GKJW Maron Blitar, Cerita Gereja Yang Didirikan Pengikut Pangeran Diponegoro
Senin, 28 Desember 2020 - 05:00 WIB
Sebanyak empat belas orang bekas pengikut laskar Pangeran Diponegoro itu kembali angkat kaki dari Desa Togogan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pasca perang Diponegoro yang banyak menguras kas keuangan penjajah Belanda (1825-1830), para laskar, termasuk ke empat belas orang tersebut, hidup dalam pelarian.
Mereka kabur ke wilayah Timur. Menyebar ke kawasan Ponorogo, Magetan, Nganjuk, Kediri, Tulungagung, dan Blitar. Di tempat baru, sebagian besar bekas pasukan perang itu beralih menjadi pemuka agama. Tidak sedikit yang mendirikan masjid atau musala sekaligus menandai diri dengan menanam pohon sawo kecik di pelataran rumah.
(Baca juga: Gereja Kepanjen, Rose Window Berpadu Kaca Mozaik, Pernah Hancur saat Battle of Surabaya)
Di Desa Togogan, ke empat belas orang pelarian tersebut memilih menjadi seorang Kristen. Mereka juga menyaru sebagai petani kecil. Meninggalkan seluruh kebiasaan lama sebagai pasukan pemberontak. Namun kendati demikian, sikap anti penjajah tetap tidak bisa disembunyikan. Mereka sadar. Penolakan membayar pajak dengan mempengaruhi warga setempat, telah memantik kemarahan orang orang Belanda .
(Baca juga: Kisah Kesaktian Kiai Nawawi, Suwuk Kebal hingga Kerikil Granat)
Karenanya, sebelum ditangkap, para pelarian ini diam diam bergerak ke wilayah selatan untuk menyelamatkan diri. Mereka menuju ke sebuah kawasan hutan yang saat itu dikenal angker. Di sekitar pohon beringin putih berjumlah 7, rombongan itu berhenti. Tidak jauh dari 2 bongkah batu yang berasal dari lahar Gunung Kelud yang membeku, mereka memutuskan bertempat tinggal dan kembali mendirikan bangunan gereja.
Begitulah sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Desa Maron, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, berdiri. "Dari berbagai sumber yang didapat, gereja ini dipastikan didirikan para pelarian laskar Diponegoro," tutur Pendeta GKJW Maron, Bambang Subekhi kepada SINDOnews.
Bangunan gereja itu berada di sisi barat jalan raya Desa Maron. Berada di atas area tanah seluas 7.000 meter persegi, dengan pondasi batu bata setinggi lutut orang dewasa sebagai batas wilayah. Tujuh beringin putih keramat itu sudah tidak ada. Kata Bambang, dulu berjarak sekitar 100 meter dari gereja. Begitu juga dengan 2 bongkahan batu yang berasal dari lahar Gunung Kelud yang membeku. Juga tidak lagi terlihat.
Mereka kabur ke wilayah Timur. Menyebar ke kawasan Ponorogo, Magetan, Nganjuk, Kediri, Tulungagung, dan Blitar. Di tempat baru, sebagian besar bekas pasukan perang itu beralih menjadi pemuka agama. Tidak sedikit yang mendirikan masjid atau musala sekaligus menandai diri dengan menanam pohon sawo kecik di pelataran rumah.
(Baca juga: Gereja Kepanjen, Rose Window Berpadu Kaca Mozaik, Pernah Hancur saat Battle of Surabaya)
Di Desa Togogan, ke empat belas orang pelarian tersebut memilih menjadi seorang Kristen. Mereka juga menyaru sebagai petani kecil. Meninggalkan seluruh kebiasaan lama sebagai pasukan pemberontak. Namun kendati demikian, sikap anti penjajah tetap tidak bisa disembunyikan. Mereka sadar. Penolakan membayar pajak dengan mempengaruhi warga setempat, telah memantik kemarahan orang orang Belanda .
(Baca juga: Kisah Kesaktian Kiai Nawawi, Suwuk Kebal hingga Kerikil Granat)
Karenanya, sebelum ditangkap, para pelarian ini diam diam bergerak ke wilayah selatan untuk menyelamatkan diri. Mereka menuju ke sebuah kawasan hutan yang saat itu dikenal angker. Di sekitar pohon beringin putih berjumlah 7, rombongan itu berhenti. Tidak jauh dari 2 bongkah batu yang berasal dari lahar Gunung Kelud yang membeku, mereka memutuskan bertempat tinggal dan kembali mendirikan bangunan gereja.
Begitulah sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Desa Maron, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, berdiri. "Dari berbagai sumber yang didapat, gereja ini dipastikan didirikan para pelarian laskar Diponegoro," tutur Pendeta GKJW Maron, Bambang Subekhi kepada SINDOnews.
Bangunan gereja itu berada di sisi barat jalan raya Desa Maron. Berada di atas area tanah seluas 7.000 meter persegi, dengan pondasi batu bata setinggi lutut orang dewasa sebagai batas wilayah. Tujuh beringin putih keramat itu sudah tidak ada. Kata Bambang, dulu berjarak sekitar 100 meter dari gereja. Begitu juga dengan 2 bongkahan batu yang berasal dari lahar Gunung Kelud yang membeku. Juga tidak lagi terlihat.
tulis komentar anda