Kisah KH Zaenal Mustafa, Pilih Syahid daripada Beri Hormat kepada Kaisar Jepang

Senin, 19 Juni 2023 - 09:29 WIB
loading...
Kisah KH Zaenal Mustafa, Pilih Syahid daripada Beri Hormat kepada Kaisar Jepang
KH Zaenal Mustafa, yang menolak tunduk pada penjajah. Foto/Ist.
A A A
Terlahir dengan nama Hudaeni, pada tahun 1899. Putra dari pasangan Nawapi, dan Ratmah tersebut, akhirnya berganti nama menjadi Zaenal Mustafa, usai menunaikan ibadah haju pada tahun 1927.

Baca Juga: Pertempuran Sengit KH Zaenal Mustafa dan Santrinya Melawan Jepang di Tasikmalaya

Nama Zaenal Mustafa sangat harum di kalangan santri pondok pesantren, dan warga Tasikmalaya. Bahkan, namanya juga diabadikan sebagai nama jalan utama di pusat Kota Tasikmalaya. Sebuah tugu monumen, juga dipersembahkan untuk mengenang jasa-jasa KH Zaenal Mustofa.



Putra kelahiran Kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat tersebut, tumbuh di tengah keluarga petani yang berkecukupan. Hal ini membuatnya bisa menempuh pendidikan formal di sekolah rakyat.



Selanjutnya, masa kecil Zaenal Mustafa, banyak diisi pendidikan agama di pesantren. Usai menuntaskan pelajaran mengaji di kampungnya, dia pertama kali melanjutkan pendidikan ke pesantren di Gunung Pari.

Dia mendapatkan bimbingan langsung dari kakak sepupunya, Dimyati, yang dikenal dengan nama KH Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, Zaenal Mustafa kecil menempuh pendidikan agama di Pondok Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung.

Kehidupan di masa mudanya, banyak dihabiskan dengan menempuh pendidikan di pesantren. Sekitar 17 tahun lamanya, dia menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Hal ini membuatnya memiliki pengetahuan luas, dan mahir berbahasa Arab.

Saat melaksanakan ibadah haji, Zaenal Mustafa berkenalan dan banyak berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka. Bahkan, dia juga sempat melihat pusat pendidikan keagamaan di tanah suci.

Pengalaman yang didapatkan saat menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah, mendorongnya untuk mendirikan pondok pesantren. Keinginan mendirikan pondok pesantren itu, direalisasikannya sekembalinya dari menunaikan ibadah haji.



Dia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang, dengan nama Pesantren Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin.

Melalui pesantren ini, Zaenal Mustafa menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi'i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.

Selain mengamalkan ilmunya melalui pondok pesantren, Zaenal Mustafa juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya, dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Dari situlah, sebutan kiai melekat pada dirinya, dan dia begitu dikenal dengan nama KH. Zaenal Mustafa.

Pengetahuan dan kemampuannya dalam memimpin umat, membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang karismatik, patriotik, serta berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai wakil Rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

Interaksi yang luas dengan masyarakat saat berkunjung ke pelosok-pelosok desa untuk memberikan ceramah, membuatnya menyaksikan langsung penderitaan yang dialami masyarakat akibat penjajahan Belanda.



Dalam ceramah dan kotbahnya, KH. Zaenal Mustafa acap kali secara terang-terangan menyerang tindakan kolonial Belanda. Aksi-aksinya melawan penjajah Belanda tersebut, membuatnya selalu mendapat peringatan, dan diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.

Akibat seruannya yang membangun penyadaran tentang perlawananan terhadap penjajahan Belanda, membuatnya harus mendekam di penjara Tasikmalaya, dan kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung.

KH. Zaenal Mustafa dipenjara oleh penjajah Belanda, bersama KH. Ruhiat dari Pesantren Cipasung, Haji Syirod, dan Hambali Syafei. Mereka dituduh telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Belanda akhirnya membebaskan mereka pada 10 Januari 1942.

Penjara tak juga menyurutkan langkah KH. Zaenal Arifin dalam melawan pejajah Belanda. Akibat aktivitasnya yang dinilai membahayakan pemerintahan kolonial Belanda, membuatnya kembali dijebloskan penjara pada akhir Februari 1942, bersama Kiai Rukhiyat. Kedua kiai ini dijebloskan ke penjara Ciamis.

Saat Belanda kalah dalam perang dunia kedua, dan menyerah kepada tentara Jepang, KH. Zaenal Mustofa akhirnya dibebaskan pada tanggal 8 Maret 1942. Usai bebas dari penjara, KH. Zaenal Mustofa tak sejalan dengan sikap penjajah militer Jepang.



Sekembalinya ke pesantren, usai dipenjara, KH. Zaenal Mustofa menyampaikan pidato singkat, yang mengingatkan kepada para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri, dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing.

Dalam pidato yang disampaikan saat upacara penyambutannya di pesantren, KH. Zaenal Mustofa justru mengingatkan kapada para santri dan pengikutnya, tentang fasisme Jepang yang lebih berbahaya dari penjajahan Belanda.

Pada saat penjajah Jepang becokol, KH. Zaenal Mustofa melakukan perlawanan keras terhadap perintah "Seikeirei", atau merunduk memberi hormat ke arah timur, untuk memberikan hormat kepada Kaisar Jepang.

