GKJW Maron Blitar, Cerita Gereja Yang Didirikan Pengikut Pangeran Diponegoro

Senin, 28 Desember 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Saat seorang Belanda bernama Jellesma berkunjung ke Togogan tahun 1849, ada 21 orang warga yang meminta dibaptis masuk Kristen. Jellesma adalah pegawai pemerintah kolonial Belanda yang juga aktif di gereja Mojowarno Jombang. Jellesma juga yang membaptis Kiai Tunggul Wulung pada tahun 1855 dan sekaligus memberinya nama Ibrahim.

Kiai Tunggul Wulung merupakan salah satu tokoh pengabaran injil di Jawa. Meski baru dibaptis tahun 1855, Kiai Tunggul Wulung yang lama mengasingkan diri di sekitar lereng Kelud, sudah mengenal Kristen sejak 1840 di Ngoro dan Mojowarno. Menurut Bambang, sebelum peristiwa 21 orang dibaptis Jellesma, di Togogan sudah ada orang Kristen Jawa.

Mereka adalah empat belas orang bekas laskar Diponegoro yang kemudian hijrah ke Maron sekaligus mendirikan gereja baru tersebut. Sesuai catatan koran Belanda, pada tahun 1858 seluruh orang Kristen di Togogan hijrah ke Desa Maron. Gereja di Togogan dibongkar. Sebagian kayu kayunya dipakai untuk membangun gereja di Maron.

"Atas dasar itu saya meyakini usia gereja Maron saat ini 174 tahun," kata Bambang. Namun jika mengacu surat pembaptisan Stepanus Martosudarmo, yakni tahun 1858, umur gereja Maron saat ini, baru 168 tahun. Bukti lain Gereja Maron didirikan oleh orang orang pelarian laskar Diponegoro adalah keris pusaka Nogo Siluman. Sebuah pusaka yang diyakini memiliki kekuatan dalam hal kepemimpinan.

Pada awal pemerintahan Desa Maron, tampuk kepemimpinan kepala desa selalu dipegang orang orang Kristen. Dan itu berlangsung sangat lama. Bambang yang pernah menempuh studi jurusan sejarah di Yogyakarta menjelaskan, keris berukir kepala naga dengan tatahan campuran emas tersebut, merupakan pusaka pegangan orang orang laskar Diponegoro.

Saat ini keris pusaka tersebut berada di tangan ahli warisnya, yakni seorang Kristen bernama Suyoso atau Mbah Yoso. Mbah Yoso merupakan keturunan Stepanus yang tidak lain trah langsung pelarian laskar Diponegoro. Adanya pusaka Nogo Siluman membuat Bambang semakin yakin bahwa para pelarian laskar Diponegoro yang mendirikan gereja di Maron.

"Sudah pernah saya bawa untuk dicek di TMII Jakarta. Dan dipastikan asli," terang Bambang yang berasal dari Pacitan dan baru 5 tahun bertugas menjadi pendeta di GKJW Maron. Keterbatasan sumber tertulis diakui Bambang dirinya sulit memastikan alasan empat belas pengikut Pangeran Diponegoro tersebut memilih menjadi seorang Kristen.

Apalagi di masa kolonial itu, orang orang Belanda juga setengah hati membaptis orang Jawa menjadi Kristen. Bahkan tidak sedikit yang menolak. Orang Belanda khawatir, pembaptisan akan membuat kedudukan sosial pribumi menjadi sama. Dari cerita tutur yang Bambang peroleh, perpindahan keyakinan itu kemungkinan karena alasan keselamatan.

Sebab pasca perang Diponegoro mereka terus dikejar kejar Belanda. Dengan menjadi seorang Kristen dan beralih sebagai petani, mereka berpikir akan lebih aman. Mereka tidak lagi hidup dalam pelarian. Namun dalam perjalanannya darah memberontak mereka tetap saja bergolak. "Mungkin awalnya strategi. Namun panggilan Tuhan datangnya dari berbagai jalan," pungkas Bambang.

Seperti diketahu GKJW Maron memiliki sebanyak 700an jamaah. Di Desa Maron juga terdapat pondok pesantren tua. Kendati demikian kehidupan kerukunan beragama antara umat Islam dan Kristen di Desa Maron berlangsung baik. Salah satu dasar terbangunnya kerukunan serta toleransi umat beragama di Maron adalah karena para tokoh Islam dan Kristen di Desa Maron berasal dari satu keturunan yang sama.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1521 seconds (0.1#10.140)