Kisah Kompeni Belanda Menguras Harta Pribumi Bagelen dan Mengusir Etnis Tionghoa
loading...
A
A
A
Komisioner Belanda mengatur sedemikian rupa cukai di wilayah barat yang diambil alih pemerintah kolonial. Konon saat itu beberapa wilayah di barat yaitu Bagelen dan Banyumas harus merasakan dampak hal tersebut.
Bahkan pada Oktober 1824, komisioner itu merekomendasikan penghapusan segera semua pos-pos bea cukai di dalam suatu wilayah.
Mereka mengusulkan agar pemerintahan Eropa membayar ganti rugi atas pendapatan yang hilang dengan menganeksasi provinsi-provinsi di wilayah barat, yaitu Bagelen dan Banyumas.
Mereka juga mendesak agar semua penduduk etnis Tionghoa di daerah itu diperintahkan untuk pindah ke ibu kota kerajaan dan tidak boleh ada pendatang baru etnis Tionghoa yang diizinkan masuk lagi.
Tetapi di balik itu sudah ada peringatan mengenai dampak yang diberikan kepada kaum pribumi Jawa kala itu.
Konon Peter Carey dalam "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 - 1855" menggambarkan bagaimana orang Belanda beruntung bisa menggarap orang Jawa yang ditindas melalui sistem gerbang cukai.
Sistem ini berlangsung begitu lama dan mereka pemerintah kolonial menutup laporan mengenai adanya potensi-potensi gangguan keamanan dan dampak yang ditakutkan. Pemerintah kolonial justru menganggap sepi peringatan penting ini.
Pasalnya meningkatnya angka keuntungan sampai hampir tiga kali lipat dari gerbang cukai hasil bumi Yogya antara 1816-1824 telah membutakan mata mereka atas kenyataan bahwa keberadaan bandar itu nyata - nyata telah melumpuhkan kegiatan perdagangan.
Ketika menulis pada November 1824, hanya dua bulan setelah mengambil alih gerbang-gerbang cukai yang menguntungkan di Bantul dan Jatinom di selatan Yogya, penjaga gerbang cukai Tionghoa setempat melaporkan bahwa ia telah bangkrut.
Musim kemarau yang panjang dan ganas telah menghancurkan panen kapas, sementara bahan pangan kebutuhan pokok lain pun menjadi langka. Harga beras melambung tinggi, tetapi perdagangan sama sekali tidak bergerak karena tutupnya pasar-pasar setempat.
Pada bulan-bulan yang mengenaskan sebelum meletusnya perang, daerah pedalaman Jawa selatan-tengah menjadi tempat yang wajib diwaspadai karena sarat teror dan kekerasan. Gerombolan bersenjata beraksi tanpa sanksi hukum.
Aksi-aksi pembunuhan meluas dan aktivitas sehari-hari petani penggarap pribumi berada di bawah sorotan mata-mata penjaga gerbang cukai yang ditaruh di berbagai jalan desa untuk memastikan mereka membayar cukai atau tidak.
Orang Tionghoa sendiri pada dasarnya bukanlah penindas. Sebelum pemerintah Belanda pasca-1816 menaikkan tuntutan fiskalnya ke tingkat yang tidak bisa ditoleransi lagi, beberapa orang Tionghoa, seperti Lib Sing, penyewa tanah kerajaan di Wirosobo Jawa Timur.
dilaporkan sebagai "majikan yang lembut dan murah hati", di bawah komandonya wong cilik Jawa mau kerja bakti dengan senang hati karena tanah-tanah dan desa-desa di wilayah dirawat lebih baik daripada tempat lain.
Bahkan pada Oktober 1824, komisioner itu merekomendasikan penghapusan segera semua pos-pos bea cukai di dalam suatu wilayah.
Mereka mengusulkan agar pemerintahan Eropa membayar ganti rugi atas pendapatan yang hilang dengan menganeksasi provinsi-provinsi di wilayah barat, yaitu Bagelen dan Banyumas.
Mereka juga mendesak agar semua penduduk etnis Tionghoa di daerah itu diperintahkan untuk pindah ke ibu kota kerajaan dan tidak boleh ada pendatang baru etnis Tionghoa yang diizinkan masuk lagi.
Tetapi di balik itu sudah ada peringatan mengenai dampak yang diberikan kepada kaum pribumi Jawa kala itu.
Konon Peter Carey dalam "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 - 1855" menggambarkan bagaimana orang Belanda beruntung bisa menggarap orang Jawa yang ditindas melalui sistem gerbang cukai.
Sistem ini berlangsung begitu lama dan mereka pemerintah kolonial menutup laporan mengenai adanya potensi-potensi gangguan keamanan dan dampak yang ditakutkan. Pemerintah kolonial justru menganggap sepi peringatan penting ini.
Pasalnya meningkatnya angka keuntungan sampai hampir tiga kali lipat dari gerbang cukai hasil bumi Yogya antara 1816-1824 telah membutakan mata mereka atas kenyataan bahwa keberadaan bandar itu nyata - nyata telah melumpuhkan kegiatan perdagangan.
Ketika menulis pada November 1824, hanya dua bulan setelah mengambil alih gerbang-gerbang cukai yang menguntungkan di Bantul dan Jatinom di selatan Yogya, penjaga gerbang cukai Tionghoa setempat melaporkan bahwa ia telah bangkrut.
Musim kemarau yang panjang dan ganas telah menghancurkan panen kapas, sementara bahan pangan kebutuhan pokok lain pun menjadi langka. Harga beras melambung tinggi, tetapi perdagangan sama sekali tidak bergerak karena tutupnya pasar-pasar setempat.
Pada bulan-bulan yang mengenaskan sebelum meletusnya perang, daerah pedalaman Jawa selatan-tengah menjadi tempat yang wajib diwaspadai karena sarat teror dan kekerasan. Gerombolan bersenjata beraksi tanpa sanksi hukum.
Aksi-aksi pembunuhan meluas dan aktivitas sehari-hari petani penggarap pribumi berada di bawah sorotan mata-mata penjaga gerbang cukai yang ditaruh di berbagai jalan desa untuk memastikan mereka membayar cukai atau tidak.
Orang Tionghoa sendiri pada dasarnya bukanlah penindas. Sebelum pemerintah Belanda pasca-1816 menaikkan tuntutan fiskalnya ke tingkat yang tidak bisa ditoleransi lagi, beberapa orang Tionghoa, seperti Lib Sing, penyewa tanah kerajaan di Wirosobo Jawa Timur.
dilaporkan sebagai "majikan yang lembut dan murah hati", di bawah komandonya wong cilik Jawa mau kerja bakti dengan senang hati karena tanah-tanah dan desa-desa di wilayah dirawat lebih baik daripada tempat lain.
(ams)