Diprediksi UMK 2024 Hanya Naik 3 Persen, Buruh Tolak Mekanisme Penghitungan Penetapan Upah
loading...
A
A
A
BANDUNG - Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menolak mekanisme penghitungan kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK) 2024. Penghitungan tersebut dinilai sangat merugikan buruh dengan kenaikan antara 1-3 persen.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto menyatakan, buruh menolak formula penghitungan penetapan upah minimum yang tertuang dalam PP No 51 Tahun 2023. PP tersebut sangat merugikan buruh dengan adanya pembatasan kenaikan upah minimum.
Pada aturan tersebut, mengatur adanya batas atas dan batas bawah dan juga simbol a (Alfa) sebagaimana pasal 26 PP 51 Tahun 2023. Dimana apabila upah minimum yang berjalan sudah diatas rata-rata konsumsi, maka upah minimum tahun 2024 hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi dikali alfa. Dimana simbol alfa menjadi faktor pengurang.
“Dua rumus formula yang tertuang dalam PP tersebut menimbulkan diskriminasi kenaikan upah minimum, dimana sebagian daerah dengan upah minimum akan menggunakan formula pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi dikali alfa,” katanya.
Sedangkan bagi daerah dengan upah minimumnya sudah di atas rata-rata konsumsi, maka hanya menggunakan rumus formula pertumbuhan ekonomi kali alfa saja tanpa penambahan inflasi.
“Dengan rumus tersebut maka kenaikkan upah minimum diprediksi hanya 1 sampai 3%, hal tersebut sangat merugikan buruh. PNS upahnya naik 8% sedangkan pensiunan naik 12% hal tersebut mencerminkan ketidak Adilan kepada buruh,” tegas Roy.
Mestinya, kata dia, UMK tahun depan di Jawa Barat naik 15%, atau paling tidak sama dengan kenaikan pensiunan PNS 12%.
“Kalau UMK rendah, daya beli buruh pastinya akan terus merosot harga kebutuhan pokok naiknya sangat signifikan. Ini menunjukkan PP 51 Tahun 2023 merupakan aturan yang pro upah murah,” timpal dia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto menyatakan, buruh menolak formula penghitungan penetapan upah minimum yang tertuang dalam PP No 51 Tahun 2023. PP tersebut sangat merugikan buruh dengan adanya pembatasan kenaikan upah minimum.
Pada aturan tersebut, mengatur adanya batas atas dan batas bawah dan juga simbol a (Alfa) sebagaimana pasal 26 PP 51 Tahun 2023. Dimana apabila upah minimum yang berjalan sudah diatas rata-rata konsumsi, maka upah minimum tahun 2024 hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi dikali alfa. Dimana simbol alfa menjadi faktor pengurang.
“Dua rumus formula yang tertuang dalam PP tersebut menimbulkan diskriminasi kenaikan upah minimum, dimana sebagian daerah dengan upah minimum akan menggunakan formula pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi dikali alfa,” katanya.
Sedangkan bagi daerah dengan upah minimumnya sudah di atas rata-rata konsumsi, maka hanya menggunakan rumus formula pertumbuhan ekonomi kali alfa saja tanpa penambahan inflasi.
“Dengan rumus tersebut maka kenaikkan upah minimum diprediksi hanya 1 sampai 3%, hal tersebut sangat merugikan buruh. PNS upahnya naik 8% sedangkan pensiunan naik 12% hal tersebut mencerminkan ketidak Adilan kepada buruh,” tegas Roy.
Mestinya, kata dia, UMK tahun depan di Jawa Barat naik 15%, atau paling tidak sama dengan kenaikan pensiunan PNS 12%.
“Kalau UMK rendah, daya beli buruh pastinya akan terus merosot harga kebutuhan pokok naiknya sangat signifikan. Ini menunjukkan PP 51 Tahun 2023 merupakan aturan yang pro upah murah,” timpal dia.
(hri)