Menjahit Merah Putih, Eks Napiter ke Pangkuan Ibu Pertiwi atau Aksi Panggung?
loading...
A
A
A
“Ada dua hal, yakni front stage (atas panggung) dan back stage (belakang panggung). Kalau saya melihat ada di permukaan dan kondisi riil. Nah ini di permukaan apakah memang betul-betul sampai kepada yang riil? Kalau dunia televisi ada dunia panggung dan nyata. Sinetron itu dunia panggung dan nyatanya kadang berbeda,” lugasnya.
Mantan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah itu menyebut terdapat tiga kategori eks napiter setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sebagian menyatakan kembali ke NKRI, kemudian akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat tertentu, dan kategori terakhir tidak mengambil pilihan pertama atau kedua.
“Ada tiga kelompok. Pertama, memang dia sudah NKRI, betul-betul NKRI. Kelompok ini pun tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dipantau, dibina dan dikembangkan. Kemudian yang kedua, saya bergabung ke NKRI kalau. Jadi ada syaratnya,” terangnya.
“Lalu yang ketiga, memang sudah keluar (dari lapas) tapi dia adalah orang-orang yang tidak mau menandatangani pakta integritas ke NKRI. Misalkan vonis 7 tahun, ya 7 tahun hukumnya. Kan ada yang terakhir dari Nusakambangan, kira-kira sepekan lalu dia keluar. Dia tidak mau tanda tangan kembali ke NKRI,” tandas Lulusan University of South Australia itu.
Dia menyebut program deradikalisasi yang digaungkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti menggandeng pemerintah daerah untuk melanjutkan pemantauan eks napiter. Sebab, kebanyakan mantan napiter berada di daerah-daerah yang mesti mendapatkan pendampingan berkelanjutan. (Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda di Jateng Dihadiri Difabel hingga Mantan Teroris )
“Kalau saya membahasakan seperti hit and run. Program itu kemudian ditinggal ke Jakarta. Lalu yang melakukan pemantauan di daerah itu siapa? Kan rata-rata (eks napiter) di daerah di seluruh Indonesia,” ujar Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah periode 2008-2013 ini.
Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah , Haerudin, mengatakan, selalu melibatkan eks napiter untuk sosialisasi bahaya paham radikal. Mereka menjadi narasumber untuk menyampaikan pola-pola perekrutan hingga aktivitas terorisme.
“Bagaimana terorisme itu, mulai dari rekrutmennya lalu aktivitas-aktivitasnya yang selalu dijanjikan dengan sesuatu yang manis-manis. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa, makanya yang sadar seperti Mas Jack Harun itu kan akhirnya kembali ke NKRI,” jelas Haerudin.
Pihaknya kini tengah menggodok aturan agar pembinaan eks napiter melibatkan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Sebab, kebutuhan mereka selepas dari penjara sangat kompleks. Bukan hanya deradikalisasi melainkan juga kesehatan hingga ekonomi.
“Kebetulan saya baru dari Sukoharjo, menguruskan teman-teman (eks napiter) yang membutuhkan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membantu mereka kalau misalnya membutuhkan layanan dengan kesehatan,” ujarnya.
Mantan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah itu menyebut terdapat tiga kategori eks napiter setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sebagian menyatakan kembali ke NKRI, kemudian akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat tertentu, dan kategori terakhir tidak mengambil pilihan pertama atau kedua.
“Ada tiga kelompok. Pertama, memang dia sudah NKRI, betul-betul NKRI. Kelompok ini pun tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dipantau, dibina dan dikembangkan. Kemudian yang kedua, saya bergabung ke NKRI kalau. Jadi ada syaratnya,” terangnya.
“Lalu yang ketiga, memang sudah keluar (dari lapas) tapi dia adalah orang-orang yang tidak mau menandatangani pakta integritas ke NKRI. Misalkan vonis 7 tahun, ya 7 tahun hukumnya. Kan ada yang terakhir dari Nusakambangan, kira-kira sepekan lalu dia keluar. Dia tidak mau tanda tangan kembali ke NKRI,” tandas Lulusan University of South Australia itu.
Dia menyebut program deradikalisasi yang digaungkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti menggandeng pemerintah daerah untuk melanjutkan pemantauan eks napiter. Sebab, kebanyakan mantan napiter berada di daerah-daerah yang mesti mendapatkan pendampingan berkelanjutan. (Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda di Jateng Dihadiri Difabel hingga Mantan Teroris )
“Kalau saya membahasakan seperti hit and run. Program itu kemudian ditinggal ke Jakarta. Lalu yang melakukan pemantauan di daerah itu siapa? Kan rata-rata (eks napiter) di daerah di seluruh Indonesia,” ujar Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah periode 2008-2013 ini.
Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah , Haerudin, mengatakan, selalu melibatkan eks napiter untuk sosialisasi bahaya paham radikal. Mereka menjadi narasumber untuk menyampaikan pola-pola perekrutan hingga aktivitas terorisme.
“Bagaimana terorisme itu, mulai dari rekrutmennya lalu aktivitas-aktivitasnya yang selalu dijanjikan dengan sesuatu yang manis-manis. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa, makanya yang sadar seperti Mas Jack Harun itu kan akhirnya kembali ke NKRI,” jelas Haerudin.
Pihaknya kini tengah menggodok aturan agar pembinaan eks napiter melibatkan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Sebab, kebutuhan mereka selepas dari penjara sangat kompleks. Bukan hanya deradikalisasi melainkan juga kesehatan hingga ekonomi.
“Kebetulan saya baru dari Sukoharjo, menguruskan teman-teman (eks napiter) yang membutuhkan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membantu mereka kalau misalnya membutuhkan layanan dengan kesehatan,” ujarnya.