Hayam Wuruk dan Usaha Menyatukan 3 Aliran Keyakinan di Kerajaan Majapahit
Minggu, 27 November 2022 - 05:59 WIB
Raja Hayam Wuruk saat memerintah Majapahit berupaya untuk menyatukan tiga keyakinan yang tengah berkembang di masyarakat. Hal ini terekam dalam kitab Nagarakretagama pada Pupuh 81. Di pupuh atau bab itu dijelaskan usaha Hayam Wuruk untuk menyatukan tiga aliran agama di Majapahit.
Istilah penyatuan tiga aliran ini disebut tripaksa atau tiga sayap yakni Siwa, Buddha, dan Brahma. Pupuh itu juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdwija tunduk pada ajaran.
Buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" karangan Slamet Muljana mendeskripsikan istilah dwija dalam Hinduisme berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama ialah kelahiran sebagai manusia. Kelahiran kedua berupa upacara pengalungan benang suci atau disebut upavita, sebagai tanda bahwa seseorang telah diterima sebagai anggota masyarakat Arya.
Baca juga: Kisah Lawatan Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang Pandai Menari Topeng
Upacara inisiasi ini dilakukan bagi golongan brahmana pada umur 12 tahun. Hanya ketiga golongan inilah yang dikatakan lahir dua kali. Sementara golongan sudra hanya lahir satu kali, namun kemudian istilah dwija vitu hanya semata-mata diperuntukkan bagi golongan pendeta saja, yakni kaum brahmana.
Dari pemberitaan di Nagarakertagama inilah dapat diambil kesimpulan bahwa di Majapahit pada abad 14 ada empat golongan pendeta. Keempatnya yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha. Jadi terdapat empat aliran agama, yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha.
Oleh karena jumlahnya terlalu kecil, aliran Brahma itu tidak dimasukkan dalam tripaksa. Demikianlah tripaksa itu mencakup tiga aliran agama lainnya, yang besar jumlah pengikutnya. Di antara tiga aliran ini agama Siwa mempunyai pengikut paling banyak berkat kedudukannya menjadi agama resmi Kerajaan Majapahit.
Agama Buddha menduduki tempat kedua, perkembangan Buddha memang sengaja ditekan agar jangan menyaingi agama Siwa. Pada Nagarakertagama pupuh 16 dinyatakan bahwa para pendeta Buddha yang diutus ke daerah untuk mengumpulkan upeti, dilarang berkunjung dan menyiarkan agama di daerah-daerah di sebelah barat Majapahit.
Alasannya di daerah itu agama Buddha tidak mempunyai pengikut. Mereka hanya diperbolehkan menyiarkan agama di daerah sebelah timur Majapahit, terutama di Pulau Bali dan Lombok. Sebaliknya para pendeta Siwa boleh berkunjung dan menyiarkan agamanya di mana saja tanpa mengenal pembatasan.
Istilah penyatuan tiga aliran ini disebut tripaksa atau tiga sayap yakni Siwa, Buddha, dan Brahma. Pupuh itu juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdwija tunduk pada ajaran.
Buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" karangan Slamet Muljana mendeskripsikan istilah dwija dalam Hinduisme berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama ialah kelahiran sebagai manusia. Kelahiran kedua berupa upacara pengalungan benang suci atau disebut upavita, sebagai tanda bahwa seseorang telah diterima sebagai anggota masyarakat Arya.
Baca juga: Kisah Lawatan Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang Pandai Menari Topeng
Upacara inisiasi ini dilakukan bagi golongan brahmana pada umur 12 tahun. Hanya ketiga golongan inilah yang dikatakan lahir dua kali. Sementara golongan sudra hanya lahir satu kali, namun kemudian istilah dwija vitu hanya semata-mata diperuntukkan bagi golongan pendeta saja, yakni kaum brahmana.
Dari pemberitaan di Nagarakertagama inilah dapat diambil kesimpulan bahwa di Majapahit pada abad 14 ada empat golongan pendeta. Keempatnya yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha. Jadi terdapat empat aliran agama, yakni Siwa, Brahma, Wisnu, dan Buddha.
Oleh karena jumlahnya terlalu kecil, aliran Brahma itu tidak dimasukkan dalam tripaksa. Demikianlah tripaksa itu mencakup tiga aliran agama lainnya, yang besar jumlah pengikutnya. Di antara tiga aliran ini agama Siwa mempunyai pengikut paling banyak berkat kedudukannya menjadi agama resmi Kerajaan Majapahit.
Agama Buddha menduduki tempat kedua, perkembangan Buddha memang sengaja ditekan agar jangan menyaingi agama Siwa. Pada Nagarakertagama pupuh 16 dinyatakan bahwa para pendeta Buddha yang diutus ke daerah untuk mengumpulkan upeti, dilarang berkunjung dan menyiarkan agama di daerah-daerah di sebelah barat Majapahit.
Alasannya di daerah itu agama Buddha tidak mempunyai pengikut. Mereka hanya diperbolehkan menyiarkan agama di daerah sebelah timur Majapahit, terutama di Pulau Bali dan Lombok. Sebaliknya para pendeta Siwa boleh berkunjung dan menyiarkan agamanya di mana saja tanpa mengenal pembatasan.
(msd)
tulis komentar anda