Menjahit Merah Putih, Eks Napiter ke Pangkuan Ibu Pertiwi atau Aksi Panggung?

Kamis, 12 November 2020 - 11:21 WIB
loading...
Menjahit Merah Putih, Eks Napiter ke Pangkuan Ibu Pertiwi atau Aksi Panggung?
Aksi mantan pengikut gembong teroris Noordin M Top mencegat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo demi menyerahkan Sang Merah Putih, menuai banyak pujian. Dok.SINDOnews
A A A
SEMARANG - Aksi mantan pengikut gembong teroris Noordin M Top mencegat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo demi menyerahkan Sang Merah Putih, menuai banyak pujian. Bukan hanya tepat pada peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, aksi itu juga dinilai sebagai pengakuan kembali ke NKRI.

Potongan video yang memperlihatkan seorang pria berpeci membawa kotak kardus mencegat Ganjar di kawasan Kantor Gubernur Jateng , beredar luas di jagat maya seperti pada akun Youtube @Ganjar Pranowo. Setelah dibuka, ternyata berisi Bendera Merah Putih yang langsung diserahkan kepada Ganjar.

Pria itu mengaku sebagai mantan narapidana terorisme (napiter) bernama Sri Puji Mulyo Siswanto. Dia ditangkap dan dipenjara selama enam tahun akibat menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, otak sejumlah serangan terorisme di Indonesia.

"Selamat ulang tahun Pak, ini kado dari kami teman-teman eks napi terorisme yang ada di Yayasan Persadani, sebagai bukti bahwa kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," kata Sri Puji, yang juga mengaku pernah dipenjara karena terlibat pelatihan terorisme di Aceh.

Sri Puji mengatakan sengaja memberikan kado Bendera Merah Putih saat hari ulang tahun Ganjar yang memasuki usia 52 tahun. Bendera berukuran 40x60 sentimeter persegi itu dijahit sendiri oleh para eks napiter di Yayasan Persadani (Persaudaraan Anak Negeri).

“Ya mudah-mudahan kado ini sangat berharga bagi kami dan Pak Ganjar, karena yang akan kami berikan ini kita sebagai wujud bahwa kami, teman-teman kami yang ada di Yayasan Persadani sudah menyatakan diri untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, NKRI. Sehingga wujud dari itu adalah Bendera Merah Putih yang kami bikin sendiri, dijahit oleh ketuanya dibantu oleh bendahara kami,” jelasnya.

Warga Genuk Kota Semarang itu menyampaikan, tak butuh waktu terlalu lama untuk membuat bendera tersebut. Meski demikian, selembar kain itu memiliki banyak makna sekaligus simbol mantan napiter kembali berkontribusi untuk negeri.

“Prosesnya kurang lebih kemarin sekira 2 jam, enggak nyampai. Kami ingin memberikan simbol pada Pak Ganjar, selaku beliau bapak kami di Jawa Tengah. Bahwa ini lho ada warga yang dulu ‘nakal’, sekarang sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kami ingin berikan kontribusi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah khususnya, untuk bisa kami bersinergi dengan program-program yang ada di provinsi Jawa Tengah,” tandasnya.

Dia masih mengingat ketika awal bergabung dengan jaringan teroris. Berawal dari empati melihat saudara-saudara sesama muslim yang dizalimi. Empati itu kian mengeras hingga menjadi emosional yang tidak terkendali, hingga masuk ke jaringan itu. (Baca juga: Hari Sumpah Pemuda Kejutan Eks Narapidana Terorisme untuk Ganjar Pranowo )

“Awalnya rasa empati kami kepada saudara-saudara kami yang memurut kami dizalimi, sehingga kami terpanggil. Namun karena emosional yang mungkin kurang terkendali, lama-lama kita masuk terus ke jaringan itu,” terangnya. “Saya 2005 menyembunyikan Noordin M Top dan Dr Azahari, kemudian bebas. Tahun 2010 terlibat lagi kaitannya dengan pelatihan (terorisme) Aceh,” tambah dia.

Dua kali menjalani hukuman penjara menjadi titik balik kehidupan barunya. Sebab penjara tak sekadar merasakan dinginnya jeruji besi, melainkan terbentuknya ruang-ruang diskusi hingga membuka wawasannya.

“Setelah kami saya pribadi menjalani proses hukuman dan di sana kita ada ruang diskusi, ruang dialog, dengan beberapa profesional baik itu dari akademisi, para mubaligh, kemudian dari kampus. Kami terbuka wacana, ternyata Islam itu tidak harus seperti itu (keras), karena Indonesia beda dengan kondisi yang ada di luar seperti Timur Tengah, Filipina, dan lain sebagainya,” ungkapnya.

