Catatan KontraS Atas Aksi Tolak Omnibus Law di Surabaya dan Malang
loading...
A
A
A
SURABAYA - Sebanyak 634 pengunjuk rasa anarkistis diamankan polisi dalam aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Surabaya dan Malang pada Kamis (8/10/2020) lalu. Rinciannya, 505 orang berasal dari Surabaya dan 129 orang lainnya dari Kota Malang.
Dari jumlah itu, 14 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Sisanya, sekitar 620 orang dilepas dan diserahkan terimakan pada keluarga masing-masing.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, setidaknya ada 7 bentuk dugaan tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian selama menangani dan mengawal unjuk rasa tolak omnibus law di dua kota tersebut.
(Baca juga: Strategi Khofifah Cegah Pelajar Ikut Demo Omnibus Law )
Pertama, polisi menangkap secara sewenang-wenang kepada beberapa massa yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis.
“Pelanggaran kedua, aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap,” kata Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, Kamis (15/10/2020).
(Baca juga: Sudah Almarhum, Henry J Gunawan Masih Terseret Kasus Tanah )
Ketiga, kata dia, pihaknya menemukan aparat kepolisian melakukan penyerangan dan melakukan pengerusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.
Keempat, aparat kepolisian melalukan intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. “Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat pendokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi,” terangnya.
Pelanggaran kelima, imbuhnya, aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Sehingga tim advokasi mengalami kesusahan dalam bantuan hukum.
(Baca juga: Pria Pengantin Baru di Ponorogo Cabuli Siswi SMP Sampai Hamil )
Keenam, aparat kepolisian belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi. “Pelanggaran ketujuh, aparat kepolisian melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak dibawah umur selama proses penangkapan,” tandas Faisal.
Dia menilai, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian ini menunjukkan reformasi kepolisian masih jauh dari harapan publik. Untuk itu KontraS meminta Polri mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, teror, perampasan, dan intimidasi kepada masyarakat umum, peserta unjuk rasa, dan jurnalis di Gedung Negara Grahadi.
"Kami juga minta polisi untuk menyampaikan permohonan maaf pada pihak korban dan masyarakat atas tindakan tersebut,” pintanya.
Kontras juga meminta Polri melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya. Selain itu, untuk seluruh petugas yang terlibat dalam tindak kekerasan bisa diberhentikan secara tidak hormat sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
“Kami juga minta agar hak korban bisa dipenuhi dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan," terangnya.
Dari jumlah itu, 14 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Sisanya, sekitar 620 orang dilepas dan diserahkan terimakan pada keluarga masing-masing.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, setidaknya ada 7 bentuk dugaan tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian selama menangani dan mengawal unjuk rasa tolak omnibus law di dua kota tersebut.
(Baca juga: Strategi Khofifah Cegah Pelajar Ikut Demo Omnibus Law )
Pertama, polisi menangkap secara sewenang-wenang kepada beberapa massa yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis.
“Pelanggaran kedua, aparat kepolisian melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap,” kata Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, Kamis (15/10/2020).
(Baca juga: Sudah Almarhum, Henry J Gunawan Masih Terseret Kasus Tanah )
Ketiga, kata dia, pihaknya menemukan aparat kepolisian melakukan penyerangan dan melakukan pengerusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi.
Keempat, aparat kepolisian melalukan intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. “Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat pendokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi,” terangnya.
Pelanggaran kelima, imbuhnya, aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya. Sehingga tim advokasi mengalami kesusahan dalam bantuan hukum.
(Baca juga: Pria Pengantin Baru di Ponorogo Cabuli Siswi SMP Sampai Hamil )
Keenam, aparat kepolisian belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi. “Pelanggaran ketujuh, aparat kepolisian melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak dibawah umur selama proses penangkapan,” tandas Faisal.
Dia menilai, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian ini menunjukkan reformasi kepolisian masih jauh dari harapan publik. Untuk itu KontraS meminta Polri mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, teror, perampasan, dan intimidasi kepada masyarakat umum, peserta unjuk rasa, dan jurnalis di Gedung Negara Grahadi.
"Kami juga minta polisi untuk menyampaikan permohonan maaf pada pihak korban dan masyarakat atas tindakan tersebut,” pintanya.
Kontras juga meminta Polri melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya. Selain itu, untuk seluruh petugas yang terlibat dalam tindak kekerasan bisa diberhentikan secara tidak hormat sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
“Kami juga minta agar hak korban bisa dipenuhi dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan," terangnya.
(msd)