Gugatan Ingub 1975, Hakim Minta Maaf Tunda Putusan
A
A
A
YOGYAKARTA - Majelis Hakim PN Yogyakarta menunda putusan gugatan Instruksi Kepala Daerah DIY No K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi. Sidang akan digelar kembali dua minggu kemudian.
Dalam kasus ini, pihak tergugat adalah Gubernur DIY dan Kepala Kanwil BPN DIY sementara bertindak sebagai pengugat adalah Handoko, warga Tamansiswa No 153 Yogyakarta. Gubernur dan Kepala Kanwil BPN DIY dianggap melakukan perbuatan melawan hukum terkait pembatasan kepemilikan tanah tersebut.
Sidang dengan agenda pembacaan keputusan ini hanya berlangsung lima menit. Ketua majelis hakim Cokro Hendro Mukti SH membuka sidang sekitar pukul 10.45 WIB. Begitu mengetok palu Cokro langsung mengumumkan bahwa pembacaan putusan ditunda dua minggu lagi.
“Mohon maaf sidang ditunda dua minggu lagi atau hari Selasa tanggal 20 Februari 2018,” ujarnya dan langsung menutup sidang.
Usai sidang Handoko mengaku heran dengan penundaan sidang ini. Menurutnya sidang gugatan ini adalah perkara yang mudah. “Ini perkara yang mudah. Saya tidak tahu kenapa kok ditunda, mungkin majelis sedang sibuk,” ujar Handoko Selasa (6/2/2018).
Menurut Handoko, berdasarkan fakta persidangan, seharusnya majelis hakim tidak perlu kesulitan untuk memutuskan perkara ini. Handoko menyebut berdasarkan keterangan ahli baik yang dia hadirikan maupun ahli yang dihadirkan oleh tergugat sama-sama mengakui jika Ingub tahun 1975 ini melanggar Undang- Undang Pokok Agraria Pasal 21.
“Dalam UU PA pasal 21 jelas disebut yang berhak memilik tanah itu WNI tidak disebut apakah itu pribumi atau nonpribumi,” jelasnya.
Masih dalam fakta persidangan bahwa penyebutan istilah WNI pribumi dan nonpribumi ini juga sudah dilarang dalam instruksi Presiden no 26 tahun 1998. Instruksi no K.898/I/1975 ini juga sudah diuji melaui berbagai kompetensi peradilan dan nyata-nyata bukan merupakan peraturan perundangan dan juga bukan suatu keutusan Tata Usaha Negara (TUN).
“Karena bukan peraturan perundangan dan juga bukan suatu keputusan TUN, ini saya anggap hanya sebuah perbuatan. Maka dari itu kita gugat sebagai perbuatan melawan hukum,” terangnya.
Handoko juga menyebut bawah institusi BPN dalam persidangan juga terungkap bukan sebagai organ atau bawahan Gubernur DIY sehingga instruksi ini tidak perlu ditaati. “Dari fakta persidangan jelas ini terbukti sebagai perbuatan melawan hukum. Seharusnya ini perkara yang mudah untuk diputuskan,” terangnya.
Dalam persidangan sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Ni’matul Huda menyebut bahwa BPN kabupaten dan kota se DIY tidak terikat dengan instruksi tersebut. Menurutnya BPN adalah instansi vertikal dan bukan organ gubernur.
“Instruksi secara akademik dan teoritik seharunsy sudah tidak berlaku dengan keluarnya UU PA,” terangnya saat memberikan keterangan ahli di persidangan beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui akibat instruksi ini beberapa warga keturunan Tionghoa mengaku tidak bisa memiliki tanah dengan status surat hak milik (SHM). Kepada SINDO Kepala Biro Hukum Pemda DIY Dewo Isnu Broto juga pernah menegaskan bahwa instruksi No K.898/I/A/75 ini belum dicabut.
Dalam kasus ini, pihak tergugat adalah Gubernur DIY dan Kepala Kanwil BPN DIY sementara bertindak sebagai pengugat adalah Handoko, warga Tamansiswa No 153 Yogyakarta. Gubernur dan Kepala Kanwil BPN DIY dianggap melakukan perbuatan melawan hukum terkait pembatasan kepemilikan tanah tersebut.
Sidang dengan agenda pembacaan keputusan ini hanya berlangsung lima menit. Ketua majelis hakim Cokro Hendro Mukti SH membuka sidang sekitar pukul 10.45 WIB. Begitu mengetok palu Cokro langsung mengumumkan bahwa pembacaan putusan ditunda dua minggu lagi.
“Mohon maaf sidang ditunda dua minggu lagi atau hari Selasa tanggal 20 Februari 2018,” ujarnya dan langsung menutup sidang.
Usai sidang Handoko mengaku heran dengan penundaan sidang ini. Menurutnya sidang gugatan ini adalah perkara yang mudah. “Ini perkara yang mudah. Saya tidak tahu kenapa kok ditunda, mungkin majelis sedang sibuk,” ujar Handoko Selasa (6/2/2018).
Menurut Handoko, berdasarkan fakta persidangan, seharusnya majelis hakim tidak perlu kesulitan untuk memutuskan perkara ini. Handoko menyebut berdasarkan keterangan ahli baik yang dia hadirikan maupun ahli yang dihadirkan oleh tergugat sama-sama mengakui jika Ingub tahun 1975 ini melanggar Undang- Undang Pokok Agraria Pasal 21.
“Dalam UU PA pasal 21 jelas disebut yang berhak memilik tanah itu WNI tidak disebut apakah itu pribumi atau nonpribumi,” jelasnya.
Masih dalam fakta persidangan bahwa penyebutan istilah WNI pribumi dan nonpribumi ini juga sudah dilarang dalam instruksi Presiden no 26 tahun 1998. Instruksi no K.898/I/1975 ini juga sudah diuji melaui berbagai kompetensi peradilan dan nyata-nyata bukan merupakan peraturan perundangan dan juga bukan suatu keutusan Tata Usaha Negara (TUN).
“Karena bukan peraturan perundangan dan juga bukan suatu keputusan TUN, ini saya anggap hanya sebuah perbuatan. Maka dari itu kita gugat sebagai perbuatan melawan hukum,” terangnya.
Handoko juga menyebut bawah institusi BPN dalam persidangan juga terungkap bukan sebagai organ atau bawahan Gubernur DIY sehingga instruksi ini tidak perlu ditaati. “Dari fakta persidangan jelas ini terbukti sebagai perbuatan melawan hukum. Seharusnya ini perkara yang mudah untuk diputuskan,” terangnya.
Dalam persidangan sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Ni’matul Huda menyebut bahwa BPN kabupaten dan kota se DIY tidak terikat dengan instruksi tersebut. Menurutnya BPN adalah instansi vertikal dan bukan organ gubernur.
“Instruksi secara akademik dan teoritik seharunsy sudah tidak berlaku dengan keluarnya UU PA,” terangnya saat memberikan keterangan ahli di persidangan beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui akibat instruksi ini beberapa warga keturunan Tionghoa mengaku tidak bisa memiliki tanah dengan status surat hak milik (SHM). Kepada SINDO Kepala Biro Hukum Pemda DIY Dewo Isnu Broto juga pernah menegaskan bahwa instruksi No K.898/I/A/75 ini belum dicabut.
(rhs)