Merajut Mimpi di Lubang Aron
loading...
A
A
A
KAMPOENG Rajoet Binong Jati dikenal telah ada sejak 1960-an. Industri rumahan ini menjadi tumpuan hidup bagi sekitar 4.000 warga di Kota Bandung. Sempat terlupakan akibat gempuran produk fesyen impor, kini Kampoeng Rajut Binong Jati mencoba bangkit kembali bersama campur tangan semua pihak yang peduli akan eksistensinya.
Suara khas gesekan mesin rajut manual merek Aron dan Linking terdengar saling bersahutan dari satu rumah ke rumah lainnya di kawasan padat penduduk Binong Jati, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Berbeda dengan mesin rajut otomatisasi seharga ratusan juta, mesin Aron mesti digerakkan secara manual menggunakan tangan.
Seolah tak menghiraukan hirup-pikuk kota, ribuan buruh bekerja sejak pagi hingga larut malam. Tangan-tangan kekar dari lelaki perkasa, seolah tak kenal lelah menggerakkan handle mesin Aron ke kiri dan kanan.
Keringat bercucuran tak lagi menjadi nestapa bagi ribuan tenaga kerja di dalamnya. Merajut, mengobras, hingga mengemas rajutan menjadi produk fesyen berkelas.
Lelah bukan penghalang bagi Apen, 29 tahun, terus menggerakkan mesin berukuran 1,5 meter, kendati matahari telah terbenam. Tak ada waktu baginya sekadar merasakan pegalnya kaki akibat berdiri atau duduk berjam-jam. Mata tak bisa terpejam agar rajutan benang sempurna.
Apen bekerja bersama harapan masa depan keluarganya. Bergelut dengan lubang jarum pada mesin tua. Memiliki penghasilan Rp3 hingga 4 juta perbulan, adalah pencapaian luar biasa bagi pria asal Cianjur yang hidup di kota metropolitan Bandung. "Sejauh ini, penghasilan yang saya dapat sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," kata Apen.
10 tahun Apen bergelut dengan pekerjaan ini. Memasukkan benang ke lubang jarum mesin rajut Aron agar mereka yang mengenakannya tampak trendi. Merajut satu-satunya keahlian yang dia miliki, untuk menyambung hidup istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Apen hanyalah satu dari sekitar 4.000-an pekerja rajut di wilayah seluas 0,72 km persegi. Pekerja yang siang malam merajut tanpa henti, menggantungkan harapannya di industri rumahan ini. Apen hanya bisa berharap, kawasan rajut ini tetap bertahan hingga generasi mendatang.
Sehari-hari, Apen bekerja di Nabila Collection milik Deni Somantri. Salah satu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari sekitar 420-an pelaku usaha rajut di Binong Jati. Dalam sehari, Nabila Collection mampu memproduksi sekitar 25 lusin atau sekitar 7.500 pieces produk rajutan.
Menggunakan 10 mesin, Nabila Collection bisa menghabiskan 450 kilogram benang dalam seminggu. Nabila bekerjasama dengan salah satu perusahaan di kawasan tersebut untuk memasarkan produk rajutan melalui platform online.
Usaha yang telah dirintis selama 15 tahun bersama istrinya ini, dilaluinya penuh pahit dan getir. Berjuang di awal usahanya, sempat tertatih-tatih, dan kembali bangkit dalam tiga tahun terakhir.
"Beberapa tahun lalu, industri rajut sempat lesu, yang juga berimbas ke usaha saya. Produksi turun sampai 40%. Salah satu penyebabnya karena produk rajutan dianggap kurang trendi. Mungkin karena saat itu banyak produk fesyen impor," kata Deni Somantri, Senin (7/9/2020).
Dibukanya perjanjian perdagangan bebas, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), membuat importasi tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Indonesia terus meningkat. Pada 2018, pertumbuhan impor TPT tercatat sangat tinggi. Data Bank Indonesia (BI), nilai impor TPT Indonesia naik 14,8% dari USD7,5 miliar menjadi USD8,6 miliar.
