Kisah Calon Arang Usik Raja Airlangga, Gara-gara Cemas Putri Cantiknya Jadi Perawan Tua
Sabtu, 09 Oktober 2021 - 14:04 WIB
Namun menginjak usia 25 tahun, tidak satupun laki-laki yang berani melamarnya. Alih-alih meminang, mendekat saja para lelaki sudah ciut nyali. Mendengar nama Calon Arang, para laki-laki sudah gentar. Terbayang seorang perempuan tukang sihir, penyembah Dewi Durga atau Dewi Bagawati yang menghabiskan waktu bersama murid-muridnya di kuburan.
Tiadanya laki-laki yang menyunting Ratna Manggali, membuat Calon Arang murka. Membayangkan anaknya yang cantik jelita menjadi perawan tua, dada Calon Arang seperti terbakar. Sebagai seorang ibu sekaligus seorang janda, Calon Arang merasa terhina. "Alangkah marahnya sang janda. Alangkah malunya sang janda," tulis Toeti Heraty.
Di kuburan, Calon Arang bersama murid-muridnya, terus menjalankan ritual mautnya. Semuanya perempuan. Wersirsa, Mahisawandana, Lendya, Lende, Lendi, Guyang, Larung, dan Gandi. Murid-murid kinasih itu menandak-nandak (menari), mengikuti sang guru yang merapal mantra. Pada lehernya berkalung usus manusia. Pada telinga beranting paru -paru dan mengeramasi rambut dengan darah manusia.
Calon Arang menikmati hasil kerjanya. Ia tertawa-tawa melihat kematian yang terus berjatuhan. Bahagia melihat tangis penduduk Kediri yang meledak karena kehilangan keluarga. Persebaran penyakit tak bisa dicegah. Kian meluas sampai ke puncak-puncak gunung. Para pendeta kerajaan malu bertemu rakyat, karena tidak mampu menolak teluh yang disebar Calon Arang.
Raja Airlangga berduka melihat penderitaan yang ditanggung rakyatnya. "Kewibawaan raja terganggu di tahta," tulis Toeti Heraty dalam Calon Arang Korban Patriarki. Teror pagebluk perempuan penyihir Calon Arang tidak bisa didiamkan. Serbuan tentara kerajaan ke Jirah yang gagal karena mendapat perlawanan sengit Calon Arang, harus diganti dengan taktik lain.
Raja Airlangga memerintahkan patih dan para menteri utama untuk mengundang para pendeta, resi, pujangga dan guru. Semuanya berkumpul dan bersama-sama melakukan ritual pemujaan kepada Sang Hyang Agni, sekaligus meminta petunjuk. Terbitlah petunjuk dari dewata yang menyebut nama Sri Munindra Baradah atau Mpu Baradah.
Seorang pendeta sempurna yang bertempat di pertapaan Semasana, Lemah Tulis. "Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia". Mpu Baradah bagi Raja Airlangga bukan sosok asing.
Hasil penelitian Louis Damais, sarjana Perancis (1540) pada naskah kuno, menyebut, Mpu Baradah pernah menyarankan Airlangga membagi tahta kerajaan. Satu tahta di Jawa (Kediri) dan satunya di Bali. Namun sarannya tidak terwujud, karena penolakan Sri Mpu Kuturan di Bali.
Tiadanya laki-laki yang menyunting Ratna Manggali, membuat Calon Arang murka. Membayangkan anaknya yang cantik jelita menjadi perawan tua, dada Calon Arang seperti terbakar. Sebagai seorang ibu sekaligus seorang janda, Calon Arang merasa terhina. "Alangkah marahnya sang janda. Alangkah malunya sang janda," tulis Toeti Heraty.
Di kuburan, Calon Arang bersama murid-muridnya, terus menjalankan ritual mautnya. Semuanya perempuan. Wersirsa, Mahisawandana, Lendya, Lende, Lendi, Guyang, Larung, dan Gandi. Murid-murid kinasih itu menandak-nandak (menari), mengikuti sang guru yang merapal mantra. Pada lehernya berkalung usus manusia. Pada telinga beranting paru -paru dan mengeramasi rambut dengan darah manusia.
Baca Juga
Calon Arang menikmati hasil kerjanya. Ia tertawa-tawa melihat kematian yang terus berjatuhan. Bahagia melihat tangis penduduk Kediri yang meledak karena kehilangan keluarga. Persebaran penyakit tak bisa dicegah. Kian meluas sampai ke puncak-puncak gunung. Para pendeta kerajaan malu bertemu rakyat, karena tidak mampu menolak teluh yang disebar Calon Arang.
Raja Airlangga berduka melihat penderitaan yang ditanggung rakyatnya. "Kewibawaan raja terganggu di tahta," tulis Toeti Heraty dalam Calon Arang Korban Patriarki. Teror pagebluk perempuan penyihir Calon Arang tidak bisa didiamkan. Serbuan tentara kerajaan ke Jirah yang gagal karena mendapat perlawanan sengit Calon Arang, harus diganti dengan taktik lain.
Raja Airlangga memerintahkan patih dan para menteri utama untuk mengundang para pendeta, resi, pujangga dan guru. Semuanya berkumpul dan bersama-sama melakukan ritual pemujaan kepada Sang Hyang Agni, sekaligus meminta petunjuk. Terbitlah petunjuk dari dewata yang menyebut nama Sri Munindra Baradah atau Mpu Baradah.
Baca Juga
Seorang pendeta sempurna yang bertempat di pertapaan Semasana, Lemah Tulis. "Dialah yang dapat meruwat kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di dunia, membuat sejahtera dunia". Mpu Baradah bagi Raja Airlangga bukan sosok asing.
Hasil penelitian Louis Damais, sarjana Perancis (1540) pada naskah kuno, menyebut, Mpu Baradah pernah menyarankan Airlangga membagi tahta kerajaan. Satu tahta di Jawa (Kediri) dan satunya di Bali. Namun sarannya tidak terwujud, karena penolakan Sri Mpu Kuturan di Bali.
tulis komentar anda