Etika Kedokteran: Dokter Tidak Boleh Tolak Pasien

Selasa, 12 Mei 2020 - 08:51 WIB
loading...
Etika Kedokteran: Dokter...
Ketua IDI dan PERSI Jatim menemui Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membahas tentang rumah sakit rujukan selama pandemi COVID-19. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Berdasarkan kode etik kedokteran, rumah sakit maupun dokter tidak boleh membedakan pasien berdasarkan suku, ras, agama maupun kedaerahan dan pandangan politik.

Hal itu disampaikan Ketua Gugus Tugas Kuratif COVID-19 Jatim, Joni Wahyuhadi menyusul pernyataan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang keberatan dengan jumlah pasien rujukan COVID-19 dari luar daerah yang dirawat di Surabaya.

Pernyataan itu dilontarkan Risma, panggilan Tri Rismaharini saat menggelar pertemuan dengan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya, dan Persi Jatim di Halaman Balai Kota Surabaya, Senin (11/05/2020).

"Kalau, misalkan Pemerintah Provinsi membuat Rumah Sakit (RS) khusus untuk Provinsi Jatim saja, orang Kalimantan dan Jawa Tengah tidak boleh masuk, itu nggak etis. Tidak diperkenankan di dunia kedokteran. Sudah paham maksud saya ya? Coba dibuka etika kedokteran," kata Joni di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Senin (11/5/2020) malam.

Di RSUD dr Soetomo Surabaya, kata dia, yang merupakan RS milik Pemprov Jatim, pasiennya 95 persen merupakan masyarakat Surabaya. Penyakit COVID-19 ini, RS-RS daerah di Jatim sudah banyak yang bisa menangani. Ini karena hanya perlu dokter paru-paru, dokter bius, dokter penyakit dalam, perlu ruang isolasi, ruang ICU tidak selalu perlu.

"Ini (COVID-19) bukan penyakit tumor otak yang harus ke Surabaya. COVID-19 ini adalah penyakit bisa ditangani dokter paru-paru, penyakit dalam dan dokter umum yang disupervisi dokter paru-paru. Saya tidak tahu di rumah sakit lain, apakah memang banyak pasien rujukan dari luar Surabaya, perlu diupdate datanya itu. Karena di RSUD dr Soetomo tidak berbicara seperti itu," jelasnya.

Direktur RSUD dr Soetomo ini menjelaskan, kesiapan RS di daerah di Jatim sangat luar biasa, bahkan ada RS yang mengembangkan ruang isolasinya dari 2 menjadi 40. Misalnya Sidoarjo yang merawat hingga 125 pasien COVID-19.

"Jadi, mereka mengembangkan sampai 60 ruang isolasi. RSUD Sidoarjo tidak pernah merujuk, karena ada dokter spesialis paru, dokter spesialis anastesi dan ruangan isolasi bisa dengan biaya RS, bisa refocusing dibuat isolasi negatif. Tidak terlalu sulit," tegasnya.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4479 seconds (0.1#10.140)