Kisah Pemberontakan Rakyat Jambi terhadap Penjajah Belanda
loading...
A
A
A
Pada tahun 1835 Sultan Jambi mencari perlindungan dari Pemerintah Belanda , melawan pengikut-pengikutnya, yang tidak lagi dapat dikendalikannya. Sebagai imbalan atas perlindungannya, Sultan menandatangani sebuah kontrak yang mengakui keunggulan Belanda.
Kedamaian yang dibawa oleh perjanjian ini berlangsung sampai tahun 1855, ketika Sultan Ratoe Taha Tsafioe, (dikenal sebagai Taha), mulai berkuasa.
Dia tegas menolak menerima superioritas Belanda, yang mengakibatkan pemecatannya pada tahun 1858. Sisa pemerintah terpaksa ikut serta dalam sebuah ekspedisi ke Jambi.
Ekspedisi ini melibatkan merebut keraton, dengan kerugian besar, sementara Taha sendiri melarikan diri ke pedalaman, dimana dia tinggal sampai tahun 1885.
Pemerintah menunjuk seorang sultan baru, Ratoe Ahmad Natsaroe, seorang paman Taha. Sebagai perantara antara pemerintah dan sultan, seorang agen politik ditambahkan, yang tinggal di pemukiman Belanda di Jambi.
Meski tidak lagi menjadi sultan, Taha mempertahankan tingkat otoritas yang tinggi atas orang Jambi di dataran tinggi. Permukiman Belanda di Jambi hanya menguasai sebagian ibu kota, dan Desa Muara Kumpeh dan Muara Saba.
Pada bulan November 1880, sebanyak 20 senjata bermuatan dicuri dari tempat tinggal pengendali di Jambi, pencurian itu dikaitkan dengan Taha.
Pada tahun 1881, Sultan Ahmad meninggal dan digantikan oleh penguasa saat itu Pangeran Ratoe, selaku sultan Mahidin, bernama Mahomed, ia adalah menantu Taha yang diusir.
Saudara Taha Pangeran Soerio, Ahmed, diangkat sebagai penata urusan negara bagian dengan gelar Tjitra Mangrat. Sultan yang baru gagal mengendalikan Taha, melihat dia mempertahankan kewibawaannya di pedalaman dan menentang usulan pemerintah Belanda, selama periode ini.
Pada tanggal 10 April 1885, Sultan Mahalin meninggal, menandai dimulainya serangkaian gangguan. Pada petang tanggal 23 Mei, sementara pejabat negara yang mulai terintegrasi diterima di masyarakat, dan sebuah partai politik dibentuk di sebuah masyarakat negara, dua orang bersenjata masuk dan melepaskan tembakan.
Kedamaian yang dibawa oleh perjanjian ini berlangsung sampai tahun 1855, ketika Sultan Ratoe Taha Tsafioe, (dikenal sebagai Taha), mulai berkuasa.
Dia tegas menolak menerima superioritas Belanda, yang mengakibatkan pemecatannya pada tahun 1858. Sisa pemerintah terpaksa ikut serta dalam sebuah ekspedisi ke Jambi.
Ekspedisi ini melibatkan merebut keraton, dengan kerugian besar, sementara Taha sendiri melarikan diri ke pedalaman, dimana dia tinggal sampai tahun 1885.
Pemerintah menunjuk seorang sultan baru, Ratoe Ahmad Natsaroe, seorang paman Taha. Sebagai perantara antara pemerintah dan sultan, seorang agen politik ditambahkan, yang tinggal di pemukiman Belanda di Jambi.
Meski tidak lagi menjadi sultan, Taha mempertahankan tingkat otoritas yang tinggi atas orang Jambi di dataran tinggi. Permukiman Belanda di Jambi hanya menguasai sebagian ibu kota, dan Desa Muara Kumpeh dan Muara Saba.
Pada bulan November 1880, sebanyak 20 senjata bermuatan dicuri dari tempat tinggal pengendali di Jambi, pencurian itu dikaitkan dengan Taha.
Pada tahun 1881, Sultan Ahmad meninggal dan digantikan oleh penguasa saat itu Pangeran Ratoe, selaku sultan Mahidin, bernama Mahomed, ia adalah menantu Taha yang diusir.
Saudara Taha Pangeran Soerio, Ahmed, diangkat sebagai penata urusan negara bagian dengan gelar Tjitra Mangrat. Sultan yang baru gagal mengendalikan Taha, melihat dia mempertahankan kewibawaannya di pedalaman dan menentang usulan pemerintah Belanda, selama periode ini.
Pada tanggal 10 April 1885, Sultan Mahalin meninggal, menandai dimulainya serangkaian gangguan. Pada petang tanggal 23 Mei, sementara pejabat negara yang mulai terintegrasi diterima di masyarakat, dan sebuah partai politik dibentuk di sebuah masyarakat negara, dua orang bersenjata masuk dan melepaskan tembakan.