Riwayat Penari Taledek dan Hobi Priyayi Jawa Mengumbar Birahi

Senin, 27 Februari 2023 - 17:38 WIB
loading...
Riwayat Penari Taledek dan Hobi Priyayi Jawa Mengumbar Birahi
Penari Taledek. Foto: Bonny Setiawan
A A A
BLITAR - Panggilan Taledek, Ronggeng atau Tandak disebagian masyarakat Jawa, terutama di wilayah eks Karsidenan Kediri dan sekitarnya, memiliki konotasi negatif. Sebutan taledek selalu merujuk pada tabiat perempuan gampangan.

Tudingan terhadap para wanita yang mudah berganti-ganti pasangan. Padahal dalam historisnya taledek merupakan sebutan untuk perempuan penari dalam sebuah kesenian tradisional tayub atau ludruk.

Di Betawi, taledek sama halnya dengan penari kesenian cokek. Serupa juga dengan penari wanita dalam pertunjukan dombret atu dongbret di Karawang, Jawa Barat.



Munculnya framing negatif terhadap taledek pertama kali dilakukan oleh kolonial Belanda. Taledek disamakan dengan perempuan yang bermoral longgar.

“Dalam ensiklopedi resmi yang diterbitkan pemerintah (kolonial Belanda), disebutkan bahwa ronggeng dan taledek adalah bagian istimewa dari prostitusi (pelacuran),” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu di Nusantara (2018).

Penilaian negatif kolonial Belanda terhadap perempuan taledek mengacu pada gerak tubuh si penari saat berpentas. Gerakan perempuan yang tengah menari dinilai erotis.

Pinggul yang bergoyang ke kiri dan kanan serta muka dan belakang dianggap sebagai sebuah gerakan seronok yang disengaja untuk membangkitkan birahi laki-laki.



Gerakan itu biasanya menempel dan sekaligus seolah menantang para penonton yang sebagian besar kaum pria.

Sementara sebagian besar penikmat tarian taledek adalah golongan priyayi, meski ada juga masyarakat biasa, yakni terutama yang memiliki simpanan uang lebih.

Kesenangan menikmati tarian taledek atau ronggeng dikalangan priyayi dinilai sebagai bentuk gaya hidup yang hedonis.

Hal umum yang menguatkan sudut pandang negatif kolonial Belanda terhadap penari taledek atau ronggeng adalah pemandangan yang terjadi di atas panggung.



Utamanya saat laki-laki tengah melakukan aksi saweran. Dengan gerakan liar diiringi tawa genit, lembaran uang sawer diselipkan ke dalam kemben atau kain penutup dada si penari taledek.

“Saat itu si pria bisa memegang bagian dada perempuan (penari taledek) dengan jari-jarinya," paparnya.

Besaran uang yang disawerkan dipengaruhi status sosial. Semakin tinggi status sosial si laki-laki maka uang yang disawerkan sembari menggerayang dada penari taledek, akan semakin besar.

Begitu juga sebaliknya dengan si penari taledek. Semakin rupawan paras dan tubuhnya, uang saweran yang diterima akan semakin banyak. Kolonial Belanda sangat memperhatikan hal ini.



Agar tidak berlebihan menghamburkan uang untuk penari taledek yang bahkan sampai berakibat bangkrutnya ekonomi seorang priyayi, sampai-sampai muncul kritikan di masyarakat terkait besaran uang saweran.

Seorang bupati diimbau menyawer hanya 5-10 gulden. Kemudian jaksa hanya 2,5 gulden dan priyayi rendahan bergaji 15 gulden diharap menyawer taledek tidak lebih dari 1 gulden.

Kritik itu muncul dalam laporan surat kabar Darmo Kanda, pada 12 Juni dan 25 Agustus 1905.

Kritikan tajam kembali muncul pada 25 Februari 1909. Para priyayi yang menikmati tarian seronok penari taledek dalam sebuah pesta diimbau untuk tidak terlalu banyak menenggak alkohol.



Alkohol dianggap membuat priyayi kerap kehilangan diri sekaligus memalukan diri sendiri. Mereka diimbau tidak memanfaatkan acara tayuban untuk melampiaskan nafsu terhadap perempuan.

“Jika berbuat demikian, dia harus melakukannya di luar pesta, bukan di muka para wanita dan bangsawan," jelasnya.

Kritik terhadap priyayi Jawa terkait hobi berjoget dengan penari taledek terus bermunculan. Pada tahun 1913 terbit buku yang terang-terangan menyerang mentalitas priyayi Jawa.

Buku yang ditulis oleh Suwara, seorang nama samaran. Dalam bab berjudul Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan Boten atau Mengenai Perkawinan: Poligami atau Monogami, mentalitas priyayi Jawa dikupas habis.



Dikatakan, kelakuan priyayi sudah tidak terkendali, dan hanya menjadi budak nafsu. Main perempuan, yakni di utamanya dengan penari taledek dianggap sebagai bagian dari budaya priyayi Jawa.

Tidak hanya mengimbangi tarian erotis di atas panggung. Tak sedikit priyayi yang leluasa membawa si penari taledek ke atas ranjang.

Kendati demikian, selain menjadi incaran para priyayi Jawa yang berfikiran mesum, tidak sedikit orang Belanda yang terpesona dengan kegenitan para penari taledek. Bahkan tidak hanya sekedar menari, melainkan menjadikannya istri simpanan.

Hal itu terjadi pada tahun 1912. Seorang asisten residen di Wringinkidul di Pulau Jawa bernama Malheure dikisahkan jatuh hati kepada penari taledek bernama Sarinten. Atas bantuan kepala desa setempat, taledek yang masih berusia 18 tahun itu dijadikannya sebagai nyai.
(san)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4071 seconds (0.1#10.140)