Roro Anteng dan Joko Seger, Legenda Suku Tengger dan Kisah Cinta Abadi yang Terukir di Gunung Bromo

Selasa, 07 November 2023 - 05:28 WIB
loading...
Roro Anteng dan Joko Seger, Legenda Suku Tengger dan Kisah Cinta Abadi yang Terukir di Gunung Bromo
Senja di kawasan Pegunungan Tengger, menghadirkan keindahan alam yang luar biasa di tanah yang melahirkan legenda cinta abadi Roro Anteng, dan Joko Seger. Foto/SINDOnews/Emanuel Yuswantoro
A A A
Joko Seger dan Roro Anteng, melarikan diri ke wilayah Gunung Bromo. Keduanya merupakan anak bangsawan dari Kerajaan Majapahit, yang akhirnya menikah dan sangat berharap memiliki keturunan.



Untuk mewujudkan mimpi memiliki keturunan tersebut, mereka bersumpah akan mengorbankan anak bungsunya sebagai persembahan untuk dewa apabila permintaannya dikabulkan. Permohonan itu dikabulkan, dan pasangan ini dikaruniai sebanyak 25 anak.



Di kemudian hari, keduanya lupa akan sumpahnya. Anak bungsunya yang bernama, Dewata Kusuma tidak juga dijadikan persembahan kepada dewa. Akhirnya, kuasa dewa sendiri yang merebut Dewata Kusuma dan menghempaskannya ke kawah Gunung Bromo.



Mitologi ini berkembang secara turun-temurun di tengah masyarakat, dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Suku Tengger. Upacara adat dengan melaksanakan larung sesaji ke kawah Gunung Bromo tersebut, dikenal sebagai upacara Yadnya Kasada.

Dalam tulisannya yang berjudul "Sekilas Tentang Masyarakat Tengger", Ayu Sutarto menyebutkan, warga Suku Tengger tinggal di desa-desa yang ada di lereng Gunung Bromo, dan tersebar di empat kabupaten.

Desa-desa yang dimaksud adalah Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Kemudian ada di Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo.

Selain di Probolinggo, Suku Tengger juga mendiami wilayah Kabupaten Pasuruan, yang meliputi Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo, di Kecamatan Tosari; serta Desa Keduwung, Kecamatan Puspo.

Sedangkan di wilayah Kabupaten Malang, mereka berada di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Untuk di Kabupaten Lumajang, warga Suku Tengger menempati dua desa, yakni Desa Argosari, dan Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro.



Masyarakat gunung, yang hingga kini tetap teguh mempertahankan keyakinan dan adat istiadatnya itu, ternyata bukan sekedar hasil mitologi Roro Anteng, dan Joko Seger saja. Sejarah itu, juga terpahat di sebuah batu pualam setinggi 142,5 centimeter; dengan panjangnya 102 centimeter; dan lebarnya 22 centimeter.

Batu pualam besar itu, dikenal sebagai Prasasti Muncang. Ditemukan di Dusun Blandit, Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di permukaan batu tersebut, terpahat tulisan dengan huruf Jawa, yang sangat halus.

Pada permukaan batu itu, terpahat cerita tentang keberadaan Suku Tengger yang saat ini menghuni lereng-lereng pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo. Eksotisme dan keagungan Bromo, tercipta melalui proses perjalanan sejarah panjang yang tidak mengenal batasan waktu.

Dalam catatannya, Ayu Sutarto menyebut, prasasti batu itu berangka tahun 851 Saka (929 M). Di mana dalam prasasti itu menyebutkan adanya desa bernama Walandhit. Dijelaskan, desa itu berada di pegunungan Tengger, yang menjadi tempat suci dan dihuni hulun hyang.

Hulun hyang yang dimaksut dalam prasasti itu, diyakini sebagai orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Selain itu, dalam tulisannya Ayu Sutarto menyebutkan ada prasasti kedua dengan angka tahun yang sama, menyebutkan bahwa di kawasan itu penduduk melakukan ibdata yang kiblatnya ke Gunung Bromo.



Pada tahun 1880, kembali ditemukan prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah penanjakan Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti tersebut, berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M.

Di dalam prasasti itu, termuat kembali nama Desa Walandhit, dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitarnya merupakan tanah suci. Prasasti itu memuat aturan dari Raja Majapahit, Hayam Wuruk untuk membebaskan warga Desa Walandhit dari pajak.

Hal senada juga diungkapkan sejarawan Malang, Dwi Cahyono mengungkapkan. Dia mengatakan, keberadaan Prasasti Muncang, mematahkan asumsi keberadaan Suku Tengger, yang baru ada di wilayah Pegunungan Tengger, dan Gunung Bromo, pascaruntuhnya Kerajaan Majapahit.

Selain Prasasti Pananjakan, Dwi menyebutkan, jauh sebelumnya terdapat serentetan prasasti pada masa kepemimpinan Mpu Sindok yang bertutur tentang Bromo, dan upacara Kasada. Prasasti itu, salah satunya adalah Prasasti Muncang, yang tercatat dibuat pada tahun 944 masehi.

Prasasti itu, tersimpan di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur. Prasasti Muncang, salah satunya berisi penetapan sebidang tanah di selatan pasar Desa Muncang, sebagai tanah perdikan.



"Hasil bumi tanah perdikan ini, digunakan untuk membangun Prasada Kabhaktyan Siddhayoga. Yaitu bangunan suci untuk peribadatan harian bagi Bhathara Sang Hyang Swayambhwa yang bersemayam di Walandit," timpalnya.

Dalam catatan sejarah yang ada di Prasasti Muncang, masyarakat Suku Tengger, sudah ada jauh sebelum hadirnya Kerajaan Singhasari, dan Majapahit di tanah Jawa Dwipa. Dwi berani memperkirakan, sejarah Bromo sebagai tanah suci bagi masyarakat Suku Tengger, sudah ada sejak tahun 929 masehi.

Sebelum Prasasti Muncang, tercatat juga ada Prasasti Lingga Sutan, yang dibuat tahun 929 masehi. Prasasti ini berisi tentang, penetapan Desa Lingga Sutan, sebagai wilayah Rakriyan Hujung, dan hasil pertanian di sana, setiap setahun sekali juga dipersembahkan untuk Bhathara I-Walandit.

Menurutnya, cerita tentang keberadaan masyarakat Suku Tengger, dan kesucian serta keagungan Gunung Bromo, sudah tercatat sejak perpindahan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dari wilayah Jawa Tengah, ke wilayah Jawa Timur. "Saat itu, di bawah kepemimpinan Mpu Sindok," ungkapnya.

Menurut Dwi, berdasarkan catatan pada prasasti yang ada, ternyata upacara Yadnya Kasada, sudah dilakukan masyarakat Suku Tengger, sejak ratusan tahun sebelum munculnya mitologi tersebut.



Dia menyebutkan, sejumlah prasasti dengan jelas menggambarkan keberadaan orang-orang Tengger, berserta upacara Yadnya Kasada. Salah satunya, tercatat dalam Prasasti Pananjakan yang ditemukan tahun 1880, di daerah Penanjakan, Kabupaten Pasuruan.

Dalam prasasti berangka tahun 1405 itu, disebutkan adanya larangan untuk menarik pajak pada bulan titi leman atau akhir bulan di bulan Asada. Larangan itu berlaku untuk lima desa yaitu Desa Walandit, Mamanggis, Lili, Jebing, dan Kacaba. "Pajak dilarang ditarik pada saat itu, karena warga desa tengah memuja gunung keramat nan mulia yaitu Gunung Brama (dewa gunung api)," ujar Dwi.

Dwi meyakini, Desa Walandit saat ini lebih dikenal sebagai Dusun Blandit, di Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sedangkan Desa Mamanggis, kata dia sekarang diperkirakan bernama daerah Kemanggisan, yang terletak di sekitar Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur.



Desa Jebing, diperkirakan sekarang berubah menjadi daerah Jabung, yang juga terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Nama Gunung Brama yang disebut dalam prasasti tersebut, diduga saat ini berkembang namanya menjadi Gunung Bromo.

Sementara masyarakat yang memuja gunung tersebut, dinamakan orang-orang kakahyangan. Dwi memperkirakan, mereka yang disebut orang-orang ka-kahyangan adalah cikal bakal masyarakat Suku Tengger. Prasasti Pananjakan, sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Dari tiga prasasti tersebut, menurut Dwi jelas terlihat adanya keterkaitan. Yaitu, adanya upacara pemujaan pada Bhathara I-Walandit, atau Bhathara Sang Hyang Swayambhwa. Sementara pada Prasasti Penanjakan, semakin diperjelas bahwa dewa-dewa yang dipuja adalah dewa gunung api Brama.

Dari catatan-catatan prasasti tersebut, semakin terlihat sejarah Suku Tengger, dan Gunung Bromo, hadir jauh sebelum masa akhir Kerajaan Majapahit. Bahkan, sudah tercatat sejak kepemimpinan Mpu Sindok di wilayah Jawa Timur.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1897 seconds (0.1#10.140)