Apalagi, saat itu usahanya masih kategori mikro. Rajutan yang dihasilkan hanya belasan lusin dari lima mesin yang dimiliki. Tenaga kerja pun masih terbatas, tak lebih dari tujuh perajin, termasuk dia dan istrinya.
Dia bersyukur, usahanya tetap jalan walaupun tidak sedikit perajin di Binong Jati bertumbangan. Mereka bersaing di gang sempit, di tengah modernisasi tekstil dunia. Permintaan produk rajut dari pasar grosir seperti Tanah Abang turun drastis. Tidak sedikit perajin yang meninggalkan pekerjaannya, demi menyambung hidup.
Perhimpunan perajin yang tergabung dalam Kampoeng Rajoet Binong Jati mencatat, jumlah pelaku usaha rajut saat itu hanya tersisa sekitar 100 unit, dari jumlah sebelumnya sekitar 400-an pelaku usaha. Sentra ekonomi yang pernah jadi tumpuan Kota Bandung ini, saat itu berada pada titik nadir.
Secercah Harapan
Tahun pun berganti, masa pahit telah terlewati. Deni kembali menemukan mimpi. Kini permintaan produk rajutan kembali menggeliat, termasuk saat pandemi COVID-19. Kenaikan permintaan ini diperkirakan karena minimnya produk impor.
Produk rajutan kembali membawa berkah bagi Deni dan ratusan pengusaha rumahan lainnya di kawasan ini. Ketekunan dan komitmen untuk mempertahankan sentra ekonomi ini, setidaknya kini telah membuahkan hasil. Dalam satu bulan, Deni mengaku bisa mencatat penjualan Rp100-150 juta.
Kenaikan permintaan juga dirasakan sejak menjamurnya penjualan online dengan berbagai platform e-commerce. Pemasaran produk rajut, tak lagi hanya mengandalkan Pasar Tanah Abang, Pasar Klewer, atau pesanan pengusaha besar dari Makassar, Padang atau daerah lainnya.
Deni beruntung, tingginya permintaan telah didukung ketersediaan mesin dan pekerja yang memadai. Di mulai dari keikutsertaannya menjadi mitra binaan PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) III. Deni mendapat pinjaman modal usaha sejak 2017.
Program Kemitraan Pertamina dibuat untuk membantu pelaku UMKM meningkatkan kapasitas usahanya. Model kemitraan BUMN migas ini ramah terhadap pelaku usaha, dengan pembiayaan terjangkau, bunga kredit rendah di bawah 3%.
Sejak mendapatkan informasi pinjaman modal Program Kemitraan, Deni bangkit dengan harapan baru. "Saya bikin proposal sebisanya, sesuai kondisi usaha saya pada saat itu. Waktu itu saya sangat butuh suntikan modal untuk membeli mesin baru dan menambah persediaan bahan baku benang," ujar dia.
Gayung bersambut, tak butuh waktu satu bulan, proposal yang diajukannya mendapat respons Pertamina. Telepon berdering di siang bolong, membuat adrenalin usahanya kembali bangkit.
Semangatnya menggebu-gebu, saat dia dipanggil untuk menjalani sesi wawancara. Satu minggu kemudian, usahanya membuahkan hasil. PT Pertamina MOR III memberinya pinjaman lunak dari Program Kemitraan senilai Rp50 juta.
"Pinjaman itu saya pakai untuk membeli mesin rajut. Sisanya untuk cadangan modal, menambah persediaan bahan baku benang. Sejak saat itu, kapasitas produksi rajut saya naik, karena didukung 10 mesin. Sekarang saya dibantu 15 orang pekerja. Tiga orang dari Cianjur, sisanya warga sekitar Binong," kata dia.
Tiga tahun berlalu, kebaikan Pertamina terus berlanjut. Setelah pinjaman pertama Rp50 juta selesai pada 2019, Deni kembali mendapatkan pinjaman Program Kemitraan senilai Rp100 juta. Dana itu digunakan untuk memperbaharui mesin, membangun tempat produksi, dan menambah persediaan bahan baku benang.
