New Normal di Pesantren, Kenapa Tidak!
Sabtu, 30 Mei 2020 - 14:45 WIB
Jadi, IPHI sebagai salah satu satu pioner organisasi advokat sudah akrab dengan dunia pesantren. Sejak dulu, IPHI bergendengan dengan para kyai dan ulama, khususnya kalangan NU.
Kembali ke masalah pesantren menyambut new normal, dalam dua hari terakhir ini mulai marak diperbincangkan. Kementerian Agama (Kemenag), tanggal 27 Mei 2020 juga sudah mengeluarkan edaran “Kebijakan Kegiatan Pesantren dan Rumah Ibadah dalam Menghadapi New Normal”
Secara umum, apa yang terkandung dalam konsep pesantren menuju New Normal dari pemerintah melalui Kemenag itu sebenarnya sudah bukan baru dalam Islam. Protokol pencegahan COVID-19, seperti mencuci tangan, memakai masker, bersin menutup mulut, hingga jaga jarak adalah konsep Islam Life Style.
Memakai masker misalnya, mirip dengan cadar yang dipakai wanita mukminah. Cuci tangan, juga ada dalam wudhu. Mejaga wudhu sangat dianjurkan dalam Islam. Selain itu, soal sosial distancing, dalam Islam juga sudah dianjurkan berkumpul harus memberi manfaat, tidak boleh yang berkumpul sia-sia apalagi yang membahayakan.
Lantas apa yang menjadi masalah pesantren tidak segera dibuka jika konsep new normal itu sudah bukan barang baru di Islam. Tentu, pemerintah dan termasuk kita semua harus berhati-hati. Keselamatan santri dan para guru pesantren di atas segalanya. Apalagi kondisi pandemi korona di tiap daerah tidak sama. Ada yang sudah turun tapi juga ada yang justru naik, seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Untuk itu, perlu berbagai persiapan agar memastikan pesantren benar-benar aman sebelum dibuka kembali. Secara garis besar ada empat langkah untuk memulai New Normal di Pesantren. Pertama, Sertifikasi Pesantren. Kedua, Protokol Kesehatan Covid-19 Pesantren. Ketiga, Sarana-Prasana. Keempat Kelompok Rentan.
Terkait sertifikasi, tujuannya untuk menentukan kelayakan pesantren atau memberikan jaminan bagi seluruh stake holder (orangtua/wali santri, pengajar, staf, dan masyarakat di sekitar pesantren) bahwa pesantren yang menyandang sertifikasi berarti memenuhi kualifikasi bebas Covid-19. Dalam konteks ini bahwa pesantren tersebut memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Untuk itu perlu segera dilakukan pendataan kembali ke semua pesantren dari berbagai hal untuk memenuhi standart verifikasi atau kualifikasi bebas Covid-19 itu. Kalaupun ada yang kurang, pemerintah maupun stake holder lainnya bisa membantu untuk melengkapi. Harapannya, semua pesantren bisa mendapatkan sertifikasi.
Sementara soal Protokol Kesehatan Covid-19 Pesantren, memang akan ada banyak hal yang berubah dari kebiasaan sebelumnya. Seperti menghindari bersalaman, pelukan, cium tangan, mengajar dengan sekat, menggunakan masker dan face shield/kaca mata safety goggle, mengajar secara daring, atau melalui audio visual.
Beberapa kebiasaan baru ini saya rasa bisa dilakukan di pesantren, dengan prinsip tidak hanya melindungi santri tapi juga melindungi para guru yang kita cintai. Yang terpenting, ajaran ilmu pesantren dari para guru-guru tetap bisa terus kita serap meski harus menggunakan bingkai/metode baru.
Kembali ke masalah pesantren menyambut new normal, dalam dua hari terakhir ini mulai marak diperbincangkan. Kementerian Agama (Kemenag), tanggal 27 Mei 2020 juga sudah mengeluarkan edaran “Kebijakan Kegiatan Pesantren dan Rumah Ibadah dalam Menghadapi New Normal”
Secara umum, apa yang terkandung dalam konsep pesantren menuju New Normal dari pemerintah melalui Kemenag itu sebenarnya sudah bukan baru dalam Islam. Protokol pencegahan COVID-19, seperti mencuci tangan, memakai masker, bersin menutup mulut, hingga jaga jarak adalah konsep Islam Life Style.
Memakai masker misalnya, mirip dengan cadar yang dipakai wanita mukminah. Cuci tangan, juga ada dalam wudhu. Mejaga wudhu sangat dianjurkan dalam Islam. Selain itu, soal sosial distancing, dalam Islam juga sudah dianjurkan berkumpul harus memberi manfaat, tidak boleh yang berkumpul sia-sia apalagi yang membahayakan.
Lantas apa yang menjadi masalah pesantren tidak segera dibuka jika konsep new normal itu sudah bukan barang baru di Islam. Tentu, pemerintah dan termasuk kita semua harus berhati-hati. Keselamatan santri dan para guru pesantren di atas segalanya. Apalagi kondisi pandemi korona di tiap daerah tidak sama. Ada yang sudah turun tapi juga ada yang justru naik, seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Untuk itu, perlu berbagai persiapan agar memastikan pesantren benar-benar aman sebelum dibuka kembali. Secara garis besar ada empat langkah untuk memulai New Normal di Pesantren. Pertama, Sertifikasi Pesantren. Kedua, Protokol Kesehatan Covid-19 Pesantren. Ketiga, Sarana-Prasana. Keempat Kelompok Rentan.
Terkait sertifikasi, tujuannya untuk menentukan kelayakan pesantren atau memberikan jaminan bagi seluruh stake holder (orangtua/wali santri, pengajar, staf, dan masyarakat di sekitar pesantren) bahwa pesantren yang menyandang sertifikasi berarti memenuhi kualifikasi bebas Covid-19. Dalam konteks ini bahwa pesantren tersebut memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
Untuk itu perlu segera dilakukan pendataan kembali ke semua pesantren dari berbagai hal untuk memenuhi standart verifikasi atau kualifikasi bebas Covid-19 itu. Kalaupun ada yang kurang, pemerintah maupun stake holder lainnya bisa membantu untuk melengkapi. Harapannya, semua pesantren bisa mendapatkan sertifikasi.
Sementara soal Protokol Kesehatan Covid-19 Pesantren, memang akan ada banyak hal yang berubah dari kebiasaan sebelumnya. Seperti menghindari bersalaman, pelukan, cium tangan, mengajar dengan sekat, menggunakan masker dan face shield/kaca mata safety goggle, mengajar secara daring, atau melalui audio visual.
Beberapa kebiasaan baru ini saya rasa bisa dilakukan di pesantren, dengan prinsip tidak hanya melindungi santri tapi juga melindungi para guru yang kita cintai. Yang terpenting, ajaran ilmu pesantren dari para guru-guru tetap bisa terus kita serap meski harus menggunakan bingkai/metode baru.
tulis komentar anda