Warga Tionghoa di DIY Boleh Punya Hak Milik Tanah
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Wajah Siput Lokasari terlihat sumringah. Pengusaha keturunan Tionghoa ini terlihat cerah usai menyaksikan pembacaan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait laporan Siput bersama sejumlah koleganya terhadap sikap BPN yang menolak pendaftaran peralihan hak milik Warga Negara Indonesia Keturunan atau warga Tionghoa.
ORI menilai BPN telah melakukan maladministrasi. ORI juga merekomendasikan agar BPN segera memproses pengajuan sertifikat SHM dari para pelapor yang merupakan WNI keturunan Tionghoa ini.
Bersama Willi Sebastian serta sejumlah koleganya yang lain, Siput menggelar nonton bareng (nobar) penyerahan rekomendasi ORI yang digelar secara virtual ini. Acara nobar digelar di sebuah rumah pengusaha muda di kawasan Sorogenen, Purwomartani, Kalasan Sleman, Rabu (22/7/2020) siang.
Sekitar pukul 10.00 WIB acara pembacaan rekomendasi itu dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selama sekitar 1,5 jam pembacaan rekomendasi itu berlangsung secara virtual. Siput dan Wille tampak serius mengamati layar televisi yang menampilkan acara tersebut. Begitu acara selesai wajah bahagia terpancar dari mereka. Hidangan kue bakpao dan minuman sarang burung walet langsung mereka habiskan. “Saya sudah memperjuangkan ini selama empat tahun terakhir. Berjuang untuk melawan diskiminasi ini,” terang Siput.
Siput dan Willi adalah pelapor kasus ini. Selain mereka berdua ada dua pelapor yang lain masing-masing Eni Kusumawati dan dan Tan Susanto Tanuwijaya. Mereka melaporkan ini ke ORI pada 2016 silam.
Kasus ini berawal ketika kantor pertanahan BPN Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman dan kantor Pertanahan BPN Kota Yogyakarta menolak permohonan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan para pelapor.
BPN berpedoman pada Instruksi Wakil Kepala Derah Istimewa Yogyakarta No K.898/I/A/75 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI non Pribumi yang dikeluarkan pada 5 Maret 1975.(Baca juga : Gugatan Ingub 1975, Hakim Minta Maaf Tunda Putusan )
Dalam ringkasan rekomendasi No 0001/RM.03.02-13/0052.0079.0087.0103-2016/VII/2020, ORI menilai penolakan tersebut semestinya tidak perlu dilakukan. Ini mengingat tidak ada satupun ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang diterbitkan oleh BPN mengatur penolakan dengan merujuk pada instruksi tersebut.
“Meskipun instruksi wakil kepala daerah no K.898/I/A/1975 itu belum dibatalkan, secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai dasar oleh BPN untuk menolak permohonan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan oleh warga negera Indonesia Keturunan,” terang Ketua ORI Amzulian Rifai saat membacakan rekomendasi.(Baca juga : Ini Tanah Enclave yang Diakui Keraton Yogyakarta )
Dalam rekomendasinya, ORI juga menyatakan bahwa Kantor Pertanahan BPN Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta telah melakukan maldaministrasi dalam bentuk diskriminasi pemberian pelayanan dan penyimpangan prosedur.
ORI juga merekomendasikan agar masing-masing kepala kantor pertanahan BPN Bantul,Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Gunungkidul dan Kepala Kantor BPN Sleman agar menindaklanjuti penerbitan sertifikat hak milik (SHM) yang dimohonkan para pelapor. Atau dengan kata lain, BPN tidak boleh menolak permohonan sertifikat SHM yang diajukan oleh para pelapor yang notabene adalah WNI keturunan Tionghoa.
Berdasarkan UU No 37 tahun 2008 tentang ORI , pasal 38 ayat (1) terlapor dan atasan terlapor wajib menindaklanjuti rekomendasi ombudsman. Pasal 38 ayat (2) atasan terlapor wajib menyampaikan tindaklanjut rekomendasi paling lambat 60 hari setelah diterimanya hasil rekomendasi.
Siput menyambut baik rekomendasi ORI ini. Dia berharap BPN patuh dan taat terhadap rekomendasi. Harapan Siput ini disampaikan lantaran sebelumnya dalam acara penyerahan rekomendasi tersebut Wamen Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra menyebut bahwa pihaknya akan mengajak Komisioner ORI bersama-sama datang ke Yogya. Wamen juga sempat menyebut nama Sri Sultan HB X.
“Sultan masih belum mau. Jadi mungkin harus ada pendekatan politik lah kira-kira begitu. Mungin perlu pertemuan dulu yang lebih soft antara kita semua termasuk ombudsman membahas dengan Kasultanan dan pemerintah provinsi. Jika memungkinkan kita buat bulan depan, kita ngomong saja baik-baik,” ujarnya.(Baca juga: Tanah Enclave Disertifikat Jadi SG, Pemda DIY Diminta Kembalikan ke Desa )
Berbeda dengan Wamen, Kepala BPN DIY Tri Wibisono yang juga hadir secara virtual dalam acara itu langsung menjawab dengan jelas, tegas dan menyatakan siap menindaklanjuti rekomendasi itu sesuai UU. “Kami siap menindaklanjuti,” tegasnya.
“Semoga Pak Wamen lebih objektif lagi didalam melihat persoalan pelaksanaan undang-undang dan tidak serta merta dikaitkan dengan politik. Apresiasi kepada kanwil BPN DIY yang mengatakan siap melaksanakan rekomendasi ORI sehingga tidak ada lagi diskriminasi kepemilikan tanah di Bumi Indonesia tercinta ini khususnya DIY,” terang Siput, Kamis (23/7/2020).
