Kisah Kundungga, Raja Pertama Kerajaan Kutai Bernuansakan Hindu yang Kental Budaya India
loading...
A
A
A
Kerajaan Kutai menjadi kerajaan tertua yang ada di Indonesia. Konon kerajaan ini bernuansakan Hindu, karena adanya seorang anggota kerajaan yang terpengaruh budaya India. Di beberapa catatan sejarah lain, konon ada yang menyebut sang anggota keluarga bernama Kundungga ini keturunan dari India.
Tapi dari bukti dan tafsiran sejarah yang ada, Kundungga masih tetap mempertahankan ciri-ciri orang pribumi Nusantara. Hanya memang ia tersentuh dengan pengaruh budaya India. Tapi konon sosok Kundungga bukanlah pendiri keluarga raja.
Sebab dari data yang sedikit itu dapat disimpulkan bahwa rupanya pengertian keluarga raja pada waktu itu terbatas kepada keluarga kerajaan yang telah menyerap budaya India di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut prasasti yang ada, penyerapan budaya itu mulai terlihat pada waktu Aswawarman, anak Kundungga, menjadi raja, yaitu dipergunakannya nama yang berbau India, sebagai nama pengenalnya.
Sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno", oleh karena itulah yang dianggap sebagai pendiri keluarga raja adalah Aswawarman, dan bukan Kundungga. Nuansa budaya Hindu yang kental membuat kondisi sosial kerajaan terikat dengan peraturan kasta yang ketat.
Konon di kehidupan masyarakat Kerajaan Kutai yang bernuansakan Hindu, seseorang yang telah tercemar dan karenanya dikeluarkan dari kasta, dapat diterima kembali masuk ke dalam kastanya. Setelah melalui upacara penyucian diri yang disebut vratyastoma.
Melalui upacara yang cukup berat ini, segala macam kesalahan, dan dosa yang pernah dilakukan oleh seorang anggota kasta dapat dihapus. Hukuman yang pernah ditimpakan kepadanya, berupa pengucilan dari kastanya, dapat dihapuskan juga.
Dengan kata lain, seseorang yang pernah dikeluarkan dari kastanya karena melakukan kesalahan dan dosa yang cukup berat, dapat diterima kembali menjadi anggota kastanya dengan melalui upacara vratyastoma ini.
Upacara vratyastoma inilah yang rupanya dijadikan jalan oleh orang-orang Indonesia yang sudah terkena pengaruh India itu, untuk meresmikannya sebagai anggota masyarakat suatu kasta yang dikenal di dalam agama Hindu. Upacara penerimaan orang luar kasta ke dalam kasta itu, dilakukan dengan memerhatikan kedudukan asal orang yang bersangkutan.
Saat itu konon pendeta dari pribumi nusantara atau Indonesia, belum pada taraf untuk berhak memimpin upacara vratyastoma. Sehingga dapat dipastikan bahwa pada mulanya yang memimpin upacara cara tersebut, ialah para brahmana agama Hindu yang langsung datang atau didatangkan dari India.
Pad hal ini hampir dapat dipastikan bahwa pendeta yang memimpin upacara vratyastoma untuk Aswawarman adalah pendeta India. Akan tetapi, ketika upacara itu dilakukan terhadap Mülawarman, kemungkinan sekali upacara itu sudah ada pendeta Indonesia sendiri.
Pada hal ini, para brahmana yang berulang kali disebutkan pada prasasti-prasastinya, dengan sendirinya tentulah sebagian terdiri dari kaum brahmana India, dan sebagian lainnya kaum brahmana orang Indonesia asli.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
Tapi dari bukti dan tafsiran sejarah yang ada, Kundungga masih tetap mempertahankan ciri-ciri orang pribumi Nusantara. Hanya memang ia tersentuh dengan pengaruh budaya India. Tapi konon sosok Kundungga bukanlah pendiri keluarga raja.
Sebab dari data yang sedikit itu dapat disimpulkan bahwa rupanya pengertian keluarga raja pada waktu itu terbatas kepada keluarga kerajaan yang telah menyerap budaya India di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut prasasti yang ada, penyerapan budaya itu mulai terlihat pada waktu Aswawarman, anak Kundungga, menjadi raja, yaitu dipergunakannya nama yang berbau India, sebagai nama pengenalnya.
Sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno", oleh karena itulah yang dianggap sebagai pendiri keluarga raja adalah Aswawarman, dan bukan Kundungga. Nuansa budaya Hindu yang kental membuat kondisi sosial kerajaan terikat dengan peraturan kasta yang ketat.
Konon di kehidupan masyarakat Kerajaan Kutai yang bernuansakan Hindu, seseorang yang telah tercemar dan karenanya dikeluarkan dari kasta, dapat diterima kembali masuk ke dalam kastanya. Setelah melalui upacara penyucian diri yang disebut vratyastoma.
Melalui upacara yang cukup berat ini, segala macam kesalahan, dan dosa yang pernah dilakukan oleh seorang anggota kasta dapat dihapus. Hukuman yang pernah ditimpakan kepadanya, berupa pengucilan dari kastanya, dapat dihapuskan juga.
Dengan kata lain, seseorang yang pernah dikeluarkan dari kastanya karena melakukan kesalahan dan dosa yang cukup berat, dapat diterima kembali menjadi anggota kastanya dengan melalui upacara vratyastoma ini.
Upacara vratyastoma inilah yang rupanya dijadikan jalan oleh orang-orang Indonesia yang sudah terkena pengaruh India itu, untuk meresmikannya sebagai anggota masyarakat suatu kasta yang dikenal di dalam agama Hindu. Upacara penerimaan orang luar kasta ke dalam kasta itu, dilakukan dengan memerhatikan kedudukan asal orang yang bersangkutan.
Saat itu konon pendeta dari pribumi nusantara atau Indonesia, belum pada taraf untuk berhak memimpin upacara vratyastoma. Sehingga dapat dipastikan bahwa pada mulanya yang memimpin upacara cara tersebut, ialah para brahmana agama Hindu yang langsung datang atau didatangkan dari India.
Pad hal ini hampir dapat dipastikan bahwa pendeta yang memimpin upacara vratyastoma untuk Aswawarman adalah pendeta India. Akan tetapi, ketika upacara itu dilakukan terhadap Mülawarman, kemungkinan sekali upacara itu sudah ada pendeta Indonesia sendiri.
Pada hal ini, para brahmana yang berulang kali disebutkan pada prasasti-prasastinya, dengan sendirinya tentulah sebagian terdiri dari kaum brahmana India, dan sebagian lainnya kaum brahmana orang Indonesia asli.
Lihat Juga: Kisah Pangeran Diponegoro Marah Besar ke Sultan Muda Keraton Yogyakarta Akibat Hilangnya Tradisi Jawa
(hri)