Martha Christina Tiahahu, Panglima Perang Perempuan Termuda yang Ditakuti Kompeni Belanda

Jum'at, 14 Januari 2022 - 05:00 WIB
Dari hasil perundingan tersebut, diputuskan bahwa Martha menjadi salah satu pemimpin pasukan bersama sang ayah dan yang lainnya. Semua pasukan yang terlibat kala itu berada di bawah komando Kapitan Pattimura.

Serangan yang mereka lakukan dimulai menjelang fajar di Benteng Beverwihj. Saat semua prajurit terlelap, Martha bersama ayahnya menyusup masuk.

Saat mereka memulai aksi, Kapitan Paulus berhasil menaklukkan penjaga benteng depan. Namun secara tiba-tiba, ada seorang prajurit Belanda yang muncul dan langsung mengarahkan senjata padanya.

Untungnya kehadiran prajurit tersebut dengan cepat Martha sadari. Ia merebut senjata tersebut, namun ia justru mendapat pukulan dari prajurit di bagian pelipis dan membuat Martha tersungkur ke tanah.

Mendapati anaknya yang diserang dan terancam, Kapitan Paulus Tiahahu pun secara sigap berusaha untuk menyelamatkannya. Ia kemudian kembali merebut senapan musuh dan menyerangnya hingga kehilangan nyawa saat itu juga.

Setelah itu, Kapitan Paulus dan Martha berhasil masuk ke benteng lebih dalam bersama pejuang lain. Serangan mereka membuat musuh kewalahan dan takluk pada pejuang Maluku.Martha dan ayahnya tercatat dalam sejarah yang ikut berperang bersama Kapitan Pattimura kala itu. Mereka berhasil mengalahkan Belanda dan membakar Benteng Duurstede.

Usai serangan tersebut, Martha bersama pejuang lain terus melakukan gerilya. Ada kalanya pasukan pejuang merasa terdesak, di antaranya karena persediaan senjata yang mengurang. Hal tersebut lantas membuat pejuang harus rela mundur ke Pegunungan Ulath-Ouw. Lalu pada 11 Oktober di tahun yang sama, kembali ada peperangan yang dilakukan Belanda dengan kekuatan dari 100 orang prajurit dan dipimpin oleh Richemont.

Dalam perang itu, Richemont gugur karena tertembak. Dengan keunggulan tersebut, pasukan pejuang rakyat lantas menyerang dari segala penjuru dengan teriakan yang menggema di udara.

Martha tentunya turut andil dalam peperangan tersebut. Ia menyemangati para pejuang wanita di Ulath dan Ouw secara langsung. "Tanah ini adalah tempat kita dilahirkan. Jangan biarkan penjajah merebutnya," teriak Martha dengan semangat dalam perang tersebut. "Kita dilahirkan di sini, kita pun harus rela mati di bumi ini. Lebih baik mati dalam perjuangan daripada menjadi budak mereka!" sambungnya.

Sayangnya, peperangan tersebut berakhir kekalahan di pihak pejuang rakyat. Pada 14 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Christian, Raja Hehanussa dari Negeri Titawai, Raja Utah, dan Patih Ouw ditangkap dan dibawa ke kapal perang Eversten.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More