Kisah Putri Tadampalik, Legenda dari Tanah Luwu Sulsel
loading...
A
A
A
Kisah Putri Tadampalik menarik untuk dikulik. Pasalnya dari legenda tanah Luwu , Sulawesi Selatan (Sulsel) ini banyak pelajaran yang bisa dipetik, diantaranya tentang pentingnya menjaga tradisi dan menghormati kepercayaan leluhur. Dahulu kala, di sebuah kerajaan yang makmur dan damai di Sulawesi Selatan, negeri Luwu, hiduplah seorang raja bijaksana bernama La Busatana Datu Maongge, yang lebih dikenal sebagai Datu Luwu.
Negeri Luwu dipenuhi oleh petani dan nelayan yang hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya. Namun, pusat perhatian kerajaan ini adalah putrinya yang cantik jelita, Putri Tadampalik. Kecantikan dan perilaku mulianya dikenal luas hingga ke negeri tetangga, termasuk ke Kerajaan Bone yang letaknya jauh di sebelah selatan.
Berita tentang kecantikan Putri Tadampalik sampai ke telinga Raja Bone, yang ingin menjodohkan putra mahkotanya dengan sang putri. Duta-duta dikirim ke Luwu untuk melamar Putri Tadampalik. Namun, Datu Luwu menghadapi dilema besar. Adat Luwu melarang gadis-gadisnya menikah dengan orang luar. Jika lamaran ini ditolak, ia khawatir akan terjadi perang yang menyengsarakan rakyatnya. Setelah banyak pertimbangan, dengan berat hati, ia menerima lamaran itu demi perdamaian dan kesejahteraan rakyatnya.
Namun, nasib berkata lain. Tidak lama setelah lamaran diterima, Putri Tadampalik menderita penyakit kulit yang aneh. Tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau tidak sedap, dan semua tabib istana tidak mampu menyembuhkannya. Para tabib bahkan menyatakan penyakit tersebut menular, sehingga Datu Luwu terpaksa mengasingkan putrinya demi melindungi rakyatnya dari wabah. Meski berat, Putri Tadampalik patuh pada keputusan ayahnya dan setuju untuk diasingkan. Sebelum berangkat, ayahnya memberinya sebilah keris sebagai tanda bahwa ia tidak pernah membuang anaknya.
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan yang pasti, Putri Tadampalik dan pengawalnya akhirnya menemukan sebuah daratan subur yang dipenuhi pepohonan rindang. Mereka memutuskan untuk menetap di tempat itu dan menamainya Wajo, setelah menemukan buah Wajo di sana. Di tempat ini, Putri Tadampalik dan pengawalnya memulai kehidupan baru dengan penuh semangat dan ketekunan.
Suatu hari, saat Putri Tadampalik duduk di tepi danau, seekor kerbau putih mendekatinya dan mulai menjilati kulitnya. Awalnya ia ingin mengusir kerbau itu, namun hewan tersebut tampak jinak dan terus menjilatinya. Ajaibnya, bekas jilatan kerbau putih itu perlahan-lahan menyembuhkan luka di tubuhnya. Kulit Putri Tadampalik kembali halus dan bersih seperti sediakala. Putri Tadampalik sangat bersyukur dan sebagai bentuk penghargaan kepada kerbau putih itu, ia memerintahkan agar tidak ada yang boleh menyembelih atau memakan kerbau putih di Wajo. Tradisi ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Wajo hingga kini.
Di tempat lain, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu bersama panglimanya, Anre Guru Pakkannyareng. Tanpa disadari, ia terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan hingga malam tiba. Dalam kebingungannya, ia melihat cahaya dari kejauhan dan memutuskan untuk mengikuti sumber cahaya tersebut. Cahaya itu membawanya ke perkampungan di mana Putri Tadampalik tinggal. Saat masuk ke dalam sebuah rumah yang tampak kosong, ia terkejut melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air. Putra Mahkota dan Putri Tadampalik pun berkenalan, dan dalam waktu singkat mereka menjadi akrab satu sama lain.
Putra Mahkota yang telah jatuh hati pada Putri Tadampalik segera kembali ke kerajaannya dan mengutarakan niatnya untuk meminang sang putri kepada Raja Bone. Raja Bone segera mengirim utusan ke Wajo untuk melamar Putri Tadampalik. Putri Tadampalik tidak langsung menerima lamaran tersebut, melainkan memberikan keris pusaka dari ayahnya dan meminta utusan tersebut menyampaikan keris itu kepada Datu Luwu. Jika Datu Luwu menerima keris itu dengan baik, maka pinangan tersebut diterima.
Putra Mahkota berangkat sendirian ke Kerajaan Luwu, membawa keris pusaka dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar kabar baik tersebut. Mereka segera menjemput Putri Tadampalik ke Wajo dan merestui pernikahan putrinya dengan Putra Mahkota Bone. Pernikahan yang dilangsungkan di Wajo ini berlangsung meriah, dan beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota Bone naik tahta dan menjadi raja yang bijaksana dan adil, didampingi oleh Putri Tadampalik yang setia.
Begitulah kisah Putri Tadampalik, legenda yang menjadi asal mula kepercayaan masyarakat Bugis untuk tidak memakan kerbau belang sebagai bentuk penghormatan atas jasa kerbau yang telah menyembuhkan sang putri. Kisah ini tidak hanya menampilkan kekuatan cinta dan ketabahan, tetapi juga mengajarkan pentingnya menjaga tradisi dan menghormati kepercayaan leluhur.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Negeri Luwu dipenuhi oleh petani dan nelayan yang hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya. Namun, pusat perhatian kerajaan ini adalah putrinya yang cantik jelita, Putri Tadampalik. Kecantikan dan perilaku mulianya dikenal luas hingga ke negeri tetangga, termasuk ke Kerajaan Bone yang letaknya jauh di sebelah selatan.
Berita tentang kecantikan Putri Tadampalik sampai ke telinga Raja Bone, yang ingin menjodohkan putra mahkotanya dengan sang putri. Duta-duta dikirim ke Luwu untuk melamar Putri Tadampalik. Namun, Datu Luwu menghadapi dilema besar. Adat Luwu melarang gadis-gadisnya menikah dengan orang luar. Jika lamaran ini ditolak, ia khawatir akan terjadi perang yang menyengsarakan rakyatnya. Setelah banyak pertimbangan, dengan berat hati, ia menerima lamaran itu demi perdamaian dan kesejahteraan rakyatnya.
Namun, nasib berkata lain. Tidak lama setelah lamaran diterima, Putri Tadampalik menderita penyakit kulit yang aneh. Tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau tidak sedap, dan semua tabib istana tidak mampu menyembuhkannya. Para tabib bahkan menyatakan penyakit tersebut menular, sehingga Datu Luwu terpaksa mengasingkan putrinya demi melindungi rakyatnya dari wabah. Meski berat, Putri Tadampalik patuh pada keputusan ayahnya dan setuju untuk diasingkan. Sebelum berangkat, ayahnya memberinya sebilah keris sebagai tanda bahwa ia tidak pernah membuang anaknya.
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan yang pasti, Putri Tadampalik dan pengawalnya akhirnya menemukan sebuah daratan subur yang dipenuhi pepohonan rindang. Mereka memutuskan untuk menetap di tempat itu dan menamainya Wajo, setelah menemukan buah Wajo di sana. Di tempat ini, Putri Tadampalik dan pengawalnya memulai kehidupan baru dengan penuh semangat dan ketekunan.
Suatu hari, saat Putri Tadampalik duduk di tepi danau, seekor kerbau putih mendekatinya dan mulai menjilati kulitnya. Awalnya ia ingin mengusir kerbau itu, namun hewan tersebut tampak jinak dan terus menjilatinya. Ajaibnya, bekas jilatan kerbau putih itu perlahan-lahan menyembuhkan luka di tubuhnya. Kulit Putri Tadampalik kembali halus dan bersih seperti sediakala. Putri Tadampalik sangat bersyukur dan sebagai bentuk penghargaan kepada kerbau putih itu, ia memerintahkan agar tidak ada yang boleh menyembelih atau memakan kerbau putih di Wajo. Tradisi ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Wajo hingga kini.
Di tempat lain, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu bersama panglimanya, Anre Guru Pakkannyareng. Tanpa disadari, ia terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan hingga malam tiba. Dalam kebingungannya, ia melihat cahaya dari kejauhan dan memutuskan untuk mengikuti sumber cahaya tersebut. Cahaya itu membawanya ke perkampungan di mana Putri Tadampalik tinggal. Saat masuk ke dalam sebuah rumah yang tampak kosong, ia terkejut melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air. Putra Mahkota dan Putri Tadampalik pun berkenalan, dan dalam waktu singkat mereka menjadi akrab satu sama lain.
Putra Mahkota yang telah jatuh hati pada Putri Tadampalik segera kembali ke kerajaannya dan mengutarakan niatnya untuk meminang sang putri kepada Raja Bone. Raja Bone segera mengirim utusan ke Wajo untuk melamar Putri Tadampalik. Putri Tadampalik tidak langsung menerima lamaran tersebut, melainkan memberikan keris pusaka dari ayahnya dan meminta utusan tersebut menyampaikan keris itu kepada Datu Luwu. Jika Datu Luwu menerima keris itu dengan baik, maka pinangan tersebut diterima.
Baca Juga
Putra Mahkota berangkat sendirian ke Kerajaan Luwu, membawa keris pusaka dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar kabar baik tersebut. Mereka segera menjemput Putri Tadampalik ke Wajo dan merestui pernikahan putrinya dengan Putra Mahkota Bone. Pernikahan yang dilangsungkan di Wajo ini berlangsung meriah, dan beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota Bone naik tahta dan menjadi raja yang bijaksana dan adil, didampingi oleh Putri Tadampalik yang setia.
Begitulah kisah Putri Tadampalik, legenda yang menjadi asal mula kepercayaan masyarakat Bugis untuk tidak memakan kerbau belang sebagai bentuk penghormatan atas jasa kerbau yang telah menyembuhkan sang putri. Kisah ini tidak hanya menampilkan kekuatan cinta dan ketabahan, tetapi juga mengajarkan pentingnya menjaga tradisi dan menghormati kepercayaan leluhur.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(hri)