“Saya berpesan pada kawan kita (yang masih berpaham radikal), cobalah kita buka ruang diskusi, ruang dialog karena hanya dengan diskusi dan dialog akan ada solusi untuk persoalan-persoalan yang memang menurut kita harus diselesaikan,” cetus dia.

Kado Bendera Merah Putih itu menjadi kejutan tersendiri bagi Ganjar Pranowo. Apalagi, bendera itu dijahit sendiri oleh tangan-tangan mantan napiter. Mereka diharapkan bisa menjadi juru kampanye agar masyarakat tak mudah terpengaruh paham radikal.

“Surprise aja sih. Ya karena menariknya kita menemukan saudara-saudara kita yang pernah tersesat dan mereka kembali kepada pangkuan Ibu Pertiwi. Hari ini mereka juga melakukan aktivitas ini untuk berbagi pengalaman, berbagi cerita kepada masyarakat bagaimana sebenarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan,” kata Ganjar. (Baca juga: Ditanya Soal Capres Ganjar Pranowo Lebih Senang Bicara Covid-19 )

“Mudah-mudahan mereka akan bisa menjadi menjadi orang-orang yang bisa mengampanyekan bagaimana berbangsa, bernegara, menjaga NKRI, menjaga Pancasila, melaksanakannya dengan baik. Itu komunitas-komunitas yang mesti kita temani mereka bisa memberikan pengalamannya ini kepada orang lain untuk tidak ditiru,” tandasnya.

Usai memberikan kado, Sri Puji juga mengikuti upacara peringatan hari Sumpah Pemuda di Jawa Tengah yang digelar secara virtual di Gedung Gradhika Bhakti Praja. Terdapat tiga eks napiter lainnya yang hadir dalam acara itu yakni Joko Triharmanto alias Jack Harun eks napiter kasus Bom Bali, dan dua lainnya Surono serta Paimin.

Sementara itu, pengamat terorisme Najahan Musyafak, menilai pemberian kado Bendera Merah Putih kepada Gubernur Jawa Tengah itu belum bisa diklaim eks napiter kembali ke NKRI. Sebab, aksi tersebut hanya muncul di permukaan, sehingga perlu pendalaman lebih lanjut. “Yang pertama harus ada program (deradikalisasi) dan kedua adanya parameter-parameter,” ujar Dr Najahan yang tercatat sebagai dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang, Kamis (12/11/2020).

“Dan itu (menjahit Bendera Merah Putih) bukan programnya Pak Gubernur. Ketika mereka itu menjahit sendiri untuk menunjukkan bahwa saya mantan napiter sekarang sudah NKRI, tapi itu bukan sebuah program (yang direncanakan),” imbuhnya.

Menurutnya, program deradikalisasi bukan sekadar seremoni yang tampak di permukaan. Mesti dilakukan pembinaan dan pemantauan secara langsung agar mantan napiter tak kembali ke paham sebelumnya.Apalagi, setelah bebas dari penjara banyak persoalan yang mesti dihadapi di tengah masyarakat. Di antaranya ketika kembali berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat, termasuk kebutuhan ekonomi yang mesti dicukupi.

“Ada dua hal, yakni front stage (atas panggung) dan back stage (belakang panggung). Kalau saya melihat ada di permukaan dan kondisi riil. Nah ini di permukaan apakah memang betul-betul sampai kepada yang riil? Kalau dunia televisi ada dunia panggung dan nyata. Sinetron itu dunia panggung dan nyatanya kadang berbeda,” lugasnya.

Mantan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah itu menyebut terdapat tiga kategori eks napiter setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Sebagian menyatakan kembali ke NKRI, kemudian akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat tertentu, dan kategori terakhir tidak mengambil pilihan pertama atau kedua.

“Ada tiga kelompok. Pertama, memang dia sudah NKRI, betul-betul NKRI. Kelompok ini pun tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dipantau, dibina dan dikembangkan. Kemudian yang kedua, saya bergabung ke NKRI kalau. Jadi ada syaratnya,” terangnya.

“Lalu yang ketiga, memang sudah keluar (dari lapas) tapi dia adalah orang-orang yang tidak mau menandatangani pakta integritas ke NKRI. Misalkan vonis 7 tahun, ya 7 tahun hukumnya. Kan ada yang terakhir dari Nusakambangan, kira-kira sepekan lalu dia keluar. Dia tidak mau tanda tangan kembali ke NKRI,” tandas Lulusan University of South Australia itu.

Dia menyebut program deradikalisasi yang digaungkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mesti menggandeng pemerintah daerah untuk melanjutkan pemantauan eks napiter. Sebab, kebanyakan mantan napiter berada di daerah-daerah yang mesti mendapatkan pendampingan berkelanjutan. (Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda di Jateng Dihadiri Difabel hingga Mantan Teroris )

“Kalau saya membahasakan seperti hit and run. Program itu kemudian ditinggal ke Jakarta. Lalu yang melakukan pemantauan di daerah itu siapa? Kan rata-rata (eks napiter) di daerah di seluruh Indonesia,” ujar Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah periode 2008-2013 ini.

Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah , Haerudin, mengatakan, selalu melibatkan eks napiter untuk sosialisasi bahaya paham radikal. Mereka menjadi narasumber untuk menyampaikan pola-pola perekrutan hingga aktivitas terorisme.

“Bagaimana terorisme itu, mulai dari rekrutmennya lalu aktivitas-aktivitasnya yang selalu dijanjikan dengan sesuatu yang manis-manis. Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan apa-apa, makanya yang sadar seperti Mas Jack Harun itu kan akhirnya kembali ke NKRI,” jelas Haerudin.

Pihaknya kini tengah menggodok aturan agar pembinaan eks napiter melibatkan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Sebab, kebutuhan mereka selepas dari penjara sangat kompleks. Bukan hanya deradikalisasi melainkan juga kesehatan hingga ekonomi.

“Kebetulan saya baru dari Sukoharjo, menguruskan teman-teman (eks napiter) yang membutuhkan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk membantu mereka kalau misalnya membutuhkan layanan dengan kesehatan,” ujarnya.

“Sekarang kita juga memperkuat untuk peran pemerintah daerah dalam rangka melakukan gerak yakni sedang menyusun surat gubernur untuk memberikan pembinaan secara terstruktur. Jadi kami dengan OPD terkait nanti kita akan melakukan pembinaan. Bukan hanya pembinaan kebangsaannya, tetapi juga pembinaan kegiatan usaha dan pembinaan keagamaan,” tutur warga Pudakpayung Semarang itu.

Pria yang kini menjabat Pjs Bupati Grobogan itu mengatakan terdapat sedikitnya 127 eks napiter di Jawa Tengah . Dari jumlah tersebut baru sekira 50 persen yang menyatakan kembali ke Pancasila dan pangkuan Ibu Pertiwi. “Jumlahnya dinamis ada penambahan-penambahan. Tapi kemarin itu terakhir sekira 127 orang. Di antara jumlah orang itu yang istilahnya sudah NKRI itu ya separuhnya,” katanya.

Para mantan napi teroris ini mendapat pembinaan dan bergabung dengan lembaga yang dikelola oleh masyarakat. Namun, masih banyak pula yang enggan bergabung dan cenderung menutup diri karena beragam persoalan di masyarakat.

“Sudah dibina melalui dua yayasan yakni Gema Salam itu di Sukoharjo dan Persadani di Semarang. Tetapi masih banyak juga yang belum bergabung di dalam yayasan. Artinya mereka untuk bertemu dengan kita saja itu masih malu-malu. Mungkin masih takut, atau mungkin malah tidak mau (bergabung dengan NKRI),” terangnya.

“Ini yang juga menjadi PR kita. Maka kita selalu kerjasama, koordinasi dengan pihak terkait dengan mengumpulkan data-data, mereka yang sudah keluar (penjara) mana saja. Lalu kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan untuk sama-sama kembali ke NKRI,” tegas dia. (Baca juga: Pelayanan Pasien BPJS Kesehatan di Klinik dr Ranny )

Dia meyakinkan, pemerintah serius menangani eks napiter agar tak kembali direkrut oleh jaringan radikal. Sebab, selain membahayakan stabilitas negara paham radikal yang berkedok agama juga menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuan.

“Misalnya ini tidak ditangani secara benar, mereka direkrut lagi yang lain kan repot. Keluar dari lembaga pemasyarakatan, dibiayai negara pada proses pembinaan di situ (lapas), dia begitu keluar diajak lagi sama kelompok yang memang masih punya misi ke situ (terorisme). Kan negara ini nanti bolak-balik ngurusi itu, enggak selesai-selesainya,” pungkasnya.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)