Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore
loading...
A
A
A
Tetapi, pekerjaan Nuku belum sempat diselesaikan secara tuntas, ketika Tuhan memanggilnya pulang ke haribaan-Nya. Pada 14 November 1805, Maluku kehilangan seorang sultan yang semasa hidupnya dikenal sebagai Jou Barakati, atau di kalangan orang Inggris disapa dengan Lord of Fortune.
Kepergian Nuku merupakan kehilangan besar bagi rakyat Maluku, khususnya warga Kesultanan Tidore. Wafatnya Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Kesultanan Tidore yang wilayahnya meliputi Halmahera Timur (Weda, Patani, Gebe dan Bicoli), Seram Utara dan Timur, kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan.
Wafatnya Nuku juga memberi kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Loloda yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya, ketika Nuku menyingkir ke kepulauan Raja Ampat, Papua daratan, Seram dan Halmahera Timur, hingga saat terakhir ketika ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Setelah Nuku wafat, sejarah lama Tidore berulang kembali. Perebutan kekuasaan oleh pengganti-pengganti Nuku dan campur tangan pemerintah Belanda dalam suksesi Tidore, menyebabkan pamor Tidore terpuruk kembali menjadi kesultanan yang lemah.
Untuk mengenang kepahlawanan Sultan Nuku, namanya digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Indonesia, yaitu KRI Sultan Nuku-373. Kapal ini merupakan kapal perang TNI Angkatan Laut yang tergabung dalam Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), yang bertugas mengamankan perairan teritorial dan yuridiksi Indonesia khususnya wilayah Timur.
Perdana Menteri Kesultanan Tidore (Jajou), Provinsi Maluku Utara, M Amin Faaroek saat menjamu rombongan Jelajah Negeri Rempah, di Kedaton Kesultanan Tidore, bercerita bahwa di masa kepemimpinan Sultan Nuku, pengaruh Kesultanan Tidore tak hanya di Nusantara tapi sampai ke Samudera Pasifik dan Filipina.
Karena luasnya pengaruh kepemimpinan Sultan Nuku, membuat Tidore memiliki nilai historis serta strategis selama lebih dari 800 tahun di level global maupun kawasan Asia, yang tentunya pula sangat memengaruhi dan menentukan daya saing serta posisi tawar Indonesia di kancah dunia.
Tidore juga terpilih masuk dalam jaringan kota-kota Magellan sebagai salah satu kota yang disinggahi Ferdinand Magellan dan Juan Bastian Calcutta saat mengelilingi dunia untuk mencari rempah, dan menentukan bahwa dunia bulat pada beberapa abad lalu sebagai bukti kebesaran wilayah Maluku.
Tidore bersama empat pulau lainnya, yakni Ternate, Mare, Mutir dan Makian disebut Jazirat-al-mulk atau kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Kawasan ini pula yang menjadi asal muasal nama Maluku atau tanah para raja. Pada abad 16 Masehi, padagang asal Portugal menyebut Mulk sebagai Moluco atau Moluccas.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kesultanan Tidore dikenal sangat memegang teguh prinsip berkeyakinan sesuai ajaran Islam. Kesultanan Tidore juga berpandangan terbuka dan sangat menghargai perbedaan. Luar biasanya, jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kesultanan Tidore sudah menerapkan yang namanya demokrasi.
Kepergian Nuku merupakan kehilangan besar bagi rakyat Maluku, khususnya warga Kesultanan Tidore. Wafatnya Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Kesultanan Tidore yang wilayahnya meliputi Halmahera Timur (Weda, Patani, Gebe dan Bicoli), Seram Utara dan Timur, kepulauan Raja Ampat dan Papua daratan.
Wafatnya Nuku juga memberi kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Loloda yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya, ketika Nuku menyingkir ke kepulauan Raja Ampat, Papua daratan, Seram dan Halmahera Timur, hingga saat terakhir ketika ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Setelah Nuku wafat, sejarah lama Tidore berulang kembali. Perebutan kekuasaan oleh pengganti-pengganti Nuku dan campur tangan pemerintah Belanda dalam suksesi Tidore, menyebabkan pamor Tidore terpuruk kembali menjadi kesultanan yang lemah.
Untuk mengenang kepahlawanan Sultan Nuku, namanya digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Indonesia, yaitu KRI Sultan Nuku-373. Kapal ini merupakan kapal perang TNI Angkatan Laut yang tergabung dalam Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), yang bertugas mengamankan perairan teritorial dan yuridiksi Indonesia khususnya wilayah Timur.
Perdana Menteri Kesultanan Tidore (Jajou), Provinsi Maluku Utara, M Amin Faaroek saat menjamu rombongan Jelajah Negeri Rempah, di Kedaton Kesultanan Tidore, bercerita bahwa di masa kepemimpinan Sultan Nuku, pengaruh Kesultanan Tidore tak hanya di Nusantara tapi sampai ke Samudera Pasifik dan Filipina.
Karena luasnya pengaruh kepemimpinan Sultan Nuku, membuat Tidore memiliki nilai historis serta strategis selama lebih dari 800 tahun di level global maupun kawasan Asia, yang tentunya pula sangat memengaruhi dan menentukan daya saing serta posisi tawar Indonesia di kancah dunia.
Tidore juga terpilih masuk dalam jaringan kota-kota Magellan sebagai salah satu kota yang disinggahi Ferdinand Magellan dan Juan Bastian Calcutta saat mengelilingi dunia untuk mencari rempah, dan menentukan bahwa dunia bulat pada beberapa abad lalu sebagai bukti kebesaran wilayah Maluku.
Tidore bersama empat pulau lainnya, yakni Ternate, Mare, Mutir dan Makian disebut Jazirat-al-mulk atau kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Kawasan ini pula yang menjadi asal muasal nama Maluku atau tanah para raja. Pada abad 16 Masehi, padagang asal Portugal menyebut Mulk sebagai Moluco atau Moluccas.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kesultanan Tidore dikenal sangat memegang teguh prinsip berkeyakinan sesuai ajaran Islam. Kesultanan Tidore juga berpandangan terbuka dan sangat menghargai perbedaan. Luar biasanya, jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kesultanan Tidore sudah menerapkan yang namanya demokrasi.