Soe Hok Gie dan Mimpi Buruk Pembantaian Bali
Sabtu, 10 Juli 2021 - 04:58 WIB
Bali menjadi ladang pembantaian massal terhadap mereka yang dituding PKI, pada kurun 1965-1966. Soe Hok Gie menyebut peristiwa di Bali sebagai malapetaka yang mengerikan dan suatu penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini.
Baca juga: Tumpes Kelor, Cara Keji Belanda Menghabisi Keturunan Untung Surapati di Jawa Timur
"Selama tiga bulan, Bali yang indah berubah menjadi neraka penyembelihan. Kalau pada waktu ini diantara pembaca ada yang mempunyai sahabat putra Bali, cobalah tanyakan apakah dia punya seorang kenalan yang menjadi korban pertumpahan darah ini. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali," tulis Gie dalam bukunya Zaman Peralihan.
Baca juga: Rampogan Macan-Sima Maesa, Cara Orang Jawa Membunuh Kolonial Belanda
Sebulan sesudah coup 1 Oktober 1965, keadaan Bali masih berjalan seperti biasa. Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja masih menjabat, bahkan masih dua kali pergi ke Jakarta bertemu Presiden Soekarno, 8 dan 17 Oktober 1965.
Sutedja sempat ditanya Bung Karno, apakah dia PKI. Sutedja membantah tuduhan itu dan mengatakan itu hanyalah fitnah belaka. Mendapat jawaban itu, Bung Karno lalu meyakinkan Sutedja harus tetap memegang jabatannya.
Satu dua bulan kemudian, keadaan di Bali mulai tegang. Pembunuhan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah tersiar luas kabarnya di Bali. Seorang tokoh PNI Bali, Wedagama menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan dan tidak akan disalahkan oleh hukum.
Dalam buku lain, disebutkan operasi penumpasan orang-orang komunis di Bali berawal pada 7 Desember 1965. Dimulai datangnya pasukan di bawah pimpinan Mayor (Inf) Djasmin.
Hal itu dikatakan Julius Pour dalam bukunya Pengabdian Korps Baret Merah dalamG30S: Fakta atau Rekayasa. “Seperti di daerah lain, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mendampingi tim RPKAD yang bertugas ke Kodam XVII/ Udajana…” ungkap Pour.
Baca juga: Tumpes Kelor, Cara Keji Belanda Menghabisi Keturunan Untung Surapati di Jawa Timur
"Selama tiga bulan, Bali yang indah berubah menjadi neraka penyembelihan. Kalau pada waktu ini diantara pembaca ada yang mempunyai sahabat putra Bali, cobalah tanyakan apakah dia punya seorang kenalan yang menjadi korban pertumpahan darah ini. Ia pasti akan mengiyakan, karena memang demikianlah keadaan di Bali," tulis Gie dalam bukunya Zaman Peralihan.
Baca juga: Rampogan Macan-Sima Maesa, Cara Orang Jawa Membunuh Kolonial Belanda
Sebulan sesudah coup 1 Oktober 1965, keadaan Bali masih berjalan seperti biasa. Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja masih menjabat, bahkan masih dua kali pergi ke Jakarta bertemu Presiden Soekarno, 8 dan 17 Oktober 1965.
Sutedja sempat ditanya Bung Karno, apakah dia PKI. Sutedja membantah tuduhan itu dan mengatakan itu hanyalah fitnah belaka. Mendapat jawaban itu, Bung Karno lalu meyakinkan Sutedja harus tetap memegang jabatannya.
Satu dua bulan kemudian, keadaan di Bali mulai tegang. Pembunuhan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah tersiar luas kabarnya di Bali. Seorang tokoh PNI Bali, Wedagama menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan dan tidak akan disalahkan oleh hukum.
Dalam buku lain, disebutkan operasi penumpasan orang-orang komunis di Bali berawal pada 7 Desember 1965. Dimulai datangnya pasukan di bawah pimpinan Mayor (Inf) Djasmin.
Hal itu dikatakan Julius Pour dalam bukunya Pengabdian Korps Baret Merah dalamG30S: Fakta atau Rekayasa. “Seperti di daerah lain, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mendampingi tim RPKAD yang bertugas ke Kodam XVII/ Udajana…” ungkap Pour.
tulis komentar anda