Menyelamatkan Sisa Generasi Dari Pandemi
loading...
A
A
A
SURABAYA - Kehidupan terbangun dari kumpulan harapan yang muncul dalam ribuan doa dan terbentang di berbagai pintu langit. Termasuk doa dalam perang untuk bisa menjadi pemenang di masa pandemi COVID-19 .
(Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )
Keyakinan itu ditaman begitu dalam oleh Fadillah (37), ketika pertama kali mengetahui dirinya hamil setelah sembilan tahun menjalin rumah tangga dengan Riyadi (40), suaminya.
Setiap malam berbagai bintang seperti berterbangan di langit-langit rumahnya. Senyum yang sudah lama dinanti untuk bisa menyambut sang buah hati. Bangun lebih pagi, mengelus perutnya dengan mulut yang terus bergetar dan lantunan doa untuk si jabang bayi yang ada di dalam perutnya dengan kegembiraan.
Pada sebuah petang, ketika langit Surabaya masih memerah di ujung barat, kondisi kota akhirnya ditetapkan menjadi zona merah dan salah satu episentrum COVID-19 di Indonesia.
Kehamilannya sudah 36 minggu ketika banyak sekali mobil ambulance dengan sirine yang menggelegar mondar-mandir di kampungnya yang berada tepat di belakang Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan Surabaya.
"Sudah nggak pernah lagi kontrol kehamilan ke dokter, suami melarang. Kami pun takut tertular virus kalau datang ke RS atau Puskesmas," kata Fad, panggilan akrabnya, Jumat (28/8/2020). (Baca juga: Pemain Jalani Tes Swab, Persebaya Apakah Siap Berlaga? )
Hari-harinya dijalani dalam ruang tertutup sembari berharap pandemi ini cepat berlalu. Fad pun menyiasati dengan tetap mengkonsumsi makanan bergizi yang bisa membantu dirinya dan bayi yang ada di dalam rahimnya untuk terus sehat.
Pada satu malam ia pun sempat drop ketika hampir sebulan tak keluar rumah. Rasa ketakutan menyelimuti yang menyebabkan dirinya kehilangan imunitas. Dalam dekap malam ia tak bisa memejamkan mata. Riyadi resah dengan kondisi istrinya yang terpuruk. Ketakutannya tentu saja pada kondisi bayi yang sedang dikandung istrinya.
Memasuki Juli, kondisi Kota Pahlawan semakin mencekam, dalam sehari sampai ada 600 warga positif COVID-19 . Catatan penularan selalu saja tinggi, menyumbang sebagian besar angka nasional. Malam-malam selalu dihabiskannya dengan keresahan. Mereka tak mau kehilangan anak yang sudah ditunggunya begitu lama.
(Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )
Keyakinan itu ditaman begitu dalam oleh Fadillah (37), ketika pertama kali mengetahui dirinya hamil setelah sembilan tahun menjalin rumah tangga dengan Riyadi (40), suaminya.
Setiap malam berbagai bintang seperti berterbangan di langit-langit rumahnya. Senyum yang sudah lama dinanti untuk bisa menyambut sang buah hati. Bangun lebih pagi, mengelus perutnya dengan mulut yang terus bergetar dan lantunan doa untuk si jabang bayi yang ada di dalam perutnya dengan kegembiraan.
Pada sebuah petang, ketika langit Surabaya masih memerah di ujung barat, kondisi kota akhirnya ditetapkan menjadi zona merah dan salah satu episentrum COVID-19 di Indonesia.
Kehamilannya sudah 36 minggu ketika banyak sekali mobil ambulance dengan sirine yang menggelegar mondar-mandir di kampungnya yang berada tepat di belakang Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan Surabaya.
"Sudah nggak pernah lagi kontrol kehamilan ke dokter, suami melarang. Kami pun takut tertular virus kalau datang ke RS atau Puskesmas," kata Fad, panggilan akrabnya, Jumat (28/8/2020). (Baca juga: Pemain Jalani Tes Swab, Persebaya Apakah Siap Berlaga? )
Hari-harinya dijalani dalam ruang tertutup sembari berharap pandemi ini cepat berlalu. Fad pun menyiasati dengan tetap mengkonsumsi makanan bergizi yang bisa membantu dirinya dan bayi yang ada di dalam rahimnya untuk terus sehat.
Pada satu malam ia pun sempat drop ketika hampir sebulan tak keluar rumah. Rasa ketakutan menyelimuti yang menyebabkan dirinya kehilangan imunitas. Dalam dekap malam ia tak bisa memejamkan mata. Riyadi resah dengan kondisi istrinya yang terpuruk. Ketakutannya tentu saja pada kondisi bayi yang sedang dikandung istrinya.
Memasuki Juli, kondisi Kota Pahlawan semakin mencekam, dalam sehari sampai ada 600 warga positif COVID-19 . Catatan penularan selalu saja tinggi, menyumbang sebagian besar angka nasional. Malam-malam selalu dihabiskannya dengan keresahan. Mereka tak mau kehilangan anak yang sudah ditunggunya begitu lama.