Kisah Para Bangsawan yang Cemaskan Sekolah Eropa Ubah Pemuda Indonesia Jadi Besar Kepala
Senin, 29 Agustus 2022 - 16:01 WIB
Saat itu Sultan Kutai mengirimkan dua putranya ke Negeri Belanda. Kemudian Sultan Asahan, juga mengirimkan seorang putra dan adiknya. Susuhunan Solo mengirimkan dua putranya, yang kemudian disusul tiga lagi putranya yang masih muda.
Di Negeri Belanda mereka menimba ilmu di institut swasta atau pelajaran privat. “Tjokroadikoesoemo, putra Bupati Magelang juga masuk dalam kategori ini,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Pada tahun 1903, Baginda Djamaloedin bin Moh Rasad tiba di Negeri Belanda sekaligus menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian di Wageningen. Setahun berikutnya, Raden Hoesein Djajadiningrat masuk ke Universitas Leiden Belanda untuk belajar bahasa-bahasa Timur.
Di luar itu masih ada beberapa orang Indonesia pemilik akte pengajaran pribumi yang juga tinggal di Negeri Belanda. Mereka sedang mengambil pendidikan akte Belanda. Salah satunya adalah Maharadja Soetan Casajangan Soripada. Casajangan yang selalu berpenampilan ningrat, yakni tak pernah lepas dengan lorgnet (kacamata) emasnya, merupakan orang Batak yang lahir di Tapanuli.
Ayah Casajangan adalah satu-satunya kepala di Tanah Batak waktu itu yang sempat mengenyam pendidikan Barat serta bergaul luas dengan orang Eropa. Pada tahun 1907, rombongan orang Indonesia atau Hindia Belanda yang datang ke Negeri Belanda dengan ongkos swadaya bertambah menjadi 20 orang.
Keluarga Pakoe Alam Yogyakarta memiliki andil besar. Empat putranya, ditambah saudara Pakoe Alam VI dan patihnya, belajar di Delft dan Leiden. Mereka di antaranya Notokworo, Notodiningrat, Gondowinoto, dan yang paling terkenal Noto Soeroto, yang selama 25 tahun memainkan peran penting di kalangan politik dan budaya orang Indonesia di Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda mereka memiliki tempat berkumpul bersama. Termasuk membentuk perhimpunan untuk memandu orang-orang Indonesia yang baru tiba. “Rumah guru bahasa Jawa bagi para pangeran Solo yang bernama Sastropradoto di Leiden menjadi pusat pertemuan yang nyaman”.
Jumlah rombongan pemuda Indonesia yang belajar di Negeri Belanda memang terus bertambah. Namun seiring itu muncul kecemasan para orang tua, bahwa anak-anaknya terlalu diEropakan. Bukan sekedar soal keyakinan keagamaan. Begitu pulang ke kampung halaman, para orang tua melihat gejala sikap yang meremehkan lingkungan lama.
Di mata pribumi lainnya, prilaku mereka menjadi terlihat aneh yang diduga akibat masih tipisnya lapisan peradaban Eropa yang dipelajari. “Para pemuda itu lalu mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat dari lingkungannya yang lama. Dan sesuah kembali ke tanah airnya, mereka menjadi asing dengan lingkungannya,” tulis Dr A. A Fokker dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Menurut Fokker, masalah yang terjadi bisa diobati dengan memberi pengetahuan umum yang dasarnya adalah sikap nasional. Dengan begitu, dampak pergaulan akrab di lingkungan Belanda atau pembelandaan akibat hidup indekos pada keluarga Belanda, dapat dikurangi.
Di Negeri Belanda mereka menimba ilmu di institut swasta atau pelajaran privat. “Tjokroadikoesoemo, putra Bupati Magelang juga masuk dalam kategori ini,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Pada tahun 1903, Baginda Djamaloedin bin Moh Rasad tiba di Negeri Belanda sekaligus menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian di Wageningen. Setahun berikutnya, Raden Hoesein Djajadiningrat masuk ke Universitas Leiden Belanda untuk belajar bahasa-bahasa Timur.
Di luar itu masih ada beberapa orang Indonesia pemilik akte pengajaran pribumi yang juga tinggal di Negeri Belanda. Mereka sedang mengambil pendidikan akte Belanda. Salah satunya adalah Maharadja Soetan Casajangan Soripada. Casajangan yang selalu berpenampilan ningrat, yakni tak pernah lepas dengan lorgnet (kacamata) emasnya, merupakan orang Batak yang lahir di Tapanuli.
Ayah Casajangan adalah satu-satunya kepala di Tanah Batak waktu itu yang sempat mengenyam pendidikan Barat serta bergaul luas dengan orang Eropa. Pada tahun 1907, rombongan orang Indonesia atau Hindia Belanda yang datang ke Negeri Belanda dengan ongkos swadaya bertambah menjadi 20 orang.
Keluarga Pakoe Alam Yogyakarta memiliki andil besar. Empat putranya, ditambah saudara Pakoe Alam VI dan patihnya, belajar di Delft dan Leiden. Mereka di antaranya Notokworo, Notodiningrat, Gondowinoto, dan yang paling terkenal Noto Soeroto, yang selama 25 tahun memainkan peran penting di kalangan politik dan budaya orang Indonesia di Negeri Belanda.
Di Negeri Belanda mereka memiliki tempat berkumpul bersama. Termasuk membentuk perhimpunan untuk memandu orang-orang Indonesia yang baru tiba. “Rumah guru bahasa Jawa bagi para pangeran Solo yang bernama Sastropradoto di Leiden menjadi pusat pertemuan yang nyaman”.
Jumlah rombongan pemuda Indonesia yang belajar di Negeri Belanda memang terus bertambah. Namun seiring itu muncul kecemasan para orang tua, bahwa anak-anaknya terlalu diEropakan. Bukan sekedar soal keyakinan keagamaan. Begitu pulang ke kampung halaman, para orang tua melihat gejala sikap yang meremehkan lingkungan lama.
Di mata pribumi lainnya, prilaku mereka menjadi terlihat aneh yang diduga akibat masih tipisnya lapisan peradaban Eropa yang dipelajari. “Para pemuda itu lalu mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat dari lingkungannya yang lama. Dan sesuah kembali ke tanah airnya, mereka menjadi asing dengan lingkungannya,” tulis Dr A. A Fokker dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Menurut Fokker, masalah yang terjadi bisa diobati dengan memberi pengetahuan umum yang dasarnya adalah sikap nasional. Dengan begitu, dampak pergaulan akrab di lingkungan Belanda atau pembelandaan akibat hidup indekos pada keluarga Belanda, dapat dikurangi.
tulis komentar anda