Kini, usaha Deni berdiri di atas lahan seluas 250 meter persegi. Cita-citanya kelak, menjadi pengusaha rajut kelas menengah dengan 20 unit mesin dan 30 tenaga kerja. Dia berharap mimpinya bisa terwujud melalui Program Kemitraan Pertamina tahap tiga.
Deni, hanyalah satu dari sekitar 39 usaha kecil mitra binaan PT Pertamina di Kampoeng Rajoet Binong Jati. Pertamina MOR III tercatat telah menggulirkan Program Kemitraan kepada UMKM di kawasan ini sejak 2011. Banyak pelaku usaha yang telah merasakan dampak positif dari pembiayaan Program Kemitraan Pertamina.
Menurut Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR III Eko Kristiawan, sampai saat ini dana yang telah disalurkan Pertamina bagi pelaku usaha rajut Binong Jati mencapai Rp1,9 miliar. Tidak sedikit multiplier effect yang telah ditimbulkan dari dana program kemitraan yang dialokasikan dari sebagian keuntungan perusahaan ini.
Kampoeng Rajoet Binong Jati dinilai memiliki potensi untuk lebih berkembang di masa mendatang. Namun dalam perjalanannya, mereka perlu dorongan baik dalam bentuk pelatihan, promosi, atau pinjaman modal usaha.
"Program Kemitraan Pertamina dikhususkan bagi pelaku UMKM. Ini dalam rangka membantu pemerintah dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Ikut menggali potensi usaha yang lahir dari kearifan lokal, sehingga memberi dampak bagi ekonomi masyarakat," kata Eko.
Selain Kampoeng Rajout Binong Jati, sektor lainnya yang menjadi perhatian Program Kemitraan Pertamina adalah perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan usaha jasa lainnya.
Secara nasional, tercatat lebih dari 60.000 pelaku UMKM di Tanah Air yang telah menjadi mitra binaan Pertamina. Dana pinjaman modal usaha yang telah disalurkan Pertamina dari Sabang hingga Merauke tak kurang dari Rp3,3 triliun.
Ketua Kampoeng Rajoet Eka Rahmat Jaya, satu industri rumahan rajutan bisa mencatat transaksi Rp100 juta hingga Rp1 miliar per bulan. Cash flow sentra ini diperkirakan mencapai Rp800 juta per hari, dengan transaksi penjualan bulanan sekitar Rp20 miliar.
Perhitungan itu didasarkan pada keberadaan 4.000 tenaga kerja yang mampu menghasilkan 1 lusin produk rajutan seharga Rp200.000 perhari. "Contoh saja, transaksi toko bahan baku benang di kawasan ini bisa mencatat penjualan hingga Rp1,2 miliar perhari," jelas Eka.
Mimpi Menjadi Kampung Wisata dan Edukasi
Sekitar 60 tahun lalu, Kampoeng Rajoet Binong Jati dimulai oleh lima perajin, membuat rajutan dengan sistem maklun untuk pengusaha besar. Pada 1970-an, sekitar 10 kepala keluarga kemudian berinisiatif membeli mesin rajut berukuran kecil yang diikuti keluarga lainnya.
Sejak saat itu, usaha rumahan skala kecil terus bermunculan. Mereka tak lagi mengandalkan pemilik modal, tapi berinisiatif membuka usaha sendiri. Hasil rajutan dijual di sekitar Pasar Kiaracondong dan Pasar Baru Bandung. Pesanan pun bermunculan dari berbagai daerah, hingga eksistensinya diakui sebagai pusat rajutan di Indonesia.
Pemkot Bandung menjadikan kawasan Binong sebagai Sentra Rajut Binong Jati. Satu dari tujuh sentra ekonomi strategis di Kota Bandung selain Sentra Sepatu Cibaduyut, Sentra Boneka Kopo Sayati, dan lainnya.
Lokasi Kampoeng Rajoet Binong Jati cukup strategis, tak jauh dari pusat perbelanjaan modern Trans Studio Mall (TSM) di Jalan Gatot Subroto dan berjarak sekitar 2 km dari Alun-alun Bandung.
