Kekejaman Ratu Sakti, Raja Pajajaran Rakus Suka Rampas Harta Rakyat hingga Nikahi Ibu Tiri
loading...
A
A
A
Kerajaan Pajajaran pernah diperintah seorang raja yang memiliki tabiat sangat buruk. Raja bernama Ratu Sakti ini memerintah usai Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, Surawisesa, dan Ratu Dewata yang memerintah di Pakuan.
Ratu Dewata merupakan raja ketiga Kerajaan Pajajaran, dan memerintah pada tahun 1535-1543 Masehi, untuk menggantikan ayahnya, Surawisesa. Masih mampu mempertahankan Kerajaan Pajajaran, dengan membuat perjanjian dengan Cirebon dan Demak.
Kerajaan ini semakin surut ketika Ratu Sakti naik takhta menjadi raja keempat Kerajaan Pajajaran. Ratu Sakti hanya sempat menikmati takhta selama delapan tahun, sebelum akhirnya dikudeta oleh Ratu Nilakendra.
Dalam bukunya, Fery Taufiq El-Jaquene menyebutkan Ratu Dewata lebih banyak memilih jalan bertapa dan terlalu alim dalam memimpin Kerajaan Pajajaran. Hal ini diduga akibat Ratu Dewata yang memiliki kelemahan dalam menghadapi kenyataan.
Bahkan dalam Carita Parahiyangan, sosok ratu Dewata dicela dengan berbagai sindiran: “Nyai iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik papuasaan”, yang secara harafiah dapat diartikan ”Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa”.
Bahkan, penulis Carita Parahiyangan, juga menambahkan kalimat: “Samangkana ta precinta” yang secara harafiah dapat diartikan: “Begitulah zaman susah”. Tulisan-tulisan itu menjadi sindiran untuk Ratu Dewata.
Fery Taufiq El-Jaquene dalam bukunya yang berjudul “Hitam Putih Pajajaran, dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran” mengisahkan, ada 15 pertempuran yang dihadapi perwira senior untuk mempertahankan benteng Pakuan Pajajaran dari serangan musuh.
Pertempuran demi pertempuran, harus dijalani para prajuritKerajaan Pajajaran di masa pemerintahan Ratu Dewata. Sejumlah perwira senior, harus menghadapi gelombang serangan ganas dari Banten, melalui Pelabuhan Kelapa.
Ratu Dewata merupakan raja ketiga Kerajaan Pajajaran, dan memerintah pada tahun 1535-1543 Masehi, untuk menggantikan ayahnya, Surawisesa. Masih mampu mempertahankan Kerajaan Pajajaran, dengan membuat perjanjian dengan Cirebon dan Demak.
Kerajaan ini semakin surut ketika Ratu Sakti naik takhta menjadi raja keempat Kerajaan Pajajaran. Ratu Sakti hanya sempat menikmati takhta selama delapan tahun, sebelum akhirnya dikudeta oleh Ratu Nilakendra.
Dalam bukunya, Fery Taufiq El-Jaquene menyebutkan Ratu Dewata lebih banyak memilih jalan bertapa dan terlalu alim dalam memimpin Kerajaan Pajajaran. Hal ini diduga akibat Ratu Dewata yang memiliki kelemahan dalam menghadapi kenyataan.
Bahkan dalam Carita Parahiyangan, sosok ratu Dewata dicela dengan berbagai sindiran: “Nyai iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik papuasaan”, yang secara harafiah dapat diartikan ”Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa”.
Bahkan, penulis Carita Parahiyangan, juga menambahkan kalimat: “Samangkana ta precinta” yang secara harafiah dapat diartikan: “Begitulah zaman susah”. Tulisan-tulisan itu menjadi sindiran untuk Ratu Dewata.
Fery Taufiq El-Jaquene dalam bukunya yang berjudul “Hitam Putih Pajajaran, dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran” mengisahkan, ada 15 pertempuran yang dihadapi perwira senior untuk mempertahankan benteng Pakuan Pajajaran dari serangan musuh.
Pertempuran demi pertempuran, harus dijalani para prajuritKerajaan Pajajaran di masa pemerintahan Ratu Dewata. Sejumlah perwira senior, harus menghadapi gelombang serangan ganas dari Banten, melalui Pelabuhan Kelapa.