidangan kasus tambang beberapa waktu lalu di PN Kendari, justru membuktikan bahwa terjadi dugaan kuat modus pencucian uang seperti kasus sebelumnya yang menjeratnya.
"Dugaan kami mantan Gubernur Sultra Nur Alam kembali melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang , yang merupakan suatu upaya perbuatan melawan hukum untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana, melalui berbagai transaksi keuangan agar harta kekayaan seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal," jelasnnya.
Ketua Pemerhati Hukum dan Korupsi Indonesia Arfah menegaskan, patut diinvestigasi secara tuntas, dan menyeluruh karena sangat jelas Nur Alam mengakui memberikan uang sebagai modal usaha pertambangan kepada beberapa kolega, hal ini disampaikan oleh NA di saat bersaksi di PN Kendari. "Bukan mustahil bila modus ini juga dilakukan pada beberapa kegiatan usaha yang melibatkan keluarga atau kolega Nur Alam," ungkapnya Arfah.
Kedua lembaga tersebut juga menyarankan bahwa sebaiknya aparat penegak hukum dalam hal ini KPK segera melakukan penelusuran terhadap dugaan praktik pencucian uang atau money laundry, dan dugaan Gratifikasi pada kasus berbeda dalam lingkup pertambangan oleh mantan Gubernur Sultra periode 2013-2018, Nur Alam yang saat ini menjadi narapidana kasus korupsi pertambangan.
"Sebaiknya komisioner KPK segera melakukan penelusuran terhadap dugaan praktik pencucian uang atau money laundry oleh saudara Nur Alam. yang kelihatannya begitu bebas berkeliaran meski dalam status narapidana," protesnya.
"Kita mintakan menteri Hukum dan HAM bapak Yasonna Laoly, agar memperketat pengawasan khusus kepada para narapidana kasus korupsi seperti Nur Alam ini, yang disinyalir kuat sering memanfaatkan fasilitas berobat untuk bertemu dengan orang-orang luar dengan berbagai urusan. Kami contohkan pada saat acara peminangan anak sulungnya di Kolaka, beliau kan hadir selama sembilan hari tapi ternyata tidak menginap di Lapas Kendari, justru menginapnya di Rujab Sekda Kolaka, dan rumah pribadi dia. Ini harus diawasi betul, agar kejadian serupa tidak berulang karena bisa merusak citra Kemenkumham," tegasnya.
Dia terjerat kasus korupsi terkait Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi, dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi ke PT Anugrah Harisma Barakah di Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
Uang yang diperoleh Nur Alam dari pengurusan izin pertambangan sebesar Rp2,7 miliar. Uang itu digunakan Nur Alam untuk membeli rumah di kompleks perumahan Premier Estate Blok I/9 seharga Rp1,7 miliar serta mobil BMW Z4 seharga Rp1 miliar. Akibat kasus ini, Nur Alam Harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 2633 K/PID.SUS/2018 Tanggal 5 Desember 2018.
Direktur Eksekutif Indonesia Parlemen Watch (IPW) Sulawesi Tenggara (Sultra), Muliadi mengatakan, kesaksian mantan Gubernur Sultra, Nur Alam di persidangan kasus tambang beberapa waktu lalu di PN Kendari, justru membuktikan bahwa terjadi dugaan kuat modus pencucian uang seperti kasus sebelumnya yang menjeratnya.
"Dugaan kami mantan Gubernur Sultra Nur Alam kembali melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang , yang merupakan suatu upaya perbuatan melawan hukum untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana, melalui berbagai transaksi keuangan agar harta kekayaan seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal," jelasnnya.
Baca Juga
Ketua Pemerhati Hukum dan Korupsi Indonesia Arfah menegaskan, patut diinvestigasi secara tuntas, dan menyeluruh karena sangat jelas Nur Alam mengakui memberikan uang sebagai modal usaha pertambangan kepada beberapa kolega, hal ini disampaikan oleh NA di saat bersaksi di PN Kendari. "Bukan mustahil bila modus ini juga dilakukan pada beberapa kegiatan usaha yang melibatkan keluarga atau kolega Nur Alam," ungkapnya Arfah.
Kedua lembaga tersebut juga menyarankan bahwa sebaiknya aparat penegak hukum dalam hal ini KPK segera melakukan penelusuran terhadap dugaan praktik pencucian uang atau money laundry, dan dugaan Gratifikasi pada kasus berbeda dalam lingkup pertambangan oleh mantan Gubernur Sultra periode 2013-2018, Nur Alam yang saat ini menjadi narapidana kasus korupsi pertambangan.
"Sebaiknya komisioner KPK segera melakukan penelusuran terhadap dugaan praktik pencucian uang atau money laundry oleh saudara Nur Alam. yang kelihatannya begitu bebas berkeliaran meski dalam status narapidana," protesnya.
"Kita mintakan menteri Hukum dan HAM bapak Yasonna Laoly, agar memperketat pengawasan khusus kepada para narapidana kasus korupsi seperti Nur Alam ini, yang disinyalir kuat sering memanfaatkan fasilitas berobat untuk bertemu dengan orang-orang luar dengan berbagai urusan. Kami contohkan pada saat acara peminangan anak sulungnya di Kolaka, beliau kan hadir selama sembilan hari tapi ternyata tidak menginap di Lapas Kendari, justru menginapnya di Rujab Sekda Kolaka, dan rumah pribadi dia. Ini harus diawasi betul, agar kejadian serupa tidak berulang karena bisa merusak citra Kemenkumham," tegasnya.
(eyt)