Ilustrasi Kampoeng Rajoet masa depan. Foto/Istimewa
Sejak 2018, kawasan ini disebut Kampoeng Rajoet Binong Jati. Sebuah nama yang mengandung cita-cita besar menjadi kawasan belanja produk rajutan, destinasi wisata, dan kawasan edukasi. Harapan besar oleh mereka yang bahu-membahu secara tulus membangun kampung ini.
"Kampoeng Rajoet ini berada di kawasan padat penduduk dengan perajin yang tersebar di gang-gang sempit. Tapi ini menjadi tantangan bagi kami, mendesain menjadi tempat belanja, wisata, dan edukasi," beber dia.
Mimpi besarnya, kampung ini memiliki saung (bilik). Saung-saung itu memajang semua produk hasil rajutan. Juga dilengkapi informasi proses pembuatan kain rajut. Didesain dengan banyak tempat duduk untuk kongkow sembari menikmati kuliner khas Bandung.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung Elly Wasliah mengatakan, Pemkot Bandung terus mendorong agar Kampoeng Rajoet Binong Jati tak hanya menjadi kawasan industri rumahan, tetapi juga menjadi destinasi wisata. Pengunjung bisa melihat proses pembuatan produk rajutan yang telah ada sejak puluhan tahun.
"Memang yang menjadi persoalan adalah unit usaha yang letaknya ada di gang sempit dan tidak tersedianya lahan parkir. Tapi ini menjadi tantangan bagi kami, setidaknya perlu kerja sama melibatkan lintas sektoral agar sentra rajut ini layak dikunjungi sebagai destinasi wisata," beber dia.
Sejalan dengan upaya tersebut, Pemkot Bandung juga akan gencar membantu mempromosikan produk rajutan. Rencananya, pada tahun 2021 pihaknya akan membuat event yang mengangkat produk-produk UMKM dari tujuh sentra ekonomi di Bandung.
Menurut Elly, Kampoeng Rajoet Binong Jati merupakan satu dari tujuh sentra ekonomi di Kota Bandung yang memberi kontribusi ekonomi. Apalagi, sentra industri rumahan ini berbasiskan usaha padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Kampoeng Rajoet memberi dampak signifikan bagi ekonomi kota, karena melibatkan ribuan pekerja warga sekitar. Industri rumahan ini telah menjadi tumpuan hidup bagi banyak warga di Kota Bandung dan sekitarnya.
Suara khas gesekan mesin rajut manual merek Aron dan Linking terdengar saling bersahutan dari satu rumah ke rumah lainnya di kawasan padat penduduk Binong Jati, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Berbeda dengan mesin rajut otomatisasi seharga ratusan juta, mesin Aron mesti digerakkan secara manual menggunakan tangan.
Seolah tak menghiraukan hirup-pikuk kota, ribuan buruh bekerja sejak pagi hingga larut malam. Tangan-tangan kekar dari lelaki perkasa, seolah tak kenal lelah menggerakkan handle mesin Aron ke kiri dan kanan.
Keringat bercucuran tak lagi menjadi nestapa bagi ribuan tenaga kerja di dalamnya. Merajut, mengobras, hingga mengemas rajutan menjadi produk fesyen berkelas.
Lelah bukan penghalang bagi Apen, 29 tahun, terus menggerakkan mesin berukuran 1,5 meter, kendati matahari telah terbenam. Tak ada waktu baginya sekadar merasakan pegalnya kaki akibat berdiri atau duduk berjam-jam. Mata tak bisa terpejam agar rajutan benang sempurna.
Apen bekerja bersama harapan masa depan keluarganya. Bergelut dengan lubang jarum pada mesin tua. Memiliki penghasilan Rp3 hingga 4 juta perbulan, adalah pencapaian luar biasa bagi pria asal Cianjur yang hidup di kota metropolitan Bandung. "Sejauh ini, penghasilan yang saya dapat sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari," kata Apen.
10 tahun Apen bergelut dengan pekerjaan ini. Memasukkan benang ke lubang jarum mesin rajut Aron agar mereka yang mengenakannya tampak trendi. Merajut satu-satunya keahlian yang dia miliki, untuk menyambung hidup istri dan dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Apen hanyalah satu dari sekitar 4.000-an pekerja rajut di wilayah seluas 0,72 km persegi. Pekerja yang siang malam merajut tanpa henti, menggantungkan harapannya di industri rumahan ini. Apen hanya bisa berharap, kawasan rajut ini tetap bertahan hingga generasi mendatang.
