Tumenggung Jalil, Pejuang Kalimantan Selatan yang Kepalanya Disimpan di Negeri Belanda
Kamis, 07 Juli 2022 - 05:32 WIB
TUMENGGUNG Jalil merupakan pejuang rakyat kecil dari Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Dia gugur dalam Perang Banjar (1859-1905), saat mempertahankan Benteng Tundakan, Nalangan, pada 24 September 1861.
Saat terjadi Perang Lampihong, Maret 1860, Tumenggung Jalil memimpin langsung pasukannya melawan Belanda. Dia membawa senjata parang bungkul di kedua tangannya dan bertarung dengan gagah berani.
Sejak kecil, Tumenggung Jalil memang dikenal sebagai sosok pemberani. Kemahirannya dalam berkelahi tidak perlu diragukan lagi. Dalam sejumlah pertempuran, dia berhasil dengan gemilang memukul mundur pasukan Belanda.
Sebelum lebih jauh, baiknya diulas secara singkat latar belakang terjadinya perang. Dimulai dariberatnya pajak, dan kerja rodi bagi masyarakat. Ditambah, adanya campur tangan Belanda pada persoalan internal kerajaan.
Rasa tidak puas itu mencapai puncaknya yang pertama, pada 1851, ketika Mangkubumi meninggal dunia, dan Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sebagai Raja Muda dan kemudian menjadi Sultan.
Pengangkatan Tamjidillah membuat rakyat kecewa, terutama para ulama. Lantaran, Tamjidillah merupakan anak di luar nikah Sultan Muda Pangeran Abdurrakhman dengan Nyai Aminah yang merupakan keturunan Cina.
Kehidupan di istana juga sangat jauh dari nilai-nilai agama Islam, seperti selalu mabuk-mabukan dengan orang Belanda. Bahkan, saudara-saudaranya Ratu Ishak dan Kramajaya, hidup melacur sebagai selir orang Belanda.
Saat terjadi Perang Lampihong, Maret 1860, Tumenggung Jalil memimpin langsung pasukannya melawan Belanda. Dia membawa senjata parang bungkul di kedua tangannya dan bertarung dengan gagah berani.
Sejak kecil, Tumenggung Jalil memang dikenal sebagai sosok pemberani. Kemahirannya dalam berkelahi tidak perlu diragukan lagi. Dalam sejumlah pertempuran, dia berhasil dengan gemilang memukul mundur pasukan Belanda.
Baca Juga
Sebelum lebih jauh, baiknya diulas secara singkat latar belakang terjadinya perang. Dimulai dariberatnya pajak, dan kerja rodi bagi masyarakat. Ditambah, adanya campur tangan Belanda pada persoalan internal kerajaan.
Rasa tidak puas itu mencapai puncaknya yang pertama, pada 1851, ketika Mangkubumi meninggal dunia, dan Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sebagai Raja Muda dan kemudian menjadi Sultan.
Pengangkatan Tamjidillah membuat rakyat kecewa, terutama para ulama. Lantaran, Tamjidillah merupakan anak di luar nikah Sultan Muda Pangeran Abdurrakhman dengan Nyai Aminah yang merupakan keturunan Cina.
Kehidupan di istana juga sangat jauh dari nilai-nilai agama Islam, seperti selalu mabuk-mabukan dengan orang Belanda. Bahkan, saudara-saudaranya Ratu Ishak dan Kramajaya, hidup melacur sebagai selir orang Belanda.
tulis komentar anda