Kisah Jenderal Wismoyo Arismunandar, Prajurit Kopassus yang Selalu Puasa dan Salat Malam meski di Medan Tempur

Senin, 14 Oktober 2024 - 07:41 WIB
loading...
Kisah Jenderal Wismoyo...
Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar bukan hanya dikenal sebagai sosok militer yang tangguh, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang mengutamakan spiritualitas di medan operasi. Foto/Istimewa
A A A
Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar bukan hanya dikenal sebagai sosok militer yang tangguh, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang mengutamakan spiritualitas di medan operasi. Meskipun terlibat dalam berbagai misi berbahaya, Wismoyo selalu melaksanakan puasa sunnah dan salat malam.

Hal itu menunjukkan dedikasi mantan Danjen Kopassandha kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) periode 1983-1985 tidak hanya terhadap tugas tetapi juga terhadap keyakinan. Keteladanan dan keberaniannya di lapangan menciptakan warisan yang terus dikenang, bahkan oleh generasi penerusnya.



Keberanian Wismoyo sudah tampak sejak kecil, ketika ia dikenal sebagai sosok yang selalu membela teman-temannya yang lemah. Tubuhnya yang besar membuatnya menjadi andalan bagi kakak-kakaknya dalam perkelahian. Sikap loyal dan keberanian ini terus terbawa hingga ia dewasa dan memimpin pasukan.

Selepas SMA, Wismoyo memutuskan untuk menjadi tentara. Keinginannya menjadi prajurit TNI tidak lepas dari lingkunganya. Selain pernah tinggal di dekat asrama tentara saat di Madiun, rumah Wismoyo juga seringkali didatangi pamannya bersama Bambang Sugeng, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke 3 saat tengah bergerilya melawan Belanda. Hal itulah yang membulatkan tekad Wismoyo untuk terjun ke dunia militer.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Nasional (AMN) pada tahun 1960, Wismoyo langsung bergabung dengan Korps Baret Merah, pasukan elite TNI Angkatan Darat. Tak lama setelah itu, ia dipercaya untuk menangani berbagai operasi besar, termasuk penumpasan G30S/PKI, yang meningkatkan reputasinya hingga diangkat sebagai Komandan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto.

Sebagai Danwalpri, Wismoyo bertanggung jawab langsung terhadap keamanan presiden dan keluarganya, selalu siaga di mana pun Presiden Soeharto berada. Setelah setahun, ia kembali ke Kopassus sebagai Komandan Kompi Group 4.

Menyandang pangkat Kapten, Wismoyo kembali mendapat tugas dalam Operasi Wibawa di Papua pada 1969. Operasi ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera). Selesai penugasan di Papua, Wismoyo kembali ditugaskan menumpas pemberontakan PGRS/Paraku di pedalaman Kalimantan berbatasan dengan Malaysia.

Kariernya terus menanjak, termasuk penugasan di Papua pada tahun 1969 dalam Operasi Wibawa, untuk memulihkan keamanan pasca Penentuan Pendapat Rakyat. Di Kalimantan, ia sukses menemukan sistem informasi rahasia milik pemberontak yang dikenal sebagai Death Letter Box, yang menjadi kunci bagi TNI untuk menggempur kelompok bersenjata.

Pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, pada 10 Februari 1940 ini terus melanjutkan kariernya hingga menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17. Selain keberaniannya di medan perang, Wismoyo dikenal sebagai sosok yang sederhana dan religius. Ia selalu menjalankan puasa sunah dan salat malam, bahkan saat bertugas di medan operasi, serta mengingatkan prajuritnya untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta.

"Kapten Inf Wismoyo selalu menerapkan disiplin kepada anak buahnya. Di samping itu, dalam operasi selalu melaksanakan puasa sunah dan salat malam mohon petunjuk agar operasi berjalan dengan lancar dan aman,” tulis buku berjudul “Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar: Sosok Prajurit Sejati” yang diterbitkan Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarahad) dikutip, Senin (14/10/2024).

Bekali Prabowo Sajadah Sebelum Berangkat ke Medan Operasi

Keteladanan Wismoyo Arismunandar juga diungkapkan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Lulusan AKABRI 1974 ini menceritakan Wismoyo merupakan sosok yang banyak memengaruhi dirinya.

"Ajaran-ajaran beliau memengaruhi pribadi saya. Ajaran utama beliau ke anak buahnya selain patriotisme yang menjadi ciri khas angkatan ’45 adalah harus selalu berpikir, berbuat dan bertutur kata yang baik. Jangan izinkan berpikir buruk terhadap orang lain. Itu ajaran beliau yang selalu melekat dalam hati saya,” tulis Prabowo dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto," terangnya.

Pertemuan pertama dengan Wismoyo, kata Prabowo, terjadi saat dirinya masuk Kopasandha. Saat itu, dirinya masih berpangkat Letnan Dua (Letda) sedangkan, Wismoyo menjabat sebagai Wakil Asisten Pengamanan (Waaspem) Danjen Kopasandha berpangkat Letkol.

"Ketika itu kami hanya tahu beliau adalah adik ipar Pak Harto. Istri beliau adalah adik Ibu Tien Soeharto,” tutur Prabowo.

Prabowo menyebut pada awalnya tidak begitu dekat dengan Wismoyo. Namun pada 1978, Wismoyo diangkat menjadi Komandan Group 1 Para Komando dari Kopasandha. ”Dengan begitu beliau menjadi komandan group kami. Saya waktu itu Komandan Kompi 112. Saya pun mulai mengenal sosok Pa Wismoyo Arismunandar,” papar dia.

Menurut Prabowo, Wismoyo merupakan pemimpin yang selalu mengutamakan semangat dan bergembira, karena itu beliau selalu mendorong agar seluruh prajurit bersemangat saat bertepuk tangan. Hal yang paling berkesan bagi Prabowo adalah ketika dirinya akan berangkat operasi pertama kali ke Timor-Timur pada akhir Oktober 1978. Saat itu, Prabowo menjabat sebagai Komandan Kompi.

"Pukul 20.00 WIB malam, sebelum saya take off pukul 04.00 WIB dari Bandara Halim Perdanakusuma, beliau memanggil saya. Beliau menanyakan persiapan saya yang akan menjalankan operasi,” ucap Prabowo.

Prabowo menjelaskan jika semua peralatan sudah disiapkan mulai dari senjata, peluru, kompas, hingga obat-obatan. Namun, kata Prabowo, Wismoyo kembali menanyakan apalagi yang harus dipersiapkan. Bahkan pertanyaan itu dilakukan hingga berulang-ulang.

“Saya bingung mau jawab apa lagi karena sudah disebutkan semua perlengkapan sudah disiapkan,” ucapnya.



Wismoyo kemudian menjelaskan maksud pertanyaannya tersebut. ”Dia menyampaikan bahwa saya masih muda, bertanggung jawab atas 100 nyawa pasukan dan akan menghadapi bahaya maut karena itu dia mengingatkan saya untuk dekat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Barulah saya sadar. Beliau lalu masuk kamar dan saat keluar membawa bungkusan isinya sajadah. Dia meminta saya menaruh sajadah itu dalam ransel selama bertugas dan menggunakannya,” kenang mantan Danjen Kopassus ini.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.0205 seconds (0.1#10.140)