Momen Serangan Kaum Pribumi ke Tionghoa-Eropa Akibat Ketidakadilan Sewa Tanah dan Pajak
Sabtu, 18 Januari 2025 - 07:05 WIB
KEPUTUSANsewa tanah oleh Sultan Hamengkubuwono IV ke Belanda dan warga Eropa- Tionghoa memunculkan konflik. Beberapa daerah yang tanahnya baru dikuasai Belanda dan orang-orang Tionghoa mulai muncul permasalahan, salah satunya pajak.
Berawal dari pajak yang diberlakukan Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1812-1813. Ternyata ada kewajiban pajak tidak adil dan merata yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda kepada masyarakat.
Secara teoritis, pajak itu dimaksudkan memberi keuntungan bagi penduduk pribumi dengan membebaskan mereka dari kerja paksa atau rodi dan kerja bakti lainnya. Hal ini supaya mereka mampu membayar pajak tanah saja.
Tujuan Raffles untuk memberi kepada para petani Jawa kebebasan dalam memilih apa yang akan mereka tanam dan kebebasan dalam berproduksi.
Namun, karena tidak ada survei atau penelitian batas-batas tanah milik dan pengumpul pajak yang terlatih baik, maka kewajiban pajak itu sering dibebankan dengan tidak adil kepada penduduk. Ini sebagaimana dicatatkan Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785-1855".
Harapan bahwa pajak dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang pada kenyataannya sering meleset. Justru ekonomi kaum petani Jawa umumnya berbasis barter.
Dengan demikian, inisiatif Raffles kian menjerumuskan kaum tani Jawa semakin jauh ke dalam cengkeraman rentenir Tionghoa.
Saat bersamaan, penyalahgunaan sistem pajak Jawa yang lama masih berlaku. Pajak tanah saat itu dipungut oleh para pejabat Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah bekas pejabat pemerintahan keraton yang selalu menuntut pelayanan lebih secara tradisional dan bila perlu pengambilan paksa.
Berawal dari pajak yang diberlakukan Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1812-1813. Ternyata ada kewajiban pajak tidak adil dan merata yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda kepada masyarakat.
Secara teoritis, pajak itu dimaksudkan memberi keuntungan bagi penduduk pribumi dengan membebaskan mereka dari kerja paksa atau rodi dan kerja bakti lainnya. Hal ini supaya mereka mampu membayar pajak tanah saja.
Tujuan Raffles untuk memberi kepada para petani Jawa kebebasan dalam memilih apa yang akan mereka tanam dan kebebasan dalam berproduksi.
Namun, karena tidak ada survei atau penelitian batas-batas tanah milik dan pengumpul pajak yang terlatih baik, maka kewajiban pajak itu sering dibebankan dengan tidak adil kepada penduduk. Ini sebagaimana dicatatkan Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785-1855".
Harapan bahwa pajak dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang pada kenyataannya sering meleset. Justru ekonomi kaum petani Jawa umumnya berbasis barter.
Dengan demikian, inisiatif Raffles kian menjerumuskan kaum tani Jawa semakin jauh ke dalam cengkeraman rentenir Tionghoa.
Saat bersamaan, penyalahgunaan sistem pajak Jawa yang lama masih berlaku. Pajak tanah saat itu dipungut oleh para pejabat Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah bekas pejabat pemerintahan keraton yang selalu menuntut pelayanan lebih secara tradisional dan bila perlu pengambilan paksa.
Lihat Juga :
tulis komentar anda