Laskar Hizbullah dan Sejarah Perang di Kota Pahlawan

Senin, 09 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Sejarahwan Universitas Airlangga RN Bayu Aji menuturkan, Laskar Hizbullah merupakan pejuang yang terdiri dari pemuda-pemuda Islam dan para santri pondok pesantren. “Kiprah para ulama dan kiai menjadi penting atas lahirnya pejuang militan Hisbullah,” kata Rojil, panggilan akrabnya. (Baca: Karomah KR Sumomihardho Isi Kekuatan Magis TKR di Pertempuran Surabaya).

Ia melanjutkan, Laskah Hizbullah sendiri tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur yang menjadi kantong para santri. Salah satunya di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri dan Jombang. “Kiai Wahid Hasyim merupakan ketuanya saat itu,” ucapnya.

Arek-arek Surabaya pun protes pada sekutu. Mereka berkerumun di halaman Hotel Yamato yang saat ini berubah nama menjadi Hotel Majapahit. Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan pejuang lainnya meminta bendera Belanda diturunkan lalu dikibarkan bendera Indonesia.

Gerakan arek-arek Suroboyo membuat sekutu keder. Mereka pun membalasnya dan mengeluarkan ultimatum yang berisi tuntutan agar warga Surabaya mau menyerahkan senjatanya kepada tentara sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada hari berikutnya, yakni 10 November 1945.

Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan para pejuang lainnya menolak untuk menyerahkan senjatanya. Battle of Surabaya pun terjadi dengan sengit, tanpa jeda dan pertempuran berlangsung selama kurang lebih tiga minggu tersebut menelan hingga ribuan jiwa di pihak Indonesia (Baca: Kampung Adat Praijing, Museum Adat Sumba Barat).

Rojil mengatakan, peristiwa 10 Nopember 1945 begitu solid dengan adanya persatuan. Ada peran ulama, santri serta Hizbullah yang ketika dirunut melalui Resolusi Jihad fi Sabilillah NU 22 Oktober 1945.

Resolusi itu menyerukan yang dilandasi bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam. “Termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam,” katanya.

Sehari sebelum pecah pertempuran puncak di Surabaya, KH Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Baginya, tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan Indonesia. (Baca: Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp 10 Ribu).

Bambu runcing yang dipakai para pejuang dalam pertempuran 10 November di Surabaya menjadi senjata utama melawan sekutu. Bambu runcing dalam sebuah kisah juga diberikan suwuk (doa) dari para kiai. Ratusan ribu bambu runcing sebelum dikirim ke Surabaya diberikan doa KH Mansyur, pendiri Pondok Pesantren Al Fattah Kalipucang, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar.

Sementara para prajurit kemerdekaan juga mendapat perlakuan yang sama. Mbah Makruf Kedunglo Kediri, sebagaimana riwayat yang diceritakan di kalangan santri, sebelum berangkat bertempur pada 10 November, para tentara dan santri yang ikut berjuang diberi suwuk oleh Mbah Makruf dengan harapan mereka kebal dengan berbagai senjata. Mereka diberi minum air jeding dekat Masjid.

Battle of Surabaya tetap menjadi sejarah panjang dalam terbentuknya republik ini. Keberanian dan semangat pantang menyerah dari arek-arek Suroboyo selalu memberikan teladan bagi setiap generasi untuk pantang menyerah.
(nag)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1016 seconds (0.1#10.140)