Menteri Siti Nurbaya Ingatkan Pentingnya Kebijakan Water Balance
loading...
A
A
A
BALI - Wilayah Indonesia mulai mengalami kekeringan sejak 10 tahun terakhir. Kondisi yang sebetulnya tidak perlu terjadi, mengingat curah hujan di hampir seluruh wilayah kita termasuk kategori tinggi.
Bahkan beberapa wilayah termasuk daerah semi arid, seperti sebagian Bali Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Lembah Palu. Namun hujan kumulatif tahunannya masih termasuk sedang (700-800 mm/tahun). (Baca juga: Prihatin Warga Pesisir Kekeringan, Kodim 1422 Maros Bagikan Air Bersih )
Secara temporal, bulan kering juga relatif tidak lama, sekitar 3-4 bulan. Walaupun kondisi daerah semi arid juga berbeda, karena bulan keringnya 6-7 bulan. (Baca juga: Keliling Bali Pakai Google Map, 2 Turis Amerika Tersesat di Hutan )
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, hal yang harus diwaspadai yakni adanya peningkatan bencana kekeringan baik sebaran spasialnya, maupun jangka waktunya (temporal). Semakin bertambah banyak daerah-daerah yang berdasarkan peta indeks kelangkaan air (water scarcity index) masuk kategori stressed, yaitu air yang tersedia hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.000-2.000 m3/kapita/tahun dan langka ekstrim (severely scarce) yang hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.000-2.000 m3/kapita/tahun, Sementara ambang batas untuk kategori normal adalah 2.000 m3/kapita/tahun.
Kondisi tersebut semakin menurunkan peluang akses ke air bersih, disamping kemampuan dalam menafsirkan berbagai fenomena serta mensintesakannya menjadi sebuah informasi holistic yang menjadi dasar dalam mengambil tindakan/keputusan.
Dalam tata kelola bentang alam hal itu penting dilakukan, karena konfigurasinya mengekspresikan rajutan-rajutan berbagai atribut yang ada. Muaranya adalah “value” yang dipahami manusia untuk bertindak dan berperilaku sebagai sebuah cultural landscape dan memiliki posisi sebagai subyek tata kelola.
“Saat ini kita sering melihat adanya fragmentasi program penanganan bencana kekeringan yang dilakukan multisektor, padahal vektornya sama, yaitu ketahanan air dan pangan. Tata kelola bentang alam adalah pendekatan yang paling memadai untuk merajut berbagai strategi yang diinisiasi. Pemanfaatan instrumen Geographical Information System (GIS) menjadi kebutuhan agar sinergi program terformulasikan secara accountable, sehingga strategi yang dihasilkan memiliki tingkat akseptabilitas tinggi,“ kata Siti Nurbaya saat memberikan sambutannya dalam pembukaan e-learning, dikutip dari siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (4/9/2020).
Untuk itu, kata Menteri Siti Nurbaya, melalui sosialisasi dan pelatihan e-learning diharapkan dapat memberi pemahaman dalam menemu kenali kondisi bentang alam dan potensi yang terjadi, serta proses analisis berbasis spasial dilakukan. Harapannya, diperoleh referensi yang handal (reliable) untuk bertindak dan menentukan strategi penanganan.
“Penyelenggaraan e-learning ini juga menggambarkan metode adaptif dalam diseminasi kebijakan environmental governance menghadapi situasi COVID-19 yang saat ini melanda berbagai wilayah negara kita," ucap Menteri Siti.
Sementara itu, dalam laporannya Kepala BP2SDM Helmi Basalamah menjelaskan, kegiatan sosialisasi diikuti oleh para pemangku kebijakan baik di pusat maupun daerah. Dari kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami kebijakan terkait dengan mitigasi bencana terutama bencana kekeringan dan kelangkaan air, yang dapat diinternalisasi dan diimplementasikan dalam perencanaan pembangunan di daerah.
Bahkan beberapa wilayah termasuk daerah semi arid, seperti sebagian Bali Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Lembah Palu. Namun hujan kumulatif tahunannya masih termasuk sedang (700-800 mm/tahun). (Baca juga: Prihatin Warga Pesisir Kekeringan, Kodim 1422 Maros Bagikan Air Bersih )
Secara temporal, bulan kering juga relatif tidak lama, sekitar 3-4 bulan. Walaupun kondisi daerah semi arid juga berbeda, karena bulan keringnya 6-7 bulan. (Baca juga: Keliling Bali Pakai Google Map, 2 Turis Amerika Tersesat di Hutan )
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, hal yang harus diwaspadai yakni adanya peningkatan bencana kekeringan baik sebaran spasialnya, maupun jangka waktunya (temporal). Semakin bertambah banyak daerah-daerah yang berdasarkan peta indeks kelangkaan air (water scarcity index) masuk kategori stressed, yaitu air yang tersedia hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.000-2.000 m3/kapita/tahun dan langka ekstrim (severely scarce) yang hanya mampu memenuhi kebutuhan 1.000-2.000 m3/kapita/tahun, Sementara ambang batas untuk kategori normal adalah 2.000 m3/kapita/tahun.
Kondisi tersebut semakin menurunkan peluang akses ke air bersih, disamping kemampuan dalam menafsirkan berbagai fenomena serta mensintesakannya menjadi sebuah informasi holistic yang menjadi dasar dalam mengambil tindakan/keputusan.
Dalam tata kelola bentang alam hal itu penting dilakukan, karena konfigurasinya mengekspresikan rajutan-rajutan berbagai atribut yang ada. Muaranya adalah “value” yang dipahami manusia untuk bertindak dan berperilaku sebagai sebuah cultural landscape dan memiliki posisi sebagai subyek tata kelola.
“Saat ini kita sering melihat adanya fragmentasi program penanganan bencana kekeringan yang dilakukan multisektor, padahal vektornya sama, yaitu ketahanan air dan pangan. Tata kelola bentang alam adalah pendekatan yang paling memadai untuk merajut berbagai strategi yang diinisiasi. Pemanfaatan instrumen Geographical Information System (GIS) menjadi kebutuhan agar sinergi program terformulasikan secara accountable, sehingga strategi yang dihasilkan memiliki tingkat akseptabilitas tinggi,“ kata Siti Nurbaya saat memberikan sambutannya dalam pembukaan e-learning, dikutip dari siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (4/9/2020).
Untuk itu, kata Menteri Siti Nurbaya, melalui sosialisasi dan pelatihan e-learning diharapkan dapat memberi pemahaman dalam menemu kenali kondisi bentang alam dan potensi yang terjadi, serta proses analisis berbasis spasial dilakukan. Harapannya, diperoleh referensi yang handal (reliable) untuk bertindak dan menentukan strategi penanganan.
“Penyelenggaraan e-learning ini juga menggambarkan metode adaptif dalam diseminasi kebijakan environmental governance menghadapi situasi COVID-19 yang saat ini melanda berbagai wilayah negara kita," ucap Menteri Siti.
Sementara itu, dalam laporannya Kepala BP2SDM Helmi Basalamah menjelaskan, kegiatan sosialisasi diikuti oleh para pemangku kebijakan baik di pusat maupun daerah. Dari kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami kebijakan terkait dengan mitigasi bencana terutama bencana kekeringan dan kelangkaan air, yang dapat diinternalisasi dan diimplementasikan dalam perencanaan pembangunan di daerah.