Kisah Jenderal Wismoyo Arismunandar, Prajurit Kopassus yang Selalu Puasa dan Salat Malam meski di Medan Tempur
loading...
A
A
A
Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar bukan hanya dikenal sebagai sosok militer yang tangguh, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang mengutamakan spiritualitas di medan operasi. Meskipun terlibat dalam berbagai misi berbahaya, Wismoyo selalu melaksanakan puasa sunnah dan salat malam.
Hal itu menunjukkan dedikasi mantan Danjen Kopassandha kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) periode 1983-1985 tidak hanya terhadap tugas tetapi juga terhadap keyakinan. Keteladanan dan keberaniannya di lapangan menciptakan warisan yang terus dikenang, bahkan oleh generasi penerusnya.
Keberanian Wismoyo sudah tampak sejak kecil, ketika ia dikenal sebagai sosok yang selalu membela teman-temannya yang lemah. Tubuhnya yang besar membuatnya menjadi andalan bagi kakak-kakaknya dalam perkelahian. Sikap loyal dan keberanian ini terus terbawa hingga ia dewasa dan memimpin pasukan.
Selepas SMA, Wismoyo memutuskan untuk menjadi tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara saat di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya bersama Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke 3 saat tengah bergerilya melawan Belanda. Hal itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Nasional (AMN) pada tahun 1960, Wismoyo langsung bergabung dengan Korps Baret Merah, pasukan elite TNI Angkatan Darat. Tak lama setelah itu, ia dipercaya untuk menangani berbagai operasi besar, termasuk penumpasan G30S/PKI, yang meningkatkan reputasinya hingga diangkat sebagai Komandan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto.
Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggung jawab langsung terhadap keamanan presiden dan keluarganya, selalu siaga di mana pun Presiden Soeharto berada. Setelah setahun, ia kembali ke Kopassus sebagai Komandan Kompi Group 4.
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Operasi ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera). Selesai penugasan di Papua, Wismoyo kembali ditugaskan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia.
Kariernya terus menanjak, termasuk penugasan di Papua pada tahun 1969 dalam Operasi Wibawa, untuk memulihkan keamanan pasca Penentuan Pendapat Rakyat. Di Kalimantan, ia sukses menemukan sistem informasi rahasia milik pemberontak yang dikenal sebagai Death Letter Box, yang menjadi kunci bagi TNI untuk menggempur kelompok bersenjata.
Pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, pada 10 Februari 1940 ini terus melanjutkan kariernya hingga menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17. Selain keberaniannya di medan perang, Wismoyo dikenal sebagai sosok yang sederhana dan religius. Ia selalu menjalankan puasa sunah dan salat malam, bahkan saat bertugas di medan operasi, serta mengingatkan prajuritnya untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta.
Hal itu menunjukkan dedikasi mantan Danjen Kopassandha kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) periode 1983-1985 tidak hanya terhadap tugas tetapi juga terhadap keyakinan. Keteladanan dan keberaniannya di lapangan menciptakan warisan yang terus dikenang, bahkan oleh generasi penerusnya.
Baca Juga
Keberanian Wismoyo sudah tampak sejak kecil, ketika ia dikenal sebagai sosok yang selalu membela teman-temannya yang lemah. Tubuhnya yang besar membuatnya menjadi andalan bagi kakak-kakaknya dalam perkelahian. Sikap loyal dan keberanian ini terus terbawa hingga ia dewasa dan memimpin pasukan.
Selepas SMA, Wismoyo memutuskan untuk menjadi tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara saat di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya bersama Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke 3 saat tengah bergerilya melawan Belanda. Hal itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Nasional (AMN) pada tahun 1960, Wismoyo langsung bergabung dengan Korps Baret Merah, pasukan elite TNI Angkatan Darat. Tak lama setelah itu, ia dipercaya untuk menangani berbagai operasi besar, termasuk penumpasan G30S/PKI, yang meningkatkan reputasinya hingga diangkat sebagai Komandan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto.
Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggung jawab langsung terhadap keamanan presiden dan keluarganya, selalu siaga di mana pun Presiden Soeharto berada. Setelah setahun, ia kembali ke Kopassus sebagai Komandan Kompi Group 4.
Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Operasi ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera). Selesai penugasan di Papua, Wismoyo kembali ditugaskan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia.
Kariernya terus menanjak, termasuk penugasan di Papua pada tahun 1969 dalam Operasi Wibawa, untuk memulihkan keamanan pasca Penentuan Pendapat Rakyat. Di Kalimantan, ia sukses menemukan sistem informasi rahasia milik pemberontak yang dikenal sebagai Death Letter Box, yang menjadi kunci bagi TNI untuk menggempur kelompok bersenjata.
Pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, pada 10 Februari 1940 ini terus melanjutkan kariernya hingga menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17. Selain keberaniannya di medan perang, Wismoyo dikenal sebagai sosok yang sederhana dan religius. Ia selalu menjalankan puasa sunah dan salat malam, bahkan saat bertugas di medan operasi, serta mengingatkan prajuritnya untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta.