Pelepasan Napi Saat Pandemi COVID-19, Ini Kata Pakar Hukum Ubaya
Selasa, 26 Mei 2020 - 10:13 WIB
Michelle Kristina menyampaikan, dari landasan sosiologis kurang lebih 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak dibebaskan untuk mengurangi over capacity dan menekan munculnya penyebaran COVID-19 di lapas. Keputusan ini di respon oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan mengajukan gugatan kepada Kementerian Hukum dan HAM jika kebijakan dinilai tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia.
(Baca juga: PSBB Surabaya Raya Tahap III, Polda Jatim Kerahkan 1.161 Personel )
Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi. Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi COVID-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.
Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya. Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi. Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika napi program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.
"Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran COVID-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi," lanjutnya.
(Baca juga: Lebaran, Tim COVID-19 Blitar Lakukan Ratusan Rapid Test di Pasar )
Beberapa dosen Fakultas Hukum Ubaya juga hadir dalam diskusi serta memberikan tanggapannya terkait kebijakan pemerintah. Menurut Suhartati, kebijakan pelepasan napi juga telah dilakukan oleh negara lain. "Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan pengawasan untuk memastikan kondisi napi yang sudah keluar dan berada di masyarakat," tuturnya doktor hukum Ubaya ini.
Sementara itu Elfina Lebrine Sahetapy mengatakan, masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan. Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.
"Jika negara lain dan mungkin bisa dijadikan contoh di Indonesia agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah mari memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas, banyak tempat yang lain bisa dijadikan hunian seperti wisma atau rumah susun. Disana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat," pungkas salah satu doktor hukum Ubaya.
(Baca juga: PSBB Surabaya Raya Tahap III, Polda Jatim Kerahkan 1.161 Personel )
Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi. Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi COVID-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.
Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya. Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi. Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika napi program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.
"Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran COVID-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi," lanjutnya.
(Baca juga: Lebaran, Tim COVID-19 Blitar Lakukan Ratusan Rapid Test di Pasar )
Beberapa dosen Fakultas Hukum Ubaya juga hadir dalam diskusi serta memberikan tanggapannya terkait kebijakan pemerintah. Menurut Suhartati, kebijakan pelepasan napi juga telah dilakukan oleh negara lain. "Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan pengawasan untuk memastikan kondisi napi yang sudah keluar dan berada di masyarakat," tuturnya doktor hukum Ubaya ini.
Sementara itu Elfina Lebrine Sahetapy mengatakan, masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan. Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.
"Jika negara lain dan mungkin bisa dijadikan contoh di Indonesia agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah mari memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas, banyak tempat yang lain bisa dijadikan hunian seperti wisma atau rumah susun. Disana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat," pungkas salah satu doktor hukum Ubaya.
(eyt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda