Masa Jabatan Kades Terlalu Lama Dianggap Ladang Korupsi, Dosen UMM: Dana Desa Bisa Jadi Objek Perebutan
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Masa jabatan Kepala Desa (Kades) yang diusulkan hingga sembilan tahun dinilai terlalu lama dan tidak cocok dengan era modern saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Makassar (UMM), A Junaedi.
Menurut Junaedi, masa jabatan Kades yang panjang berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah korupsi. Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang cukup besar dikhawatirkan menjadi objek perebutan bagi para Kades yang ingin berkuasa dalam jangka waktu lama.
"Terlebih dana desa itu besar. Ketika ini menjadi objek perebutan dengan masa jabatan yang panjang, itu akan berbahaya, tidak elok di dalam negara hukum sebuah jabatan itu tidak dibatasi," kata Junaedi, Rabu (17/4/2024).
Junaedi menambahkan, masa jabatan Kades yang panjang dapat memicu kolusi, nepotisme (KKN), dan dominasi kepentingan pribadi Kades, bukan rakyat.
"Semakin panjangnya masa jabatan dapat berpotensi terjadinya tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan," imbuhnya.
Kekhawatiran Junaedi diperkuat dengan data KPK RI yang menunjukkan bahwa dari tahun 2012 hingga 2021, sebanyak 601 kasus korupsi dana desa terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini menjerat 686 Kades di seluruh tanah air.
"Perkembangan dukungan APBN untuk desa pertama kali dialokasikan pada tahun 2015 dengan anggaran sebesar Rp20.766,2 triliun. Kemudian anggaran tersebut terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp70.000,0triliun pada tahun 2023," jelas Junaedi.
Besarnya anggaran dana desa tersebut seharusnya dapat mendorong peningkatan perekonomian masyarakat desa. Namun, Junaedi mengingatkan agar para Kades dapat mengelola keuangan desa dengan efektif, efisien, dan akuntabel.
"Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa harus dapat mengelola keuangan desa dengan efektif dan efisien, serta akuntabel sehingga dapat dipertanggungjawabkan," tegasnya.
Menurut Junaedi, masa jabatan Kades yang panjang berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya adalah korupsi. Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang cukup besar dikhawatirkan menjadi objek perebutan bagi para Kades yang ingin berkuasa dalam jangka waktu lama.
"Terlebih dana desa itu besar. Ketika ini menjadi objek perebutan dengan masa jabatan yang panjang, itu akan berbahaya, tidak elok di dalam negara hukum sebuah jabatan itu tidak dibatasi," kata Junaedi, Rabu (17/4/2024).
Junaedi menambahkan, masa jabatan Kades yang panjang dapat memicu kolusi, nepotisme (KKN), dan dominasi kepentingan pribadi Kades, bukan rakyat.
"Semakin panjangnya masa jabatan dapat berpotensi terjadinya tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan," imbuhnya.
Kekhawatiran Junaedi diperkuat dengan data KPK RI yang menunjukkan bahwa dari tahun 2012 hingga 2021, sebanyak 601 kasus korupsi dana desa terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini menjerat 686 Kades di seluruh tanah air.
"Perkembangan dukungan APBN untuk desa pertama kali dialokasikan pada tahun 2015 dengan anggaran sebesar Rp20.766,2 triliun. Kemudian anggaran tersebut terus mengalami peningkatan hingga mencapai Rp70.000,0triliun pada tahun 2023," jelas Junaedi.
Besarnya anggaran dana desa tersebut seharusnya dapat mendorong peningkatan perekonomian masyarakat desa. Namun, Junaedi mengingatkan agar para Kades dapat mengelola keuangan desa dengan efektif, efisien, dan akuntabel.
"Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa harus dapat mengelola keuangan desa dengan efektif dan efisien, serta akuntabel sehingga dapat dipertanggungjawabkan," tegasnya.
(hri)