Kisah Kompeni Belanda Menguras Harta Pribumi Bagelen dan Mengusir Etnis Tionghoa
loading...
A
A
A
Ketika menulis pada November 1824, hanya dua bulan setelah mengambil alih gerbang-gerbang cukai yang menguntungkan di Bantul dan Jatinom di selatan Yogya, penjaga gerbang cukai Tionghoa setempat melaporkan bahwa ia telah bangkrut.
Musim kemarau yang panjang dan ganas telah menghancurkan panen kapas, sementara bahan pangan kebutuhan pokok lain pun menjadi langka. Harga beras melambung tinggi, tetapi perdagangan sama sekali tidak bergerak karena tutupnya pasar-pasar setempat.
Pada bulan-bulan yang mengenaskan sebelum meletusnya perang, daerah pedalaman Jawa selatan-tengah menjadi tempat yang wajib diwaspadai karena sarat teror dan kekerasan. Gerombolan bersenjata beraksi tanpa sanksi hukum.
Aksi-aksi pembunuhan meluas dan aktivitas sehari-hari petani penggarap pribumi berada di bawah sorotan mata-mata penjaga gerbang cukai yang ditaruh di berbagai jalan desa untuk memastikan mereka membayar cukai atau tidak.
Orang Tionghoa sendiri pada dasarnya bukanlah penindas. Sebelum pemerintah Belanda pasca-1816 menaikkan tuntutan fiskalnya ke tingkat yang tidak bisa ditoleransi lagi, beberapa orang Tionghoa, seperti Lib Sing, penyewa tanah kerajaan di Wirosobo Jawa Timur.
dilaporkan sebagai "majikan yang lembut dan murah hati", di bawah komandonya wong cilik Jawa mau kerja bakti dengan senang hati karena tanah-tanah dan desa-desa di wilayah dirawat lebih baik daripada tempat lain.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Musim kemarau yang panjang dan ganas telah menghancurkan panen kapas, sementara bahan pangan kebutuhan pokok lain pun menjadi langka. Harga beras melambung tinggi, tetapi perdagangan sama sekali tidak bergerak karena tutupnya pasar-pasar setempat.
Pada bulan-bulan yang mengenaskan sebelum meletusnya perang, daerah pedalaman Jawa selatan-tengah menjadi tempat yang wajib diwaspadai karena sarat teror dan kekerasan. Gerombolan bersenjata beraksi tanpa sanksi hukum.
Aksi-aksi pembunuhan meluas dan aktivitas sehari-hari petani penggarap pribumi berada di bawah sorotan mata-mata penjaga gerbang cukai yang ditaruh di berbagai jalan desa untuk memastikan mereka membayar cukai atau tidak.
Orang Tionghoa sendiri pada dasarnya bukanlah penindas. Sebelum pemerintah Belanda pasca-1816 menaikkan tuntutan fiskalnya ke tingkat yang tidak bisa ditoleransi lagi, beberapa orang Tionghoa, seperti Lib Sing, penyewa tanah kerajaan di Wirosobo Jawa Timur.
dilaporkan sebagai "majikan yang lembut dan murah hati", di bawah komandonya wong cilik Jawa mau kerja bakti dengan senang hati karena tanah-tanah dan desa-desa di wilayah dirawat lebih baik daripada tempat lain.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(ams)