Tanah Enclave Disertifikat Jadi SG, Pemda DIY Diminta Kembalikan ke Desa

Jum'at, 02 Februari 2018 - 11:24 WIB
Tanah Enclave Disertifikat...
Tanah Enclave Disertifikat Jadi SG, Pemda DIY Diminta Kembalikan ke Desa
A A A
YOGYAKARTA - Pemda DIY terus melakukan pendataan tanah Kasultanan atau Sultanaat Grond (SG) dan tanah milik Kadipaten Pakualaman atau Pakualamanaat Grond (PAG). Pendataan ini sepenuhnya menggunakan dana istimewa (Danais).

Pemda DIY diingatkan untuk mengedepankan aspek kehati-hatian lantaran ada indikasi tanah milik Kasunanan Surakarta (Sunan Grond) telanjur disertifikat menjadi tanah SG.

Anggota DPRD DIY Suharwanta menjelaskan, di salah satu desa di Kecamatan Imogiri ada yang telanjur mensertifikatkan tanah desa menjadi tanah SG.

Padahal dalam sejarahnya tanah desa di wilayah tersebut masuk dalam tanah enclave Kasunanan Surakarta atau tanah Sunan Grond. Wilayah enclave adalah daerah kantong yang wilayahnya dikelilingi wilayah negara lain.

Menurut mantan Wakil Ketua Pansus Raperdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ini, ada 16 desa di Kabupaten Bantul yang asalnya dari Kasunanan Surakarta. Salah satunya adalah Desa Karangtengah, Imogiri.

“Di desa ini semua tanah kas desanya sudah disertifikatkan sebagai tanah SG. Padahal sejarahnya di wiayah ini masuk tanah enclave, bukan tanan Kasultanan,” katanya, Jumat (2/2/2018).

Sesuai Perdais No 1/2017 tentang Pemaanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten pasal 8 memberi batasan perihal tanah desa yang masuk kategori tanah SG.

Di dalam Perdais ini menyebut hanya tanah desa yang asal usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten saja yang dinyatakan menjadi milik tanah Kasultanan dan Kadipaten.

“Berdasarkan ketentuan ini tanah desa yang berada di wilayah enclave tidak masuk sebagai tanah Kasultanan dan Kadipaten. Bagaimana ini bisa disertifikatkan atas nama tanah SG kalau Keraton dan Kadipaten tidak memiliki tanah di wilayah ini,” ujar Politis PAN ini.

Suharwanta menjelaskan, wilayah enclave Kasunanan Surakarta diatur dalam Perjanjian Klaten 27 September 1830 sebagai amandemen Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Sementara Kadipaten Mangkunegaran juga punya wilayah enclave di enam desa di Kecamatan Ngawen, Gunungkidul.

Menurut Suharwanta, perjanjian Klaten ini juga diakui oleh negara. Pasalnya pada pembentukan DIY dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 yang kemudian disusul dengan dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 5 tahun 1957 tentang Pengubahan Kedudukan Wilayah Daerah-Daerah Enclave Imogiri, Kota Gede dan Ngawen.

“Mulai sejak dikeluarkan undang-undang tersebut wilayah enclave bergabung menjadi wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya undang-undang yang bersifat darurat tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1958,” tambahnya.

Sebagai tindak lanjut undang-undang tersebut Pemda DIY juga mengeluarkan Perda Istimewa Yogyakarta nomor 1 tahun 1958.

Untuk itu Suharwanta meminta agar tanah desa yang sudah telanjur disertifikatkan atas nama keraton namun asal usul tanah tersebut bukan dari tanah Kasultanan dan Kadipaten hendaknya dikembalikan kepada desa.

“Kalau terbukti bukan tanah Kasultanan pemerintah harus berani mengkoreksinya dan mengembalian tanah itu menjadi milik desa,” tegasnya.

Sementara itu Asisten Keistimewaan DIY, Didik Purwadi menyebut tujuan Keistimewaan DIY salah satunya adalah untuk kententraman masyarakat. Terkait tanah enclave Didik menyebut jika tanah itu memang tidak masuk sebagai tanah SG.

“Di dalam definisi kami, tanah SG memang di luar itu (enclave),” jelasnya saat ngobrol bareng bersama pimpinan media di Jalan Soragan Bantul beberapa waktu lalu.

Didik menyebut ada payung hukum yang mengatur bahwa pengelolaan tanah enclave diserahkan ke Yogyakarta. Meski demikian Didik mengaku belum bisa memberikan penjelasan yang tegas apakah pengelolaan itu artinya di serahkan ke Pemda DIY atau Keraton.

“Soal itu saya belum bisa jawab pasti. Kalau Yogya ini asal usulnya dari dua keraton (Keraton Yogya dan Solo) dan diserahkan ke Yogya , diserahkan ke mana (keraton atau Pemda) saya belum bisa jawab takut salah,” terangnya.

Saat ditanya bagaimana jika tanah desa yang asal usulnya bukan dari tanah Kasultanan dan Kadipaten namun telanjur disertifikatkan atas nama tanah SG, Didik menjawab diplomatis.

“Secara teknis kita punya bidang yang menangani masalah perselisihan. (Kalau) Ada aduan bisa kita selesaikan,” tegasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)