Kobarkan Perang Jawa, Pangeran Diponegoro Didukung Bangsawan, Tumenggung dan Demang
loading...

Pangeran Diponegoro yang didukung bangsawan, tumenggung dan demang mengobarkan perlawanan kepada Belanda di Pantai Utara Jawa yang berujung Perang Jawa. Foto/Ist
A
A
A
PANGERAN Diponegoro dan pasukannya terus meluaskan perlawanan kepada Belanda dan pemerintahan keraton yang pro Belanda. Strategi lain untuk menyurati beberapa tumenggung dan demang pada berbagai daerah di Pulau Jawa dilakukan.
Surat-surat itu lantas datang tepat waktu, pasca serangan tiba-tiba pertama di Yogyakarta. Sambutan hangat pun diterima dari para tumenggung dan demang di berbagai daerah.
Setelah serangan umum di Yogyakarta itu, Pangeran Serang, menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang ke Ambon bersama Sultan Hamengku Buwono II, bersama Pangeran Notoprojo, atau Pangeran Papak, dan Bupati Gagatan, yang termasuk wilayah Kesunanan Surakarta mengikuti jejak Diponegoro. Mereka menyulut pemberontakan di Pantai Utara Jawa yang berujung Perang Jawa.
Pasukan Pangeran Serang bergerak dari Serang menyerang Purwodadi. Dari Purwodadi bergerak menuju Demak, dan hampir semua jembatan penghubung dirusak. Ia dibantu oleh Raden Sukur, putra Bupati Semarang Surioadi Menggolo.
Sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia", pada tanggal 11 September 1825, pasukan Pangeran Serang yang berkekuatan 8.000 melakukan konsolidasi di desa Praya, Demak.
Di wilayah Banyumas tepatnya Karang Kobar, Kalibeber, dan Batur pada tanggal 9 Agustus 1825 sejumlah kantor pemerintah dibakar.
Di Desa Sembong (Weleri) perlawanan dipimpin oleh Raden Ngabei Tersono membakar pos-pos di sepanjang jalan raya. Di Selomanik Gowong, Selomerto (Wonosobo) dan di Brengkelan (Purworejo), Lengis, Yana, dan Kadilangu terjadi pergolakan, rumah-rumah orang Cina dibakar.
Sementara itu, di Monconegoro Timur pecah pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegoro dan Tumenggung Kartodirjo, Tumenggung Alap-alap.
Di Pisangan, pada tanggal 23 Juli 1825, Mulyosentiko dengan kekuatan 400-500 orang bersenjata api (senapan) berhasil menyergap bala bantuan pasukan Belanda yang bergerak ke Yogyakarta dari arah Magelang.
Beberapa serdadu Belanda terbunuh dan merampas uang sejumlah F 30.000, hasil rampasan dibawa ke Selarong.
Sedangkan di wilayah Kedu lainnya, terutama di distrik Probolinggo, atau berada sebelah Tenggara Magelang, telah berkumpul 55.000 orang secara sukarela.
Kemudian massa menyerbu ke kota, Magelang, yang hanya dijaga oleh 50 orang tentara. Sekretaris Residen, Bupati Danuningrat, panik luar biasa. Rumah-rumah para pejabat dibakar. Probolinggo rupanya telah dipersiapkan sebagai pangkalan perlawanan oleh pengikut Diponegoro.
Surat-surat itu lantas datang tepat waktu, pasca serangan tiba-tiba pertama di Yogyakarta. Sambutan hangat pun diterima dari para tumenggung dan demang di berbagai daerah.
Setelah serangan umum di Yogyakarta itu, Pangeran Serang, menantu Pangeran Mangkudiningrat yang dibuang ke Ambon bersama Sultan Hamengku Buwono II, bersama Pangeran Notoprojo, atau Pangeran Papak, dan Bupati Gagatan, yang termasuk wilayah Kesunanan Surakarta mengikuti jejak Diponegoro. Mereka menyulut pemberontakan di Pantai Utara Jawa yang berujung Perang Jawa.
Pasukan Pangeran Serang bergerak dari Serang menyerang Purwodadi. Dari Purwodadi bergerak menuju Demak, dan hampir semua jembatan penghubung dirusak. Ia dibantu oleh Raden Sukur, putra Bupati Semarang Surioadi Menggolo.
Sebagaimana dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia", pada tanggal 11 September 1825, pasukan Pangeran Serang yang berkekuatan 8.000 melakukan konsolidasi di desa Praya, Demak.
Di wilayah Banyumas tepatnya Karang Kobar, Kalibeber, dan Batur pada tanggal 9 Agustus 1825 sejumlah kantor pemerintah dibakar.
Di Desa Sembong (Weleri) perlawanan dipimpin oleh Raden Ngabei Tersono membakar pos-pos di sepanjang jalan raya. Di Selomanik Gowong, Selomerto (Wonosobo) dan di Brengkelan (Purworejo), Lengis, Yana, dan Kadilangu terjadi pergolakan, rumah-rumah orang Cina dibakar.
Sementara itu, di Monconegoro Timur pecah pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mangkunegoro dan Tumenggung Kartodirjo, Tumenggung Alap-alap.
Di Pisangan, pada tanggal 23 Juli 1825, Mulyosentiko dengan kekuatan 400-500 orang bersenjata api (senapan) berhasil menyergap bala bantuan pasukan Belanda yang bergerak ke Yogyakarta dari arah Magelang.
Beberapa serdadu Belanda terbunuh dan merampas uang sejumlah F 30.000, hasil rampasan dibawa ke Selarong.
Sedangkan di wilayah Kedu lainnya, terutama di distrik Probolinggo, atau berada sebelah Tenggara Magelang, telah berkumpul 55.000 orang secara sukarela.
Kemudian massa menyerbu ke kota, Magelang, yang hanya dijaga oleh 50 orang tentara. Sekretaris Residen, Bupati Danuningrat, panik luar biasa. Rumah-rumah para pejabat dibakar. Probolinggo rupanya telah dipersiapkan sebagai pangkalan perlawanan oleh pengikut Diponegoro.
(shf)