Perang China dan Giyanti sebabkan Wilayah Kerajaan Mataram Menyempit
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kedatangan VOC Belanda membuat Kerajaan Mataram terdesak. Kekuasaan Mataram yang nyaris di sebagian besar Pulau Jawa terpaksa diserahkan ke Belanda, pascakeputusan aneksasi.
Apalagi sistem pembagian wilayah pada awal abad ke-18 mengalami perubahan dengan adanya pengaruh kekuasaan VOC Belanda. Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya setelah Sultan Agung Mataram berangsur-angsur mengalami kemunduran.
Wilayah yang awalnya luas akhirnya semakin menyempit akibat aneksasi yang dilaksanakan oleh VOC. Sebagai imbalan intervensinya dalam pertentangan-pertentangan intern negara Mataram.
"Setelah Perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian daerah Priangan dan Semarang," demikian dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia".
Hal ini diperparah dengan perlawanan Untung Surapati yang dapat dipadamkan sekitar 1705, daerah Cerebon yang juga mengakui kekuasaan Mataram, sisa Priangan, dan separuh bagian timur Pulau Madura dianeksasi oleh Belanda.
Selanjutnya, setelah Perang Cina berakhir pada 1743, seluruh daerah pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura sudah dikuasai Belanda. Wilayah negara makin menyempit dengan berakhirnya Perang Giyanti pada 1755, yang berujung Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini memaksa wilayah negara Mataram dipecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Pada 1757 dan 1813 wilayah terpecah lagi dengan munculnya kekuasaan Mangkunegaran dan Pakualaman.
Sementara itu, perubahan kekuasaan pada negara-negara di Jawa untuk pertama kali terjadi pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), yaitu dengan adanya peraturan baru mengenai upacara penerimaan residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta.
Menurut peraturan baru ini, residen di kerajaan-kerajaan itu harus diberi penghormatan sebagai wakil dari suatu kekuasaan yang tertinggi dan menempatkannya sejajar dengan raja. Berarti raja-raja itu diturunkan martabatnya, dari raja merdeka menjadi raja bawahan.
Di Istana Surakarta, peraturan Daendels tersebut diterima, tetapi tidak demikian halnya di Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh yang menentang peraturan ini pada tahun 1810 dipaksa turun dari tahtanya dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Daendels sendiri.
Sebagai penggantinya, diangkat putra mahkota menjadi raja dengan gelar Hamengku Buwono III atau Sultan Rojo. Peristiwa ini memberi kesempatan pada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta, menerima perjanjian baru pada 1811 yang menyebabkan kedua negara itu kehilangan lagi sebagian dari wilayahnya.
Apalagi sistem pembagian wilayah pada awal abad ke-18 mengalami perubahan dengan adanya pengaruh kekuasaan VOC Belanda. Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya setelah Sultan Agung Mataram berangsur-angsur mengalami kemunduran.
Wilayah yang awalnya luas akhirnya semakin menyempit akibat aneksasi yang dilaksanakan oleh VOC. Sebagai imbalan intervensinya dalam pertentangan-pertentangan intern negara Mataram.
"Setelah Perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian daerah Priangan dan Semarang," demikian dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia".
Hal ini diperparah dengan perlawanan Untung Surapati yang dapat dipadamkan sekitar 1705, daerah Cerebon yang juga mengakui kekuasaan Mataram, sisa Priangan, dan separuh bagian timur Pulau Madura dianeksasi oleh Belanda.
Selanjutnya, setelah Perang Cina berakhir pada 1743, seluruh daerah pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura sudah dikuasai Belanda. Wilayah negara makin menyempit dengan berakhirnya Perang Giyanti pada 1755, yang berujung Perjanjian Giyanti.
Perjanjian ini memaksa wilayah negara Mataram dipecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Pada 1757 dan 1813 wilayah terpecah lagi dengan munculnya kekuasaan Mangkunegaran dan Pakualaman.
Sementara itu, perubahan kekuasaan pada negara-negara di Jawa untuk pertama kali terjadi pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), yaitu dengan adanya peraturan baru mengenai upacara penerimaan residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta.
Menurut peraturan baru ini, residen di kerajaan-kerajaan itu harus diberi penghormatan sebagai wakil dari suatu kekuasaan yang tertinggi dan menempatkannya sejajar dengan raja. Berarti raja-raja itu diturunkan martabatnya, dari raja merdeka menjadi raja bawahan.
Di Istana Surakarta, peraturan Daendels tersebut diterima, tetapi tidak demikian halnya di Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh yang menentang peraturan ini pada tahun 1810 dipaksa turun dari tahtanya dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Daendels sendiri.
Sebagai penggantinya, diangkat putra mahkota menjadi raja dengan gelar Hamengku Buwono III atau Sultan Rojo. Peristiwa ini memberi kesempatan pada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta, menerima perjanjian baru pada 1811 yang menyebabkan kedua negara itu kehilangan lagi sebagian dari wilayahnya.
(cip)