Terungkap Bahasa Jawa Ngoko-Krama Hanya untuk Melanggengkan Kekuasaan Dinasti Mataram

Selasa, 21 Februari 2023 - 13:21 WIB
loading...
Terungkap Bahasa Jawa Ngoko-Krama Hanya untuk Melanggengkan Kekuasaan Dinasti Mataram
Situs Watu Gilang dan Watu Gatheng merupakan salah satu peninggalan zaman Kerajaan Mataram Islam. Foto.ist
A A A
Salah satu strategi kerajaan Mataram Islam untuk mempertahankan kekuasaan di tanah Jawa adalah melakukan politik bahasa. Mataram di bawah Sultan Agung Hanyokrokusumo menciptakan unggah ungguh (etika) bahasa Jawa ngoko-krama.

Sebagai dinasti baru di tanah Jawa, yakni setelah tenggelamnya kerajaan Pajang dan Demak, Sultan Agung terus berupaya mengokohkan kekuasaan yang diwarisi dari Panembahan Senopati.

Mataram yang semula hanya sebuah wilayah kabupaten di bawah kekuasaan kerajaan Pajang, telah berubah menjadi kerajaan yang kebesarannya harus senantiasa terjaga.

Unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko-krama telah membuat jarak sosial seperti keinginan penguasa Mataram. Hal itu sekaligus memperlihatkan betapa unggulnya, jayanya sekaligus besarnya dinasti Mataram.

“Alat untuk menciptakan jarak sosial ini antara lain dengan pengembangan tataran bahasa Jawa ngoko-krama,” demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara Yang Disembunyikan (2019).

Baca juga: Arca Batara Wisnu di Tengah Hutan Malang Dicuri, Kades: Kembalikan agar Pelaku Tak Celaka

Terlahir dengan nama Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang pada 1593, Sultan Agung berkuasa atas Mataram selama 32 tahun (1613-1645). Sepanjang berkuasa, Sultan Agung terus memperjuangkan kejayaan Mataram.

Yang dicapai bukan hanya kejayaan politik, melainkan juga kejayaan kebudayaan. Sebelum era Mataram Islam, yakni terutama pada masa Sultan Agung, bahasa Jawa belum mengenal tata bahasa.

Bahasa yang dipakai rakyat Jawa tidak terstrata. Kelas-kelas sosial yang ada, yakni di dalamnya termasuk kaum kromo dan priyayi, memakai bahasa yang setara.

Alat komunikasi yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno, yakni percampuran antara bahasa pribumi dengan bahasa sansekerta, yang dalam perkembangannya kemudian lahir kata-kata Kawi.

Situasi etimologis itu dipengaruhi oleh tradisi Hindu yang merupakan peninggalan masa Kerajaan Majapahit.

Dengan bahasa Jawa ngoko-krama, penguasa Mataram berusaha menanamkan pengaruhnya melalui jalan kebudayaan. Adanya jarak sosial sebagai hasil dari eksistensi bahasa Jawa ngoko-krama bertujuan untuk mengembangkan kekuasaan.

Jarak sosial akan memudahkan Mataram melakukan konsolidasi terkait dengan kedudukannya. Sebab tata bahasa ngoko-krama juga menjadi norma pergaulan di masyarakat.

Juga berfungsi sebagai tata unggah-ungguh sekaligus untuk menyatakan rasa hormat dan keakraban. Muncul situasi sosial yang dilekati dengan norma kesopanan.

Pemakaian ngoko-krama sebagai alat politik kekuasaan tidak lepas dari kesadaran historis sosial, bahwa pendiri dinasti Mataram berasal dari kalangan petani.

Dalam konsep sosial Hindu (kasta), dengan mengubah Mataram yang semula wilayah kabupaten menjadi kerajaan, pendiri dinasti Mataram telah mengalami peningkatan kelas sosial.

“Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Ksatria,” demikian seperti dikutip dari Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapan oleh raja Mataram (1987).

Seiring dengan munculnya unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko-krama, sastra babad di masa Mataram juga berkembang pesat. Babad ditulis oleh para pujangga keraton.

Penulisan babad dengan memakai bahasa Jawa halus bertujuan untuk memuliakan raja yang memerintah sekaligus menghormati kalangan atas. Sultan Agung diketahui memiliki peranan penting dalam pengembangan sastra babad.

Pada tahun 1626 Masehi, ia memerintahkan penulisan babad. Perintah itu kembali muncul pada 1633 Masehi, yakni setelah kegagalannya menyerang Batavia (Jakarta) pada 1628 dan 1629.

Sultan Agung sadar betapa sastra babad dapat dimanfaatkan sebagai alat politik kekuasaan. Dan itu semua demi untuk melanggengkan kekuasaan Dinasti Mataram.
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1880 seconds (0.1#10.140)