RUU Ciptaker, Puluhan Akademisi Teken Petisi Penolakan

Kamis, 23 April 2020 - 08:14 WIB
"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945," kata dia.

Terkait isu ketenagakerjaan, Dr. Devi Rahayu, S.H., M.Hum. juga menyesalkan dan menolak adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena menindas kelas pekerja melalui sistem pengupahan berdasar jam kerja.

Ia melihat, dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan jam kerja dan tentu akan sangat merugikan pekerja karena upah bisa jadi di bawah UMP.

Selain itu, upah dengan sistem jam kerja ini secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan yaitu hak atas upah saat izin haid, cuti hamil dan melahirkan.

"Pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja sehingga tidak berhak mendapatkan upah. Padahal, hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja perempuan yang seharusnya dijamin oleh undang-undang," ucapnya.

Selain itu, Devi juga menyoroti sistem outsourcing dan praktik PHK yang akan meluas. Menurutnya, pekerja akan semakin gampang di-PHK karena pengusaha tidak lagi wajib memberi Surat Peringatan 1, 2 dan 3.

"Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memberi keleluasaan bagi seluruh jenis kerja untuk dialihdayakan, tidak ada lagi pembeda antara bisnis utama dan kegiatan penunjang," imbuhnya.

Sementara itu, ahli hukum lingkungan, Dr. Andri Wibisana, S.H., LL.M mengungkapkan bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.

Ia menerangkan, Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana.

Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More