ORI menilai BPN telah melakukan maladministrasi. ORI juga merekomendasikan agar BPN segera memproses pengajuan sertifikat SHM dari para pelapor yang merupakan WNI keturunan Tionghoa ini.
Bersama Willi Sebastian serta sejumlah koleganya yang lain, Siput menggelar nonton bareng (nobar) penyerahan rekomendasi ORI yang digelar secara virtual ini. Acara nobar digelar di sebuah rumah pengusaha muda di kawasan Sorogenen, Purwomartani, Kalasan Sleman, Rabu (22/7/2020) siang.
Sekitar pukul 10.00 WIB acara pembacaan rekomendasi itu dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selama sekitar 1,5 jam pembacaan rekomendasi itu berlangsung secara virtual. Siput dan Wille tampak serius mengamati layar televisi yang menampilkan acara tersebut. Begitu acara selesai wajah bahagia terpancar dari mereka. Hidangan kue bakpao dan minuman sarang burung walet langsung mereka habiskan. “Saya sudah memperjuangkan ini selama empat tahun terakhir. Berjuang untuk melawan diskiminasi ini,” terang Siput.
Siput dan Willi adalah pelapor kasus ini. Selain mereka berdua ada dua pelapor yang lain masing-masing Eni Kusumawati dan dan Tan Susanto Tanuwijaya. Mereka melaporkan ini ke ORI pada 2016 silam.
Kasus ini berawal ketika kantor pertanahan BPN Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman dan kantor Pertanahan BPN Kota Yogyakarta menolak permohonan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan para pelapor.
BPN berpedoman pada Instruksi Wakil Kepala Derah Istimewa Yogyakarta No K.898/I/A/75 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada WNI non Pribumi yang dikeluarkan pada 5 Maret 1975.(Baca juga : Gugatan Ingub 1975, Hakim Minta Maaf Tunda Putusan )
Dalam ringkasan rekomendasi No 0001/RM.03.02-13/0052.0079.0087.0103-2016/VII/2020, ORI menilai penolakan tersebut semestinya tidak perlu dilakukan. Ini mengingat tidak ada satupun ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang diterbitkan oleh BPN mengatur penolakan dengan merujuk pada instruksi tersebut.
“Meskipun instruksi wakil kepala daerah no K.898/I/A/1975 itu belum dibatalkan, secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai dasar oleh BPN untuk menolak permohonan pendaftaran peralihan hak milik atas tanah yang diajukan oleh warga negera Indonesia Keturunan,” terang Ketua ORI Amzulian Rifai saat membacakan rekomendasi.(Baca juga : Ini Tanah Enclave yang Diakui Keraton Yogyakarta )
Dalam rekomendasinya, ORI juga menyatakan bahwa Kantor Pertanahan BPN Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman dan Kota Yogyakarta telah melakukan maldaministrasi dalam bentuk diskriminasi pemberian pelayanan dan penyimpangan prosedur.
ORI juga merekomendasikan agar masing-masing kepala kantor pertanahan BPN Bantul,Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Gunungkidul dan Kepala Kantor BPN Sleman agar menindaklanjuti penerbitan sertifikat hak milik (SHM) yang dimohonkan para pelapor. Atau dengan kata lain, BPN tidak boleh menolak permohonan sertifikat SHM yang diajukan oleh para pelapor yang notabene adalah WNI keturunan Tionghoa.
Berdasarkan UU No 37 tahun 2008 tentang ORI , pasal 38 ayat (1) terlapor dan atasan terlapor wajib menindaklanjuti rekomendasi ombudsman. Pasal 38 ayat (2) atasan terlapor wajib menyampaikan tindaklanjut rekomendasi paling lambat 60 hari setelah diterimanya hasil rekomendasi.
Siput menyambut baik rekomendasi ORI ini. Dia berharap BPN patuh dan taat terhadap rekomendasi. Harapan Siput ini disampaikan lantaran sebelumnya dalam acara penyerahan rekomendasi tersebut Wamen Agraria dan Tata Ruang (ATR) Surya Tjandra menyebut bahwa pihaknya akan mengajak Komisioner ORI bersama-sama datang ke Yogya. Wamen juga sempat menyebut nama Sri Sultan HB X.
“Sultan masih belum mau. Jadi mungkin harus ada pendekatan politik lah kira-kira begitu. Mungin perlu pertemuan dulu yang lebih soft antara kita semua termasuk ombudsman membahas dengan Kasultanan dan pemerintah provinsi. Jika memungkinkan kita buat bulan depan, kita ngomong saja baik-baik,” ujarnya.(Baca juga: Tanah Enclave Disertifikat Jadi SG, Pemda DIY Diminta Kembalikan ke Desa )
Berbeda dengan Wamen, Kepala BPN DIY Tri Wibisono yang juga hadir secara virtual dalam acara itu langsung menjawab dengan jelas, tegas dan menyatakan siap menindaklanjuti rekomendasi itu sesuai UU. “Kami siap menindaklanjuti,” tegasnya.
“Semoga Pak Wamen lebih objektif lagi didalam melihat persoalan pelaksanaan undang-undang dan tidak serta merta dikaitkan dengan politik. Apresiasi kepada kanwil BPN DIY yang mengatakan siap melaksanakan rekomendasi ORI sehingga tidak ada lagi diskriminasi kepemilikan tanah di Bumi Indonesia tercinta ini khususnya DIY,” terang Siput, Kamis (23/7/2020).
(nun)