Sehari-hari, Apen bekerja di Nabila Collection milik Deni Somantri. Salah satu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dari sekitar 420-an pelaku usaha rajut di Binong Jati. Dalam sehari, Nabila Collection mampu memproduksi sekitar 25 lusin atau sekitar 7.500 pieces produk rajutan.
Menggunakan 10 mesin, Nabila Collection bisa menghabiskan 450 kilogram benang dalam seminggu. Nabila bekerjasama dengan salah satu perusahaan di kawasan tersebut untuk memasarkan produk rajutan melalui platform online.
Usaha yang telah dirintis selama 15 tahun bersama istrinya ini, dilaluinya penuh pahit dan getir. Berjuang di awal usahanya, sempat tertatih-tatih, dan kembali bangkit dalam tiga tahun terakhir.
"Beberapa tahun lalu, industri rajut sempat lesu, yang juga berimbas ke usaha saya. Produksi turun sampai 40%. Salah satu penyebabnya karena produk rajutan dianggap kurang trendi. Mungkin karena saat itu banyak produk fesyen impor," kata Deni Somantri, Senin (7/9/2020).
Dibukanya perjanjian perdagangan bebas, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), membuat importasi tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Indonesia terus meningkat. Pada 2018, pertumbuhan impor TPT tercatat sangat tinggi. Data Bank Indonesia (BI), nilai impor TPT Indonesia naik 14,8% dari USD7,5 miliar menjadi USD8,6 miliar.
Apalagi, saat itu usahanya masih kategori mikro. Rajutan yang dihasilkan hanya belasan lusin dari lima mesin yang dimiliki. Tenaga kerja pun masih terbatas, tak lebih dari tujuh perajin, termasuk dia dan istrinya.
Dia bersyukur, usahanya tetap jalan walaupun tidak sedikit perajin di Binong Jati bertumbangan. Mereka bersaing di gang sempit, di tengah modernisasi tekstil dunia. Permintaan produk rajut dari pasar grosir seperti Tanah Abang turun drastis. Tidak sedikit perajin yang meninggalkan pekerjaannya, demi menyambung hidup.
Perhimpunan perajin yang tergabung dalam Kampoeng Rajoet Binong Jati mencatat, jumlah pelaku usaha rajut saat itu hanya tersisa sekitar 100 unit, dari jumlah sebelumnya sekitar 400-an pelaku usaha. Sentra ekonomi yang pernah jadi tumpuan Kota Bandung ini, saat itu berada pada titik nadir.
Secercah Harapan
Tahun pun berganti, masa pahit telah terlewati. Deni kembali menemukan mimpi. Kini permintaan produk rajutan kembali menggeliat, termasuk saat pandemi COVID-19. Kenaikan permintaan ini diperkirakan karena minimnya produk impor.
Produk rajutan kembali membawa berkah bagi Deni dan ratusan pengusaha rumahan lainnya di kawasan ini. Ketekunan dan komitmen untuk mempertahankan sentra ekonomi ini, setidaknya kini telah membuahkan hasil. Dalam satu bulan, Deni mengaku bisa mencatat penjualan Rp100-150 juta.
Kenaikan permintaan juga dirasakan sejak menjamurnya penjualan online dengan berbagai platform e-commerce. Pemasaran produk rajut, tak lagi hanya mengandalkan Pasar Tanah Abang, Pasar Klewer, atau pesanan pengusaha besar dari Makassar, Padang atau daerah lainnya.
Deni beruntung, tingginya permintaan telah didukung ketersediaan mesin dan pekerja yang memadai. Di mulai dari keikutsertaannya menjadi mitra binaan PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) III. Deni mendapat pinjaman modal usaha sejak 2017.
Program Kemitraan Pertamina dibuat untuk membantu pelaku UMKM meningkatkan kapasitas usahanya. Model kemitraan BUMN migas ini ramah terhadap pelaku usaha, dengan pembiayaan terjangkau, bunga kredit rendah di bawah 3%.
Sejak mendapatkan informasi pinjaman modal Program Kemitraan, Deni bangkit dengan harapan baru. "Saya bikin proposal sebisanya, sesuai kondisi usaha saya pada saat itu. Waktu itu saya sangat butuh suntikan modal untuk membeli mesin baru dan menambah persediaan bahan baku benang," ujar dia.
Gayung bersambut, tak butuh waktu satu bulan, proposal yang diajukannya mendapat respons Pertamina. Telepon berdering di siang bolong, membuat adrenalin usahanya kembali bangkit.
Semangatnya menggebu-gebu, saat dia dipanggil untuk menjalani sesi wawancara. Satu minggu kemudian, usahanya membuahkan hasil. PT Pertamina MOR III memberinya pinjaman lunak dari Program Kemitraan senilai Rp50 juta.
"Pinjaman itu saya pakai untuk membeli mesin rajut. Sisanya untuk cadangan modal, menambah persediaan bahan baku benang. Sejak saat itu, kapasitas produksi rajut saya naik, karena didukung 10 mesin. Sekarang saya dibantu 15 orang pekerja. Tiga orang dari Cianjur, sisanya warga sekitar Binong," kata dia.
Tiga tahun berlalu, kebaikan Pertamina terus berlanjut. Setelah pinjaman pertama Rp50 juta selesai pada 2019, Deni kembali mendapatkan pinjaman Program Kemitraan senilai Rp100 juta. Dana itu digunakan untuk memperbaharui mesin, membangun tempat produksi, dan menambah persediaan bahan baku benang.
Kini, usaha Deni berdiri di atas lahan seluas 250 meter persegi. Cita-citanya kelak, menjadi pengusaha rajut kelas menengah dengan 20 unit mesin dan 30 tenaga kerja. Dia berharap mimpinya bisa terwujud melalui Program Kemitraan Pertamina tahap tiga.
Deni, hanyalah satu dari sekitar 39 usaha kecil mitra binaan PT Pertamina di Kampoeng Rajoet Binong Jati. Pertamina MOR III tercatat telah menggulirkan Program Kemitraan kepada UMKM di kawasan ini sejak 2011. Banyak pelaku usaha yang telah merasakan dampak positif dari pembiayaan Program Kemitraan Pertamina.
Menurut Unit Manager Communication & CSR Pertamina MOR III Eko Kristiawan, sampai saat ini dana yang telah disalurkan Pertamina bagi pelaku usaha rajut Binong Jati mencapai Rp1,9 miliar. Tidak sedikit multiplier effect yang telah ditimbulkan dari dana program kemitraan yang dialokasikan dari sebagian keuntungan perusahaan ini.
Kampoeng Rajoet Binong Jati dinilai memiliki potensi untuk lebih berkembang di masa mendatang. Namun dalam perjalanannya, mereka perlu dorongan baik dalam bentuk pelatihan, promosi, atau pinjaman modal usaha.
"Program Kemitraan Pertamina dikhususkan bagi pelaku UMKM. Ini dalam rangka membantu pemerintah dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Ikut menggali potensi usaha yang lahir dari kearifan lokal, sehingga memberi dampak bagi ekonomi masyarakat," kata Eko.
Selain Kampoeng Rajout Binong Jati, sektor lainnya yang menjadi perhatian Program Kemitraan Pertamina adalah perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan usaha jasa lainnya.
Secara nasional, tercatat lebih dari 60.000 pelaku UMKM di Tanah Air yang telah menjadi mitra binaan Pertamina. Dana pinjaman modal usaha yang telah disalurkan Pertamina dari Sabang hingga Merauke tak kurang dari Rp3,3 triliun.
Ketua Kampoeng Rajoet Eka Rahmat Jaya, satu industri rumahan rajutan bisa mencatat transaksi Rp100 juta hingga Rp1 miliar per bulan. Cash flow sentra ini diperkirakan mencapai Rp800 juta per hari, dengan transaksi penjualan bulanan sekitar Rp20 miliar.
Perhitungan itu didasarkan pada keberadaan 4.000 tenaga kerja yang mampu menghasilkan 1 lusin produk rajutan seharga Rp200.000 perhari. "Contoh saja, transaksi toko bahan baku benang di kawasan ini bisa mencatat penjualan hingga Rp1,2 miliar perhari," jelas Eka.
Mimpi Menjadi Kampung Wisata dan Edukasi
Sekitar 60 tahun lalu, Kampoeng Rajoet Binong Jati dimulai oleh lima perajin, membuat rajutan dengan sistem maklun untuk pengusaha besar. Pada 1970-an, sekitar 10 kepala keluarga kemudian berinisiatif membeli mesin rajut berukuran kecil yang diikuti keluarga lainnya.
Sejak saat itu, usaha rumahan skala kecil terus bermunculan. Mereka tak lagi mengandalkan pemilik modal, tapi berinisiatif membuka usaha sendiri. Hasil rajutan dijual di sekitar Pasar Kiaracondong dan Pasar Baru Bandung. Pesanan pun bermunculan dari berbagai daerah, hingga eksistensinya diakui sebagai pusat rajutan di Indonesia.
Pemkot Bandung menjadikan kawasan Binong sebagai Sentra Rajut Binong Jati. Satu dari tujuh sentra ekonomi strategis di Kota Bandung selain Sentra Sepatu Cibaduyut, Sentra Boneka Kopo Sayati, dan lainnya.
Lokasi Kampoeng Rajoet Binong Jati cukup strategis, tak jauh dari pusat perbelanjaan modern Trans Studio Mall (TSM) di Jalan Gatot Subroto dan berjarak sekitar 2 km dari Alun-alun Bandung.
Ilustrasi Kampoeng Rajoet masa depan. Foto/Istimewa
Sejak 2018, kawasan ini disebut Kampoeng Rajoet Binong Jati. Sebuah nama yang mengandung cita-cita besar menjadi kawasan belanja produk rajutan, destinasi wisata, dan kawasan edukasi. Harapan besar oleh mereka yang bahu-membahu secara tulus membangun kampung ini.
"Kampoeng Rajoet ini berada di kawasan padat penduduk dengan perajin yang tersebar di gang-gang sempit. Tapi ini menjadi tantangan bagi kami, mendesain menjadi tempat belanja, wisata, dan edukasi," beber dia.
Mimpi besarnya, kampung ini memiliki saung (bilik). Saung-saung itu memajang semua produk hasil rajutan. Juga dilengkapi informasi proses pembuatan kain rajut. Didesain dengan banyak tempat duduk untuk kongkow sembari menikmati kuliner khas Bandung.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung Elly Wasliah mengatakan, Pemkot Bandung terus mendorong agar Kampoeng Rajoet Binong Jati tak hanya menjadi kawasan industri rumahan, tetapi juga menjadi destinasi wisata. Pengunjung bisa melihat proses pembuatan produk rajutan yang telah ada sejak puluhan tahun.
"Memang yang menjadi persoalan adalah unit usaha yang letaknya ada di gang sempit dan tidak tersedianya lahan parkir. Tapi ini menjadi tantangan bagi kami, setidaknya perlu kerja sama melibatkan lintas sektoral agar sentra rajut ini layak dikunjungi sebagai destinasi wisata," beber dia.
Sejalan dengan upaya tersebut, Pemkot Bandung juga akan gencar membantu mempromosikan produk rajutan. Rencananya, pada tahun 2021 pihaknya akan membuat event yang mengangkat produk-produk UMKM dari tujuh sentra ekonomi di Bandung.
Menurut Elly, Kampoeng Rajoet Binong Jati merupakan satu dari tujuh sentra ekonomi di Kota Bandung yang memberi kontribusi ekonomi. Apalagi, sentra industri rumahan ini berbasiskan usaha padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Kampoeng Rajoet memberi dampak signifikan bagi ekonomi kota, karena melibatkan ribuan pekerja warga sekitar. Industri rumahan ini telah menjadi tumpuan hidup bagi banyak warga di Kota Bandung dan sekitarnya.
(awd)