Cara Licik Belanda Bikin Calon Raja Jawa Divonis Gangguan Kejiwaan
Minggu, 15 Desember 2024 - 10:19 WIB
Sebagai putra mahkota dan sekaligus calon raja, Pangeran Juminah kedapatan sering meninggalkan keraton. Dia kerap dijumpai meditasi di Mancingan, Pantai Parangkusumo.
Kemudian juga sering menziarahi makam HB I di pemakaman Imogiri. Sementara kolonial Belanda masih merasa trauma dengan peristiwa Perang Jawa (1825-1830) yang pernah dikobarkan Pangeran Diponegoro.
Sebelum memberontak, Pangeran Diponegoro kerap melakukan laku spiritual di Mancingan Parangkusumo. Begitu juga dengan HB I dikenal sebagai Raja Jawa pembenci kolonial Belanda.
Residen Ament melihat sosok pemberontak ada pada diri Pangeran Juminah. Pada tahun 1902, dia mendesak HB VII membatalkan status putra mahkota Pangeran Juminah.
Pemerintah Hindia Belanda juga berniat mengadili Pangeran Juminah dengan dalih melanggar adat, namun HB VII meminta keraton menggunakan mekanisme pengadilannya sendiri.
Hal itu mengingat Pangeran Juminah merupakan keluarga keraton sekaligus putra raja. Sementara di sisi lain HB VII khawatir berkonflik dengan pemerintah Hindia Belanda.
HB VII kemudian menggelar Pradata Ageng, pengadilan khusus kerabat keraton yang dianggap melanggar adat. Hasilnya, Pangeran Juminah divonis mengalami gangguan kejiwaan.
Akibatnya status Pangeran Juminah sebagai putra mahkota dan calon Sultan HB VIII dicopot. Sejak itu Pangeran Juminah lebih banyak hidup di luar keraton dan memilih tinggal di ndalem buminatan.
Sementara yang kemudian diangkat sebagai putra mahkota dan jumeneng sebagai HB VIII adalah GRM Sudjadi, adik kandungnya.
Pangeran Juminah diketahui hidup hingga masa HB IX. Ketika meninggal dunia, dia tidak dimakamkan di Kompleks Astana Imogiri melainkan di Kompleks Hastarengga, Kotagede.
Kemudian juga sering menziarahi makam HB I di pemakaman Imogiri. Sementara kolonial Belanda masih merasa trauma dengan peristiwa Perang Jawa (1825-1830) yang pernah dikobarkan Pangeran Diponegoro.
Sebelum memberontak, Pangeran Diponegoro kerap melakukan laku spiritual di Mancingan Parangkusumo. Begitu juga dengan HB I dikenal sebagai Raja Jawa pembenci kolonial Belanda.
Residen Ament melihat sosok pemberontak ada pada diri Pangeran Juminah. Pada tahun 1902, dia mendesak HB VII membatalkan status putra mahkota Pangeran Juminah.
Pemerintah Hindia Belanda juga berniat mengadili Pangeran Juminah dengan dalih melanggar adat, namun HB VII meminta keraton menggunakan mekanisme pengadilannya sendiri.
Hal itu mengingat Pangeran Juminah merupakan keluarga keraton sekaligus putra raja. Sementara di sisi lain HB VII khawatir berkonflik dengan pemerintah Hindia Belanda.
HB VII kemudian menggelar Pradata Ageng, pengadilan khusus kerabat keraton yang dianggap melanggar adat. Hasilnya, Pangeran Juminah divonis mengalami gangguan kejiwaan.
Akibatnya status Pangeran Juminah sebagai putra mahkota dan calon Sultan HB VIII dicopot. Sejak itu Pangeran Juminah lebih banyak hidup di luar keraton dan memilih tinggal di ndalem buminatan.
Sementara yang kemudian diangkat sebagai putra mahkota dan jumeneng sebagai HB VIII adalah GRM Sudjadi, adik kandungnya.
Pangeran Juminah diketahui hidup hingga masa HB IX. Ketika meninggal dunia, dia tidak dimakamkan di Kompleks Astana Imogiri melainkan di Kompleks Hastarengga, Kotagede.
Lihat Juga :
tulis komentar anda