Pelepasan Napi Saat Pandemi COVID-19, Ini Kata Pakar Hukum Ubaya
loading...
A
A
A
SURABAYA - Beberapa waktu lalu, masyarakat diresahkan dengan adanya kebijakan pemerintah terkait pembebasan narapidana (Napi) untuk menekan penyebaran COVID-19 di lapas.
(Baca juga: Coba Terobos PSBB Malang Raya, 3 Orang Sembunyi di Balik Terpal )
Kebijakan ini dibuat agar tidak terjadi cluster baru di masyarakat. Namun, pelepasan narapidana di tengah pandemi COVID-19 dianggap tidak efektif dan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. Lantas, bagaimana sebetulnya kebijakan pemerintah dilihat dari perspektif Hukum?
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Ubaya, Michelle Kristina menjelaskan mengenai landasan dalam pelepasan narapidana di masa pandemi COVID-19. Ada tiga landasan yang digunakan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Jika dilihat berdasarkan landasan filosofis, maka peraturan dikeluarkan berkaitan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Saat ini kondisi lapas dan LPKA di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau over capacity, sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan COVID-19.
"Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang ada di lapas maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut," katanya dalam seminar online bersama Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) gelar diskusi bersama bahas kebijakan pelepasan narapidana di tengah pandemi COVID-19.
(Baca juga: Ratusan Warga AS Pesta Liar di Danau Saat COVID-19 Mengganas )
Sedangkan landasan yuridis menekankan pada aspek hukum yang penting bagi masyarakat. Tanpa keberadaan hukum tidak akan terwujud masyarakat yang tertib dan harmonis. Berdasarkan landasan yuridis, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 10/2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi para narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.
"Program asimilasi tersebut tidak diberikan kepada narapidana yang termasuk dalam kategori terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional, dan Warga Negara Asing (WNA). Sebenarnya program asimilasi dari dulu sudah ada, narapidana yang dilepaskan harus memenuhi syarat dan ketentuan berperilaku baik. Bedanya, saat ini mereka dilepaskan di masa pandemi," sambungnya.
Michelle Kristina menyampaikan, dari landasan sosiologis kurang lebih 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak dibebaskan untuk mengurangi over capacity dan menekan munculnya penyebaran COVID-19 di lapas. Keputusan ini di respon oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan mengajukan gugatan kepada Kementerian Hukum dan HAM jika kebijakan dinilai tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia.
(Baca juga: PSBB Surabaya Raya Tahap III, Polda Jatim Kerahkan 1.161 Personel )
Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi. Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi COVID-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.
Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya. Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi. Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika napi program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.
"Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran COVID-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi," lanjutnya.
(Baca juga: Lebaran, Tim COVID-19 Blitar Lakukan Ratusan Rapid Test di Pasar )
Beberapa dosen Fakultas Hukum Ubaya juga hadir dalam diskusi serta memberikan tanggapannya terkait kebijakan pemerintah. Menurut Suhartati, kebijakan pelepasan napi juga telah dilakukan oleh negara lain. "Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan pengawasan untuk memastikan kondisi napi yang sudah keluar dan berada di masyarakat," tuturnya doktor hukum Ubaya ini.
Sementara itu Elfina Lebrine Sahetapy mengatakan, masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan. Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.
"Jika negara lain dan mungkin bisa dijadikan contoh di Indonesia agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah mari memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas, banyak tempat yang lain bisa dijadikan hunian seperti wisma atau rumah susun. Disana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat," pungkas salah satu doktor hukum Ubaya.
(Baca juga: Coba Terobos PSBB Malang Raya, 3 Orang Sembunyi di Balik Terpal )
Kebijakan ini dibuat agar tidak terjadi cluster baru di masyarakat. Namun, pelepasan narapidana di tengah pandemi COVID-19 dianggap tidak efektif dan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. Lantas, bagaimana sebetulnya kebijakan pemerintah dilihat dari perspektif Hukum?
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Ubaya, Michelle Kristina menjelaskan mengenai landasan dalam pelepasan narapidana di masa pandemi COVID-19. Ada tiga landasan yang digunakan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Jika dilihat berdasarkan landasan filosofis, maka peraturan dikeluarkan berkaitan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Saat ini kondisi lapas dan LPKA di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau over capacity, sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan COVID-19.
"Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang ada di lapas maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut," katanya dalam seminar online bersama Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) gelar diskusi bersama bahas kebijakan pelepasan narapidana di tengah pandemi COVID-19.
(Baca juga: Ratusan Warga AS Pesta Liar di Danau Saat COVID-19 Mengganas )
Sedangkan landasan yuridis menekankan pada aspek hukum yang penting bagi masyarakat. Tanpa keberadaan hukum tidak akan terwujud masyarakat yang tertib dan harmonis. Berdasarkan landasan yuridis, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 10/2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi para narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.
"Program asimilasi tersebut tidak diberikan kepada narapidana yang termasuk dalam kategori terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional, dan Warga Negara Asing (WNA). Sebenarnya program asimilasi dari dulu sudah ada, narapidana yang dilepaskan harus memenuhi syarat dan ketentuan berperilaku baik. Bedanya, saat ini mereka dilepaskan di masa pandemi," sambungnya.
Michelle Kristina menyampaikan, dari landasan sosiologis kurang lebih 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak dibebaskan untuk mengurangi over capacity dan menekan munculnya penyebaran COVID-19 di lapas. Keputusan ini di respon oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan mengajukan gugatan kepada Kementerian Hukum dan HAM jika kebijakan dinilai tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia.
(Baca juga: PSBB Surabaya Raya Tahap III, Polda Jatim Kerahkan 1.161 Personel )
Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi. Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi COVID-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.
Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya. Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi. Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika napi program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.
"Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran COVID-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi," lanjutnya.
(Baca juga: Lebaran, Tim COVID-19 Blitar Lakukan Ratusan Rapid Test di Pasar )
Beberapa dosen Fakultas Hukum Ubaya juga hadir dalam diskusi serta memberikan tanggapannya terkait kebijakan pemerintah. Menurut Suhartati, kebijakan pelepasan napi juga telah dilakukan oleh negara lain. "Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan pengawasan untuk memastikan kondisi napi yang sudah keluar dan berada di masyarakat," tuturnya doktor hukum Ubaya ini.
Sementara itu Elfina Lebrine Sahetapy mengatakan, masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan. Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.
"Jika negara lain dan mungkin bisa dijadikan contoh di Indonesia agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah mari memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas, banyak tempat yang lain bisa dijadikan hunian seperti wisma atau rumah susun. Disana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat," pungkas salah satu doktor hukum Ubaya.
(eyt)