Merajut Mimpi di Lubang Aron
Selasa, 15 September 2020 - 19:32 WIB
Menggunakan 10 mesin, Nabila Collection bisa menghabiskan 450 kilogram benang dalam seminggu. Nabila bekerjasama dengan salah satu perusahaan di kawasan tersebut untuk memasarkan produk rajutan melalui platform online.
Usaha yang telah dirintis selama 15 tahun bersama istrinya ini, dilaluinya penuh pahit dan getir. Berjuang di awal usahanya, sempat tertatih-tatih, dan kembali bangkit dalam tiga tahun terakhir.
"Beberapa tahun lalu, industri rajut sempat lesu, yang juga berimbas ke usaha saya. Produksi turun sampai 40%. Salah satu penyebabnya karena produk rajutan dianggap kurang trendi. Mungkin karena saat itu banyak produk fesyen impor," kata Deni Somantri, Senin (7/9/2020).
Dibukanya perjanjian perdagangan bebas, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), membuat importasi tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Indonesia terus meningkat. Pada 2018, pertumbuhan impor TPT tercatat sangat tinggi. Data Bank Indonesia (BI), nilai impor TPT Indonesia naik 14,8% dari USD7,5 miliar menjadi USD8,6 miliar.
Apalagi, saat itu usahanya masih kategori mikro. Rajutan yang dihasilkan hanya belasan lusin dari lima mesin yang dimiliki. Tenaga kerja pun masih terbatas, tak lebih dari tujuh perajin, termasuk dia dan istrinya.
Dia bersyukur, usahanya tetap jalan walaupun tidak sedikit perajin di Binong Jati bertumbangan. Mereka bersaing di gang sempit, di tengah modernisasi tekstil dunia. Permintaan produk rajut dari pasar grosir seperti Tanah Abang turun drastis. Tidak sedikit perajin yang meninggalkan pekerjaannya, demi menyambung hidup.
Perhimpunan perajin yang tergabung dalam Kampoeng Rajoet Binong Jati mencatat, jumlah pelaku usaha rajut saat itu hanya tersisa sekitar 100 unit, dari jumlah sebelumnya sekitar 400-an pelaku usaha. Sentra ekonomi yang pernah jadi tumpuan Kota Bandung ini, saat itu berada pada titik nadir.
Secercah Harapan
Tahun pun berganti, masa pahit telah terlewati. Deni kembali menemukan mimpi. Kini permintaan produk rajutan kembali menggeliat, termasuk saat pandemi COVID-19. Kenaikan permintaan ini diperkirakan karena minimnya produk impor.
Produk rajutan kembali membawa berkah bagi Deni dan ratusan pengusaha rumahan lainnya di kawasan ini. Ketekunan dan komitmen untuk mempertahankan sentra ekonomi ini, setidaknya kini telah membuahkan hasil. Dalam satu bulan, Deni mengaku bisa mencatat penjualan Rp100-150 juta.
Usaha yang telah dirintis selama 15 tahun bersama istrinya ini, dilaluinya penuh pahit dan getir. Berjuang di awal usahanya, sempat tertatih-tatih, dan kembali bangkit dalam tiga tahun terakhir.
"Beberapa tahun lalu, industri rajut sempat lesu, yang juga berimbas ke usaha saya. Produksi turun sampai 40%. Salah satu penyebabnya karena produk rajutan dianggap kurang trendi. Mungkin karena saat itu banyak produk fesyen impor," kata Deni Somantri, Senin (7/9/2020).
Dibukanya perjanjian perdagangan bebas, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), membuat importasi tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Indonesia terus meningkat. Pada 2018, pertumbuhan impor TPT tercatat sangat tinggi. Data Bank Indonesia (BI), nilai impor TPT Indonesia naik 14,8% dari USD7,5 miliar menjadi USD8,6 miliar.
Apalagi, saat itu usahanya masih kategori mikro. Rajutan yang dihasilkan hanya belasan lusin dari lima mesin yang dimiliki. Tenaga kerja pun masih terbatas, tak lebih dari tujuh perajin, termasuk dia dan istrinya.
Dia bersyukur, usahanya tetap jalan walaupun tidak sedikit perajin di Binong Jati bertumbangan. Mereka bersaing di gang sempit, di tengah modernisasi tekstil dunia. Permintaan produk rajut dari pasar grosir seperti Tanah Abang turun drastis. Tidak sedikit perajin yang meninggalkan pekerjaannya, demi menyambung hidup.
Perhimpunan perajin yang tergabung dalam Kampoeng Rajoet Binong Jati mencatat, jumlah pelaku usaha rajut saat itu hanya tersisa sekitar 100 unit, dari jumlah sebelumnya sekitar 400-an pelaku usaha. Sentra ekonomi yang pernah jadi tumpuan Kota Bandung ini, saat itu berada pada titik nadir.
Secercah Harapan
Tahun pun berganti, masa pahit telah terlewati. Deni kembali menemukan mimpi. Kini permintaan produk rajutan kembali menggeliat, termasuk saat pandemi COVID-19. Kenaikan permintaan ini diperkirakan karena minimnya produk impor.
Produk rajutan kembali membawa berkah bagi Deni dan ratusan pengusaha rumahan lainnya di kawasan ini. Ketekunan dan komitmen untuk mempertahankan sentra ekonomi ini, setidaknya kini telah membuahkan hasil. Dalam satu bulan, Deni mengaku bisa mencatat penjualan Rp100-150 juta.
tulis komentar anda