Wabah Corona Membuat Utang Luar Negeri Indonesia Membengkak
Minggu, 17 Mei 2020 - 08:01 WIB
JAKARTA - Pandemi COVID-19 akan membuat utang luar negeri (ULN) Indonesia makin membengkak. Menurut Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto pembiayaan penanganan COVID-19 membutuhkan biaya besar dan penyelesaian pandemi yang berlarut-larut membuat kebutuhan biaya semakin tinggi. Dan keperluan biaya besar tersebut berpotensi meningkatkan utang pemerintah, baik utang domestik maupun ULN.
"Dari berbagai skenario dan hitung-hitungan berbagai sumber, kebutuhan pembiayaan penangan COVID-19 semakin membesar," ujar Ryan saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat ULN Indonesia pada kuartal I 2020 mencapai USD389,3 miliar. Angka ULN itu terdiri dari utang sektor publik yaitu pemerintah dan bank sentral sebesar USD183,8 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD205,5 miliar.
Meski demikian, kata Ryan, situasi ini tidak hanya dihadapi Indonesia sendiri, juga di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
"Hanya saja, berapa pun lonjakan utang pemerintah, tetap harus diupayakan jangan sampai melampaui ambang batas berstandar internasional, yakni 60% dari PDB. Barangkali batas atas 35% dari PDB masih bisa kita toleransi karena memang kebutuhannya yang mendesak," katanya mewanti-wanti.(Baca juga : Waduh, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp6.000 Triliun )
Ryan menambahkan, pengelolaan utang juga harus prudent dengan alokasi dan realokasi anggaran bersumber dari utang yang tepat: tepat guna, tepat waktu, tepat prioritas dan tepat sasaran, mengacu kepada prinsip-prinsip Good Government. Jadi prinsip efisiensi dan efektivitas harus menjadi dasar utama pengelolaan utang pemerintah.
"Tak kalah pentingnya adalah upaya atau strategi pemerintah untuk bisa menjaga tingkat penerimaan yang baik sehingga mampu memenuhi kewajiban saat utang jatuh tempo atau saat pembayaran angsuran utang tersebut," katanya.
Dia menekankan, harus ada keseimbangan yang baik dan stabil antara sisi belanja bersumber dari utang dengan sisi penerimaan. Sehingga defisit APBN tidak melebar, tetapi sesuai dengan yang sudah dipatok oleh pemerintah.
"Dari berbagai skenario dan hitung-hitungan berbagai sumber, kebutuhan pembiayaan penangan COVID-19 semakin membesar," ujar Ryan saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat ULN Indonesia pada kuartal I 2020 mencapai USD389,3 miliar. Angka ULN itu terdiri dari utang sektor publik yaitu pemerintah dan bank sentral sebesar USD183,8 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD205,5 miliar.
Meski demikian, kata Ryan, situasi ini tidak hanya dihadapi Indonesia sendiri, juga di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
"Hanya saja, berapa pun lonjakan utang pemerintah, tetap harus diupayakan jangan sampai melampaui ambang batas berstandar internasional, yakni 60% dari PDB. Barangkali batas atas 35% dari PDB masih bisa kita toleransi karena memang kebutuhannya yang mendesak," katanya mewanti-wanti.(Baca juga : Waduh, Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp6.000 Triliun )
Ryan menambahkan, pengelolaan utang juga harus prudent dengan alokasi dan realokasi anggaran bersumber dari utang yang tepat: tepat guna, tepat waktu, tepat prioritas dan tepat sasaran, mengacu kepada prinsip-prinsip Good Government. Jadi prinsip efisiensi dan efektivitas harus menjadi dasar utama pengelolaan utang pemerintah.
"Tak kalah pentingnya adalah upaya atau strategi pemerintah untuk bisa menjaga tingkat penerimaan yang baik sehingga mampu memenuhi kewajiban saat utang jatuh tempo atau saat pembayaran angsuran utang tersebut," katanya.
Dia menekankan, harus ada keseimbangan yang baik dan stabil antara sisi belanja bersumber dari utang dengan sisi penerimaan. Sehingga defisit APBN tidak melebar, tetapi sesuai dengan yang sudah dipatok oleh pemerintah.
(nun)
tulis komentar anda