Dia menilai, perintah merunduk memberikan hormat kepada Kaisar Jepang tersebut, bertentangan dengan keyakinan imannya sebagai seorang muslim. Merunduk ke arah timur tersebut, dinilainya bertentangan dengan ajaran Islam ,dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.

Perlawanan terhadap Seikeirei ini, secara terang-terangan dilakukan KH. Zaenal Mustofa di muka para tentara dan petinggi Jepang. Tepatnya, saat para alim ulama Singaparna, dikumpulkan Jepang di alun-alun dan paksa melakukan Seikerei, dengan todongan senjata.



Kala itu, hanya KH. Zaenal Mustafa yang tetap melawan perintah tersebut. Bahkan, saat itu dia mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, bahwa melakukan Seikeirei adalah tidakan musyrik yang tidak perlu diikuti dan ditakuti.

KH. Zaenal Mustifa berprinsip, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya, dan para pengikutnya. Dia juga menentang dan mengecam romusha, yakni kerja paksa yang dilakukan Jepang.

Perlawanan terhadap tentara Jepang, digelorakan KH. Zaenal Mustofa bersama para santrinya, karena mereka muak terhadap segala bentuk kedzaliman penjajah sejak masa penjajahan Belanda. KH Zaenal Mustafa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang, pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H).

Pada mulanya dia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir membebaskan tahanan-tahanan politik.

Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustafa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok dari bambu, serta berlatih pencak silat.



Kiai karismatik tersebut, juga memberikan latihan spiritual seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim Camat Singaparna disertai 11 orang staf, dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan.

Upaya penangkapan yang dilakukan Jepang, terhadap KH. Zaenal Mustofa dan para santrinya ini gagal. Camat Singaparna dan rombongannya, justru ditawan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Baru keesokan harinya mereka dilepas, dan senjatanya dirampas.

Pada siang harinya, datang empat opsir Jepang, dan memaksa KH. Zaenal Mustafa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan.

Dalam keributan tersebut, tiga opsir Jepang tewas dan satu orang dibiarkan hidup lalu disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa, terhitung mulai 25 Pebruari 1944.

Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar, pasukan Jepang datang dengan menggunakan beberapa buah truk.



Pasukan yang dibawa Jepang, ternyata orang-orang pribumi. Mereka mendekati garis depan pertahanan Pesantren Sukamanah, dan disahut dengan suara takbir dari dalam pertahanan di Pesantren Sukamanah.

Pasukan di Pesantren Sukamanah, sangat terkejut setelah mengetahui pasukan yang dibawa Jepang, merupakan orang-orang pribumi. Para santri dan pengikut KH. Zaenal Mustofa harus berhadapan dengan bangsa sendiri yang telah dikuasai Jepang.

Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, KH. Zaenal Mustafa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka.

Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan "Pertempuran Sukamanah Berdarah".

Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak empat orang. Meninggal di Penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak dua orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin, Bandung, sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.



Sehari setelah peristiwa itu, sekitar 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustafa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri, dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang.

Termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.

Tempat pemakaman KH Zainal Mustofa sempat tidak diketahui, hingga salah satu murid pesantrennya yang bernama Syarif Hidayat yang jadi anggota TNI berpangkat Kolonel pada tahun 1970 meminta Kepala Pusat Sejarah ABRI, Kolonel Nugraha Natosusanto mencari keberadaan makam jenazah gurunya yaitu KH Zainal Mustofa.

Kolonel Syarif Hidayat asal Mangunreja, Tasikmalaya, yang pernah juga menjadi Staf Panglima Komando dan Ketertiban (Pangkomkamtib) Laksamana TNI Sudomo tahun 1978, menelusuri keberadaan makam gurunya tersebut sampai meminta data ke Pemerintah Jepang.

Melalui penelusuran tersebut, akhirnya makam KH Zainal Mustofa bersama 17 santrinya itu berhasil ditemukan di daerah Ancol, Jakarta. Makam tersebut ternyata disatukan dengan pemakaman orang Belanda yang dulu bernama Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.



Dalam penelusuran itupun diketahui, KH. Zainal Mustofa gugur ditembak pada 25 Oktober 1944. Kemudian oleh Jepang dikebumikan di Taman Pahlawan Belanda Ancol. Perjuangan Kolonel Syarif memang tidak sia-sia. Pada 25 Agustus 1973, Jenazah KH Zainal Mustofa dibawa ke Tasikmalaya, bersama 17 jenazah santrinya yang sama-sama mendapat hukuman mati oleh tentara Jepang.

Syuhada kebanggaan Tasikmalaya ini dikebumikan di Kompleks Pondok Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, yang kompleks pemakaman tersebut ditetapkan pemerintah menjadi Taman Makam Pahlawan Sukamanah.

Bahkan saat meninggal dunia, Kolonel Syarif Hidayat turut dimakamkan di tempat KH. Zainal Mustofa bersemayam. Atas keberanian dan pengorbanannya melawan penjajah, KH. Zainal Mustofa dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 064/TK/tahun 1972 tanggal 20 November 1972.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2735 seconds (0.1#10.140)